Diskusi Malam Hari
Ketika dalam perjalanan pulang seusai jadwal kuliahnya sabtu hari ini berakhir, Rafka temui rona jingga terlukis indah pada wajah bumantara. Yang artinya, malam sebentar lagi akan menggantikan tahta sang lautan biru yang mau beranjak pulang bersama sang surya ke tempat peraduannya.
Rafka kagumi pemandangan itu dalam sebuah kalimat puji, “Cantik.” Tangannya bergerak mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera untuk membidik beberapa gambar lalu disimpannya pada galeri.
Beberapa menit perjalanan dihabiskannya sambil memutar beberapa lagu di dalam mobil itu.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil putih dengan plat nomor berbasis Jakarta itu sudah tiba di pelataran sebuah bangunan apartemen mewah; tempatnya menetap sementara selama mengemban kewajiban sebagai mahasiswa di pusat ibukota.
Rafka lalu parkirkan mobilnya di area basement lantas bergegas menuju unit kamarnya di lantai dua puluh tiga. Setelah sampai di dalam, pintu depan tak lupa ia kunci. Tempat pertama kali yang menjadi arah tujuanya adalah kamar mandi.
Usai keluar dari bilik ruang tempatnya membersihkan badan sesaat lalu, Rafka arahkan tungkainya ke sudut kamar dimana terdapat sebuah ruang minimalis sebagai fungsi penyimpanan pakaian dan disekat oleh gapura tinggi yang terbuat dari kayu.
Cukup lama memilih baju apa yang mau digunakan nanti, akhirnya pilihannya jatuh pada setelan kemeja flanel kotak-kotak berwarna krem dan celana kain yang senada dengan atasan serta dalaman kaos polos putih. Rafka segera mengganti jubah mandinya dengan satu set pakaian yang memang sudah dipilih dan dipisahkannya tersebut.
Dirasa penampilannya sudah tertata rapi, laki-laki kelahiran Maret itu kemudian menghampiri meja rias yang ada di depan tempat tidurnya. Mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di sana. Lalu memoles area wajah dengan riasan tipis agar terlihat lebih segar dari kondisinya sebelumnya. Tak lupa, beberapa semprotan parfum juga dibubuhkannya pada permukaan baju dan kulit sekitar leher yang terbuka.
Rafka bersiap mengambil barang-barang apa saja yang mau dibawanya malam ini. Lokasi pasti dari titik tujuan sudah didapatkan lewat perantara satu pesan yang dibagikan Surya pada grup chatting itu tadi siang. Ia lantas kembali pergi meninggalkan apartemennya menuju suatu tempat yang akan dikunjunginya untuk membahas perihal tugas praktikum fotografi sesuai dengan janji mereka kemarin malam.
Tenggorokannya dilanda rasa dahaga. Tanpa menunggu lama, Argantara langsung saja melabuhkan raganya ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu ditenggaknya sampai habis tak bersisa.
Ponsel di tangan kiri dimainkannya kemudian. Hanya untuk memastikan saja, apa teman satu kelompoknya yang lain sudah sampai ataukah belum di tempat mereka membuat janji kemarin malam. Di grup chatting masih sepi, belum ada tanda-tanda satupun dari ketiga anggota itu yang memberi kabar berupa sebuah pesan.
Apa mereka belum pada dateng, ya?
Namun sepertinya perkiraan dia salah. Karena lewat tampilan beranda twitternya, Rafka memposting sebuah cuitan disertai foto yang memperlihatkan gambaran sebuah tempat yang sama sekali tidak asing dalam ingatannya. Oh, ternyata ada yang sudah datang ke sana.
Arga balas dengan sebuah tanggapan. Dan yang ia dapati selanjutnya adalah berupa kalimat sindiran. Katanya, salah dia karena belum juga datang. Padahal janjian mereka kemarin 'kan jam tujuh malam. Sedangkan analog pada waktu yang tertera di pojok paling atas layar ponselnya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit sekarang.
Jaket hitam di balik pintu kamarnya disambar cepat-cepat. Arga langsung memakainya dan bergegas menghidupkan motornya yang ada di garasi rumah. Helm yang sebelumnya diletakkan pada bagian tangki bahan bakar itu sudah berpindah melindungi kepala dia. Miko diajaknya pergi malam itu, menyapa langit malam Jakarta yang berhias gugusan rasi bintang di atas sana.
Motornya sudah terparkir di depan bangunan sebuah tempat makan. Helm dilepasnya, Argantara dengan cepat berjalan masuk ke dalam. Melihat sekeliling, lalu ia dapati ketiga temannya yang lain sudah duduk melingkar pada salah satu meja yang ada di sana. Tungkainya melangkah mendekati tempat itu.
“Sorry sorry gue tadi habis makan dulu,” jelas Putra Argantara, lalu ia duduk pada salah satu kursi kosong di antara mereka.
Rafka tanggapi laki-laki yang baru saja datang itu, “Kan lo bisa pesen makan di sini?”
“Ya masa kita ke sini rencananya mau kerkom malah jadi kongkow?”
Yang mendapat respon tadi hanya ber-OH saja tanpa suara. Kepalanya mengangguk paham mendengar alasan cowok bernama Argantara itu. “Yaudah kalo gitu, lo pesen minum dulu mendingan. Kita semua udah, tinggal nunggu dianter aja.”
“Oh, oke.”
Arga lalu memanggil salah satu pegawai yang ada di sana untuk meminta menu dan kertas order. Saat sudah sampai, dia tuliskan pesanannya pada selembar kertas itu, lalu beranjak menghampiri bagian kasir untuk melakukan proses pembayaran.
Saat akan mengambil dompetnya di saku celana belakang, Arga tidak mendapati benda itu ada di dalam sana. Seingatnya tadi sudah dimasukkan, kenapa jadi menghilang?
Ah, ternyata dia kelupaan menaruh dompetnya di meja depan televisi tadi.
“Mbak, bisa bayar pake ovo, 'kan? Dompet saya ketinggalan.”
“Bisa kak, langsung saja scan QR kode yang ini, ya.”
Arga lalu memindai barcode yang ada di sebelah tempat kasir itu pada aplikasi pembayaran digital di ponselnya. Setelah selesai, dia berjalan ke arah mejanya tadi. Dilihatnya pesanan teman-temannya itu baru saja tiba bersamaan dengan kembalinya dia duduk di kursi semula.
Tidak terlalu lama kemudian, satu-satunya gadis yang ada di sana memulai topik pembahasan tugas mereka. Tentang sudut pandang pengambilan gambar mana yang akan diambil, objek apa yang akan digunakan, kamera punya siapa yang mau dipakai, dan berbagai macam pembahasan lainnya.
Saat seorang waiters mengantarkan satu-satunya pesanan yang tersisa, ada jeda sejenak dari diskusi yang terjadi pada meja nomor lima belas tersebut. Arga lalu minum sedikit es kopi pesanannya. Dan juga, ia sempatkan mengabadikan sebuah foto yang langsung saja diunggahnya ke aplikasi burung biru. Namun, sepertinya kegiatannya baru saja disadari oleh Rafka.
Benar saja. Masih dalam aplikasi yang sama, Arga dapat teguran dari seseorang yang duduk tepat di hadapannya. Cowok yang lebih kecil dari dia itu memancarkan aura yang cukup mengintimidasi. Sedangkan Argantara belum mengerti, kalau Rafka jangan sekalipun dibuyarkan konsentrasinya ketika dalam mode serius.
Arga ciut, nyalinya tidak sebesar itu berhadapan dengan tatapan maut. Jadilah sisa waktu itu berjalan dengan penuh keseriusan layaknya sebuah rapat penting yang harus diselesaikan saat itu juga.
Perlahan, waktu terus berjalan sampai tidak terasa kalau jarum pendek pada jam dinding yang ada di sana sudah menunjukkan angka diatas sembilan lewat.
“Eh guys, gue gak bisa pulang malem malem. Nah, karena sebagian besar diskusi kita udah selesai, kayaknya sampai sini aja dulu deh. Nanti kalo ada sesuatu yang perlu dibahas, chat aja di grup. Oke?” jelas Gladys panjang lebar.
“Oke Dys! Kalo gitu lo pulang aja sekarang, katanya gak boleh malem malem.” ujar Rafka pada gadis di sampingnya.
“Lo pulangnya naik apa? Bawa motor 'kan tadi ke sininya?” tanya Surya. Yang selanjutnya dibalas oleh Arga, “Yee, modus lo Sur...”
“Gue cuma tanya, anjir...”
“Gue nebeng temen sih ke sininya, kalo pulangnya ini mau pesen grab aja.” jelas sang gadis.
“Eh? Apa gak bahaya tuh? Lo cewek, dan ini udah malem,” Rafka menimpali dengan nada terdengar sedikit khawatir. Cuma perasaan cemas karena temannya itu seorang perempuan. Enggak lebih, kok.
“Santai Raf, gue juga udah biasa lagian.”
“Eh? Jangan! Mending dianter sama mereka aja,” tunjuk Rafka pada dua cowok lainnya di depan dia lewat perantara tatapan mata. “Lo berdua siapa yang bisa nganter? Kalau gue 'kan pake mobil, takutnya nanti lama.”
“Gue bisa sih,” jawab Surya. “Sama gue aja?”
Baru saja Gladys mau mengeluarkan suara, Argantara terlebih dulu sudah berbicara, “Gue anter aja! Apartemen Puri, 'kan? Sekalian mampir ke rumah bentar, mau ngambil barang yang ketinggalan.”
“Yee... Lo juga modus, ya, kampret!” Ledek Surya balik pada temannya satu itu.
“Haha... Apasih, modus apaan? Maaf nih ya, sebenernya gue gak tertarik sama yang begituan. Mending temenan aja.” Seorang Gladysta paham, karena pasti bahasan anak laki-laki tidak akan pernah jauh dari pedekate-an atau seputar gebetan. Tapi gadis itu memang berkata jujur kalau dia tidak tertarik pada hal yang semacam begitu.
“Tuh denger Sur,” ujar Arga yang ditujukannya untuk sang Putra Adilansah.
“Elo yang mulai duluan, kok gue?!” Protes Surya tidak terima. Sedangkan Argantara sudah terkekeh seperti orang yang tidak berdosa.
“Jadi gak, nih?”
“Eh iya iya Dys. Yaudah gue balik duluan, ya! Nanti gue balik lagi ke sini.”
“Hati-hati.” Rafka berujar lirih. Lalu setelah dua orang itu pergi, dirinya masih saja betah memandangi pintu masuk di sana dari mejanya saat ini.
Hanya tersisa dia dan Surya—teman Arga yang belum dikenalnya dengan baik—dalam atmosfer yang bisa dibilang cukup canggung bagi keduanya.