Curiousity


Arga menatap Rafka yang saat ini masih sibuk berbicara dengan teman satu UKM-nya. Terlalu sibuk memperhatikan Rafka sepertinya membuat Arga bahkan tidak sadar jika sosok yang dia perhatikan sedang berjalan ke arahnya.

“Arga!” panggil Rafka. Si Agustus tersenyum ketika melihat pemuda bersurai merah muda itu telah berada di hadapannya. “Udah selesai?” tanyanya yang dibalas gelengan oleh Rafka.

“Masih harus beres-beres tapi kata Bang Arsen gue bisa istirahat aja takut entar lo marah lagi haha...” Arga meringis mengingat bagaimana kemarin dia yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang rapat dan menginterupsi keadaan. “Sorry,” sesalnya.

“Gakpapa. Btw lo udah makan? Seharian di sini gak bosen apa?” tanya Rafka. Arga menunjuk ke arah kursi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Gue udah beli makanan. Cuman nungguin lo doang daritadi.”

Mereka berdua berjalan menuju tempat duduk tersebut, membuka makanan yang dibawa oleh Arga, lalu berbincang-bincang kecil sembari menikmati makanannya.

“Eh, Raf. Lo tau gak sih?” tanya Arga.

“Biasanya kalo udah ada kata—lo tau gak sih lo tau gak sih, udah masuk sesi gibah.”

Arga terkekeh, “Kagak juga ah.”

“Tau apaan emang?”

“Kucing, kalo jalan pasti pake kaki. Tau gak?”

Rafka menarik nafas dalam-dalam ketika mendengarnya. “Anak kecil juga tau itu kali!” Lalu diliriknya sinis Putra Argantara itu. “Lanjutin makannya ah!”


Saat mereka berdua telah menghabiskan makanan yang dipesan Arga. Rafka mencuri pandang pada sosok Arga yang sedang bermain ponsel genggamnya serius. Pemuda yang lebih kecil di antara mereka berdua itu memikirkan sesuatu yang seharusnya terjadi kemarin, tetapi harus tertunda lantaran kedatangan Vania secara tiba-tiba.

Rafka menyukai sosok di depannya, tidak, lebih tepatnya Rafka telah jatuh hati pada pemuda yang menjadi sahabatnya itu. Sebenarnya dia bukanlah tipe yang akan memberikan kode terlebih dahulu jika menyukai seseorang. Dia lebih suka spontanitas; lebih baik mengutarakan secara langsung.

Namun entah kenapa, hal itu tidak terjadi saat dirinya sadar dia memiliki perasaan lebih pada Arga. Sosok Argantara ini terasa berbeda. Ada rasa ragu di dalam hatinya, dan dia tidak berani jika harus mengatakan secara langsung tentang perasaan yang dia miliki.

Meskipun begitu, Rafka berfikir dia juga tidak bisa terus-terusan menahan perasaannya. Apalagi melihat respon yang diberikan Arga pada semua kode yang telah dia berikan.

“Raf, lo mikirin apa?” sergap Arga ketika melihat sosok di hadapannya yang mana hal tersebut membuat lamunan Rafka sesaat lalu buyar akibat pertanyaan tiba-tiba dari Argantara itu.

'Gue harus mastiin dulu kali, ya?'

“Ga, gue penasaran satu hal. Gue boleh nanya?” ujar Rafka hati-hati dan berusaha setenang mungkin seperti biasanya, meski tidak bisa ia bohongi kalau detak jantungnya kini mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Arga hanya mengangguk sebagai balasan.

“Tweetan lo kemarin ... yang bilang gak bisa tuh maksudnya lo gak bisa punya pacar?” Arga menegang mendengar pertanyaan tak terduga dari lawan bicaranya itu. Tapi sedetik kemudian ia memilih untuk menjawab dengan terlebih dulu menormalkan kembali persendian pada tubuhnya.

“Dalam waktu dekat ini, iya. Dan mungkin akan berlangsung lama...”

Rafka mengerutkan keningnya pertanda bingung. “Kenapa?”

Arga mengambil nafasnya sedikit berat. “Cuz ... I just think that it's not important tho.” balas Arga setenang mungkin.

“Lo pernah dapat sesuatu yang buruk dari pacaran?” tebak Rafka.

“Ya.”

Mendengar jawaban dari Arga, membuat Rafka menjadi sedikit was-was.

“Gue pernah kenal seseorang yang bikin gue jadi punya pemikiran kayak gitu. Gue sekarang menganggap kalo cinta itu gak lebih dari sekedar hal yang nyusahin. Dan emang terbukti, love only makes everything hard.”

Nafas Rafka seakan tertahan mendengar lanjutan kalimat dari lelaki yang lebih muda. “But do you know, it's not that hard? Cinta gak seburuk itu kok, Ga. Dia juga punya sisi lain yang bisa bikin orang bahagia.” Rafka berusaha mematahkan opini Arga yang menurutnya salah.

Ada jeda sejenak sebelum jawaban keluar dari Argantara, “Maybe, apa yang lo bilang emang bener. Tapi hal itu bukan buat gue...”

“Gimana kalo seseorang ngaku sama lo kalo dia suk— eh, cinta sama lo?”

Arga tidak langsung menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Rafka. Lelaki itu terlihat berpikir sebentar yang mana membuat detak jantung Rafka sudah menyerupai dengan orang yang sedang berlari lomba maraton.

“They give me love. But I unsure can give that love back for them or not.” Jelas Arga dengan pandangannya yang lurus ke depan. “Dan juga... karena gue gak yakin bisa terima perasaan orang itu atau enggak. Mungkin buat saat ini gue bakal nolak, and give them some times supaya hapus perasaan yang ada buat gue...?” — “I won't hurt someone by loving me, but I didn't love them back...”

DEG!

Rasa-rasanya Rafka ingin mengulang waktu dan memilih untuk tidak menanyakan hal itu jika harus mendengar jawaban menyakitkan seperti ini.

'Secara gak langsung lo nyuruh gue buat mundur?' lirihnya dalam hati.

“Gimana kalo orangnya tuh deket sama lo? Atau anggap aja gue, lo bakalan tetep nyuruh gue ngejauh?” pertanyaan spontan itu dikeluarkan Rafka yang membuat pergerakan Arga berhenti dan menatap terkejut pada yang lebih tua.

“Maksud lo—”

“Gue bilang anggap aja.”

“Em... gue gak pernah kepikiran hal itu. Tapi kalo misalkan emang kejadian, gue gak bakalan bedain entah dia temen deket gue ataupun bukan. Tapi juga gak bakalan kejadian, kan? Soalnya lo sahabat gue.” — “Jangan suka sama gue ya Raf? Karena itu cuma bakal jadi hal yang bahkan gak pengen gue bayangin.”

Dua pemuda itu kemudian terlarut pada masing-masing pikiran yang bersarang dalam kepala. Untaian kalimat yang bahkan tidak akan bisa keluar lewat mulut karena batas keberanian yang tidak sebesar semesta raya.

Rafka rasa dia sudah tidak sanggup lagi. Kata-kata tadi... Jadi bagaimana dengan perasaannya sekarang? Siapa yang akan bertanggungjawab?

Apa yang sebenarnya Rafka bayangkan? Arga akan mengatakan bahwa dia juga memiliki perasaan padanya? Bahwa mereka berdua akan menjadi pasangan? Seharusnya Rafka sadar dari awal bahwa perasaannya memang salah. Seharusnya memang di antara mereka tidak ada yang namanya cinta. Dan Rafka menyesali ini.

Rafka, pemuda itu sudah berkaca-kaca namun dia tahan di depan Arga. “S-Sorry Ga. Kayaknya gue harus pergi dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Arga, Rafka langsung berdiri dan menjauh dari sana meninggalkan Arga yang menatap punggungnya bingung.

“Raf? Kemana?” Tanya Arga begitu didapati Rafka sudah berlari mendahuluinya dan menghilang saat dia berusaha mengejar lelaki itu.

Arga mencari di mana pun keberadaan Rafka bermaksud mengembalikan ID card yang tertinggal saat pemuda itu dengan tergesa mengemasi barang-barangnya setelah mereka makan bersama tadi.

Sesaat setelah melihat ponselnya dan mengantongi kembali benda persegi panjang itu ke dalam tas selempangnya, Arga perhatikan ID card yang ada di tangannya itu. “Besok aja deh ngembaliinnya, anaknya udah pulang.” Lalu memastikan benda itu aman tersimpan dalam saku jaketnya.

Cukup lama bagi Arga sampai akhirnya dia menapakkan kakinya di area parkiran. Pemuda itu harus berjalan melewati deretan parkir untuk mobil terlebih dahulu sebelum bisa bertemu dengan motor kesayangannya di parkiran ujung. Namun saat melewati area itu, sepertinya Arga mendengar sesuatu dari arah jam dua. Dia semakin mendekat ke arah sumber suara untuk memastikan kalau pendengarannya tidak salah mengira.

Bersembunyi di balik salah satu mobil yang terparkir, Arga dapat melihat kalau ada seorang lelaki yang sedang duduk berjongkok ditemani seorang gadis di sampingnya. Lelaki itu menangis dan gadis tadi mengusap punggungnya berusaha menenangkan; berusaha meredakan tangisnya.

Arga gertakkan buku-buku giginya ketika melihat kejadian itu. Rahangnya tampak mengeras menahan segala bentuk rasa yang kini datang menghampiri.

'Kenapa?' 'Kenapa dia nangis?' 'Kenapa cewek itu selalu ada deket dia?' 'Dan kenapa dia bohong bilang kalo udah pulang?'

Nyatanya Rafka belum pulang. Nyatanya Rafka masih di sana. Di samping mobil putihnya dan kini tengah menangis dengan Ara yang berusaha menenangkan laki-laki itu.

“Sakit Ra, sakit ... Hati gue sakit...”

Samar suara itu terdengar daun telinganya. Dan ia masih betah berdiam sedikit lebih lama untuk mendengar suara-suara rancu itu.

Entah kenapa saat melihatnya, Arga merasakan rongga dadanya seperti terhimpit akan sesuatu yang tak kasat. Arga meremas tasnya kencang. Ada banyak hal yang dipikirkannya sekarang.

“Maaf.” Lirihnya tanpa sadar kini pandangannya sedikit berkabut, dan hatinya yang terasa mulai sesak seiring langkah itu menjauh dari sana.