Happy Level Up Day Argantara
Rafka menghela nafasnya bebas ketika rapat hari ini sudah berakhir. Diliriknya jam analog yang melingkari tangan kirinya. Dia lantas pamit undur diri terlebih dahulu pada teman-temannya dan menuju ke arah parkiran mengampiri mobil putih di sana.
Setelah tiba di kawasan apartemennya, Rafka membuka pintu masuk dan meletakkan tasnya di atas sofa ruang tamu. Raga itu dibawanya langsung menuju arah dapur. Kemudian tangannya membuka kulkas di sana untuk mengeluarkan sebuah kue yang sudah disiapkannya siang tadi. Ia lalu memasukkan kue itu ke dalam kardus dan diberi selotip pada pinggir-pinggirnya.
Tungkainya mulai berjalan kembali menuju basement gedung tersebut dan masuk ke dalam mobilnya. Sebuah tas yang berisi kue diletakkan pada kursi penumpang di samping kirinya. Kendaraan beroda empat itu mulai berjalan meninggalkan area apartemennya menuju ke tempat yang sudah Arga bagikan lewat aplikasi chatting satu jam yang lalu.
Saat akan sampai ke rumah Arga, pemuda itu menghubungi Surya terlebih dahulu. Bertanya tentang bagaimana kondisi di rumah Arga sekarang.
Surya balas tak lama kemudian. Lelaki itu bilang kalau saat ini mereka sedang makan bersama. Tapi pesan selanjutnya yang dikirim Surya seketika mampu menyita perhatian Rafka.
Surya | anaknya ngamuk tadi
Rafka | hah kok bisa?
Surya | tau tuh mara-mara mulu | bete | aneh dasar, lagi ulang tahun malah betmut
Rafka | gue otw kesana sekarang
Surya | lo udah selesai rapat emangnya?
Rafka | udah barusan
Surya | kalo gitu hati-hati kesininya | jangan ngebut
Setelah mengetikkan pesan singkat lagi untuk Surya, Rafka lalu kembali fokus menyetir. Ia beberapa kali bergantian memperhatikan antara jalan raya dan sebuah maps yang tampak pada headunit mobilnya.
Lima menit sudah perjalanan yang dilewati Putra Malverino. Kini ia sudah sampai di dekat rumah Arga. Tepatnya di depan taman kompleks perumahan itu yang juga sudah terparkir mobil milik Azka.
Rafka turun dari mobilnya tidak lupa dengan membawa kue buatannya. Dia ketikkan kembali pesan kepada Surya.
Rafka | sur, gue mau masuk ke dalem | bantuin gue gimana caranya biar arga ga liat pintu masuk
Tak lama ponselnya bergetar dan ada notifikasi masuk dari Surya.
Surya | oke raf
Setelah menyimpan ponselnya di dalam saku celana, Rafka lalu menyiapkan kue ulang tahun itu yang di atasnya diberi lilin angka dua dan satu.
Tungkainya kini mulai melangkah menuju rumah yang halaman depan untuk tempat parkir itu sudah dipenuhi oleh beberapa motor. Rafka melepas alas kakinya dan mulai berjalan ke arah pintu depan yang terbuka lebar. Disertai lagu ucapan selamat ulang tahun dan kue yang dibawanya pada tangan, Putra Malverino itu masuk yang kemudian disambut oleh tatapan semua orang di sana.
Tak terkecuali Arga.
Lelaki bersurai biru itu sedikit terkejut ketika mendengar suara yang dikenalnya. Dengan segera badannya ia arahkan ke belakang melihat di ambang pintu masuk sana, ternyata Rafka datang dengan sebuah kue ulang tahun di tangannya.
Dia datang, meruntuhkan dinding kecewa yang sempat dibangun oleh egonya. Meloloskan perasaan mengganjal yang sempat dirasakannya. Dan meredakan emosi yang sempat menguasai dirinya seperti waktu yang sudah.
Semua orang yang ada di sana lantas ikut menyanyikan lagu ucapan selamat ulang tahun untuk Arga bersama-sama. Kala yang bersurai merah muda sudah tiba dan menyejajarkan tingginya di depan Arga, Rafka lalu tersenyum cerah. “Make a wish dong!” Pintanya.
Arga menuruti lelaki di depannya itu dan mulai memejamkan mata untuk merapalkan sebuah permintaan yang diinginkan relung hati terdalamnya. Kelopaknya dibuka tak lama kemudian. Arga meniup lilin tersebut dalam sekali hembusan.
“Makasih...” Ucapnya, tersenyum cerah. “Lo ambil makan dulu di dapur, ayo gue anterin.”
“Loh eh, kuenya mau dibawa ke mana itu? Kok gak dipotong dulu?” Harsa sudah heboh sendiri saat Arga dan Rafka terlihat mulai beranjak dari tempatnya semula untuk menuju ke dapur. Padahal dia sudah berandai-andai akan mencicipi rasa dari kue yang kelihatannya enak dari tampilan luarnya itu.
“Itu pinggir lo juga kue.” Tunjuk Arga dengan dagunya ke arah sebuah kue di atas meja ruang tamu.
Saat keduanya sudah ada di dapur, ternyata di sana ada seorang wanita cantik yang terlihat sedang merapikan makanan di atas meja makan. Dapat Rafka pastikan kalau wanita tersebut adalah Bunda Arga. Karena saat melihat sepasang matanya setelah netra keduanya bersitatap, wanita itu seketika tersenyum yang mana tampak sedikit mirip dengan seseorang di sampingnya.
Rafka balas tersenyum lalu kemudian bergerak menyalami sebelah tangan wanita di hadapannya. Tangannya terasa halus saat permukaan itu bertemu dengan tangan kanan dan pipi kirinya. “Malam tante.” Sapanya.
“Malam juga ... Kamu baru datang? Soalnya tante enggak lihat kamu tadi,” Tanya wanita itu.
Arga dengan cepat membalas, “Namanya Rafka Bund, anaknya baru dateng soalnya ada rapat dulu di kampus.” Ucap Arga memperkenalkan Rafka kepada bundanya.
“Iya tante,” Rafka sedikit terkekeh saat membenarkan perkataan Arga barusan.
“Ohh ... Ya sudah kalau gitu Rafka ambil makan juga ya? Makanannya ada di meja makan.” Ujar sang Bunda ramah.
Arga bergerak meletakkan kue itu di atas meja makan dan memberi kode pada Rafka untuk segera mengambil makanan yang ada di atas meja itu. Tentu saja hal tersebut tak luput dari pandangan sang Bunda.
“Eh? Itu kue dari siapa Kak?” Tanya Bundanya.
Arga melirik sekilas kue itu, lalu kembali menatap Bundanya. “Ini? Dari Rafka Bund.” Balasnya.
“Aduh jadi ngerepotin ... Makasih ya Rafka.” Ucap Bunda Sekar tulus.
“Iya sama-sama tante.” Rafka membalasnya sambil menunjukkan senyumannya.
Rafka sedang menyendok seporsi nasi goreng ke piring di tangannya itu dalam diam, ketika Arga baru saja mengaduh karena mendapat sebuah pukulan di lengan sebelah kanannya setelah menyuapkan satu sendok kue pemberian Rafka ke dalam mulut. “Dipotong dulu kuenya, kok langsung kamu sendok gitu aja?!” Seru Bunda Sekar. Perhatian Rafka sepenuhnya tersita oleh suasana di depan dia.
“Hehe... Bunda mau nyicip juga nggak?” Lalu Arga mencakup kembali kue pemberian Rafka itu dan diarahkan ke hadapan Bundanya.
Sepasang netranya tidak bisa berbohong, kalau pemandangan di seberang tempatnya berdiri saat ini nyatanya dapat membuat dia tiba-tiba menghangat. Rafka tersenyum tipis nyaris hampir tak terlihat.
“Kamu nggak mau bagi juga ke yang buat kuenya?” Tanya Bunda setelah menghabiskan sesuap kue tiramisu dari Arga sebelumnya.
Rafka kembali menatap ke tempat ibu dan anak itu tepat saat dia baru saja selesai dengan urusan piring di tangannya. “Gapapa, gak usah tante ... Rafka emang bikin kuenya buat Arga.” Pemuda itu tersenyum manis setelahnya.
“Eh? Ini kamu bikin sendiri kuenya?”
“Hehe ... Iya tan,”
Arga mendengarkan percakapan itu. Ternyata Rafka yang membuat sendiri kue ini untuknya? Disaat mungkin bisa saja si surai merah muda itu membeli yang sudah jadi di toko kue manapun, tapi Rafka memilih melakukannya dengan usaha yang dia punya. Hatinya benar-benar tersentuh, yang mana menjadi alasan segaris senyuman mulai terbit menghiasi bibir si Agustus yang saat ini tengah merayakan hari istimewanya.
“Ga,” panggil Rafka.
“Kenapa Raf?”
Rafka menunjukkan piring di tangannya itu dengan sedikit pergerakan. “Udah selesai ambil makannya.”
Arga lalu paham. “Ohh ... Ya udah ayo,” Ajaknya kepada Rafka untuk kembali bergabung dengan yang lainnya di ruang tamu. “Duluan aja Raf.”
Rafka mengangguk, tak lupa memberi senyum untuk Bundanya Arga sebelum melenggang pergi dari area dapur tersebut.
“Temen kamu barusan... lucu, manis, rambutnya mirip permen kapas yang di pasar malem itu...” Bunda berkata setelah sebelumnya menyimpan kue dari anak laki-laki bersurai merah muda tadi ke dalam kulkas.
“Anaknya emang lucu Bund...” Setelah berkata demikian, Arga lalu ikut menyusul Rafka di belakangnya.
Saat ini mereka semua sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Rafka yang juga sudah menyelesaikan acara makannya, ikut menumpukkan piringnya seperti yang lainnya lakukan di bagian sudut ruang tamu tersebut.
Mereka lalu mengobrol santai dan memulai sebuah permainan. Anak laki-laki memilih bermain Play Station atas usulan Surya. Sedang dua anak perempuan di sana memilih memainkan ponselnya saja atau sesekali mengobrol bersama.
Rafka lama kelamaan merasa bosan melihat teman-temannya yang sedang bermain melawan Arga dan temannya. Dia hanya bisa memantau saja karena tidak terlalu mengerti bagaimana cara memainkan benda-benda yang sedang dipegang Arga itu. Rafka menarik nafas sekali, dia pikir sepertinya dia membutuhkan udara segar sekarang ini.
“Arga, gue mau ke kamar mandi ya?” Rafka berujar pada lelaki yang sedang sibuk dengan sebuah konsol game di tangannya itu.
Arga menjawabnya dengan sebuah gumaman. Pandangannya masih terfokus pada layar televisi di depannya. “Kamar mandinya ada di deket dapur Raf, pintu yang depannya ada kesetnya.” Tambah Arga, karena mungkin saja Rafka belum tahu letak kamar mandinya ada di mana.
Rafka beranjak dari ruang tamu itu tak lama setelahnya. Tungkainya berjalan ke arah kamar mandi sesuai arahan Arga tadi.
Saat baru saja keluar dari kamar mandi, niat Rafka tadi mau kembali ke tempat semula dan bergabung dengan teman-teman perempuannya saja. Tapi sepertinya, pandangannya menangkap sesuatu yang menarik di balik pintu kaca yang ada di dapur tersebut. Sebuah pencahayaan minim yang berhasil menyita perhatiannya.
Rafka berjalan pelan ke sana. Ternyata pintu itu tidak dikunci saat dia mencoba membukanya tadi. Kakinya melangkah menuju tempat yang baru saja dia ketahui adalah taman belakang rumah Arga. Tampilannya sederhana dengan beberapa tanaman hias di sana. Lalu ada juga sebuah ayunan yang terbuat dari kayu dan muat untuk diduduki dua orang. Rafka lantas berjalan pelan ke arah ayunan itu dan duduk di sana, sesekali mengayunkannya pelan.
Pandangan si surai merah muda otomatis menghadap ke langit malam yang terlihat bertabur banyak bintang. “Cantik.” gumamnya.
Rafka tersenyum melihat suasana di sekitarnya. Lalu ia teringat akan rencananya untuk memberikan kejutan pada Arga tadi yang dapat dikatakan berhasil meskipun sedikit terlambat.
Lama dia berada di sana. Sampai akhirnya dibuat sedikit terkejut karena suara seorang Argantara yang tiba-tiba tertangkap daun telinganya.
“Pantesan gue cari-carin ke mana ... Ternyata lo ada di sini. Ngapain Raf? Di sini dingin, ntar lo bisa sakit.” Arga mengomel, kini ia sudah sampai di depan Rafka dan memilih ikut mendudukkan dirinya di sebelah pemuda tersebut.
“Gak papa, gue cuma butuh angin dikit kok ... Yang lain masih main?”
“Iya.”
Rafka lalu menyandarkan punggungnya ke belakang. “Bosen banget, enaknya ngapain ya?”
“Makan.”
“Males.”
“Main.”
“Gue aja gak tau cara main PS.”
“Ya udah liatin aja.”
“Ish ... Gue aja bosen liat lo sama yang lain PS-an tadi.” Ungkapnya. “Lo buka kado dong.” Rafka berucap sembarang. Namun saat sadar ucapannya barusan, Rafka seketika menegakkan punggungnya. “Btw, gue udah kasih lo kado belum sih?” Tanyanya pada lelaki di sampingnya.
Arga menggelengkan kepala lantas meringis pelan. “Lo nyiapin kado buat gue?”
“Iya...” Rafka meletakkan telapak kanannya di atas dahi ketika mengingat sesuatu. “Kayaknya ketinggalan di dalem mobil deh...”
“Ya udah bisa nanti aja. Sekarang masuk yuk! Kumpul sama yang lain.” Ajak Arga setelahnya.
“Gak ah, mager.” Tolak Rafka.
“Tapi lo sendirian di sini, gelap lagi.”
“Kan ada lampu tamannya itu.” Dagunya lalu dia gunakan menunjuk tiang lampu yang ada di sudut-sudut taman.
Arga menghela nafasnya. Dia seperti memandang tak suka pada pemuda di hadapannya. Dia khawatir. “Masuk yuk Raf, di dalem aja sama yang lain,”
Namun Rafka terlebih dahulu memotong perkataan yang akan diucapkan Arga selanjutnya. “Ga...” Panggilnya.
“Apa?”
“Gue barusan liat di hp, katanya sekarang lagi ada hujan meteor ... Keliatan gak ya kira-kira kalo dari sini?” Tanya Rafka yang seperti lebih kepada dirinya sendiri.
“Ya gatau...?” Arga menjawab dengan sebelah alis yang terangkat, pertanda kalau dirinya memang tidak mengetahui apa-apa perihal yang baru saja disebutkan Rafka. “Emangnya mau ngapain, sih?”
“Mau make a wish banyak-banyak. Nanti kita taruhan siapa yang paling banyak minta permohonan tiap ada bintang jatuh.”
“Gak mau.” Tolak Arga cepat.
“Kok gitu?” Rafka tidak terima usulannya ditolak.
“Lo gak mau masuk ke dalem.”
“Iya ntar aja sih, gue masih mau di sini.”
Arga tidak punya pilihan. Semoga saja ancaman main-mainnya berhasil membuat Rafka mau masuk lagi ke dalam rumahnya. “Raf, mending masuk aja yuk! Gue takutnya lo ketempelan penunggu sini...”
“HEH! LO KALO NGOMONG JANGAN SEMBARANGAN, ARGANTARA!”
•••
“Diem diem bae... Ayo lah akustik-an!” Ajak Harsa pada semua orang yang ada di sana.
“Ayo, lo yang nyanyi ya?” Balas Surya.
Harsa berpikir sejenak saat mendengar kalimat dari Surya itu. Lantas tangannya bergerak menyentuh bagian perutnya. “Duh, kayaknya perut gue sakit deh gegara kebanyakan makan tadi ... yang lain lah jangan gue...” Alasan yang bersurai ungu tersebut. Yang sebenarnya Putra Lakhsa itu sedang tidak ingin mengeluarkan tenaga untuk bernyanyi sekarang.
“Lo pengisi acara gimana sih? Udah dibayar pake makan sepuasnya juga...” Protes seorang Surya Adilansah. Dia kemudian melemparkan bantal yang diambil dari sofa di belakangnya ke arah Harsa di seberang sana.
“Yang lain lah yang lain ... Azka tuh,” Tunjuknya kepada Azka yang diketahui juga mengambil jurusan yang sama dengan dirinya.
“Gak ah, gue lagi batuk.” Elak Azka. Kemudian tak lama setelah itu dilihatnya Rafka baru saja kembali dari arah belakang, yang juga disusul oleh sang tuan rumah—Arga—di belakang lelaki yang bersurai merah muda. “Noh si Rafka aja, suara dia bagus.”
Rafka yang baru saja akan duduk berbaur dengan yang lain itu sedikit bingung ketika Azka tiba-tiba menyebut namanya. “Apaan nih? Kenapa panggil panggil nama gue?”
“Akustik-an ayo Raf, lo yang nyanyi.” Ujar Harsa akrab. Lalu pandanganya ia alihkan melihat Arga yang memilih duduk terlebih dahulu di samping Rafka yang masih berdiri itu. “Ga, ambilin alat-alat musik lo dong.” Pintanya kemudian.
“Njir, gue baru duduk...?” Protes si surai biru. Alisnya menukik tanda tak terima.
“Tinggal berdiri lagi aja sih, ribet.”
“Enak aja lo kalo ngomong! Lo aja coba yang berdiri!”
“Lah ngapain? Yang tuan rumah kan elo ... gue sebagai tamu yang terhormat menikmati aja.”
Arga berdecih setelahnya.
“Cepetan sih ... mau dinyanyiin Rafka tuh!” Harsa kembali menyuarakan permintaannya.
“Tapi kan gue belom iyain?” Suara Rafka akhirnya, karena dia tadinya mau berbicara tapi kedua orang di dekatnya tersebut masih terlibat dalam sebuah percakapan.
“Iya aja udah ... Soalnya lo cakep,” Ujar Harsa lalu menunjukkan satu ibu jarinya ke arah Rafka.
“Gak nyambung bego.” Arga menimpali dibarengi dengan sebuah bantal sofa yang melayang ke arah Putra Lakhsa itu. Dia kemudian bangkit hendak menuju kamarnya, ingin mengambil alat musik sesuai permintaan Harsa tadi.
“Biasanya kalo orangnya cakep, suaranya juga ikutan cakep ... Kayak gue.” Ucap Harsa percaya diri.
“Gue lempar gitar lo ntar!”
“Anjir galak banget lo...” Sinisnya. Tangannya lalu bergerak mengambil air minum dalam gelas kemasan di atas meja itu lantas diteguknya untuk meredakan dahaganya.
Setelah beberapa saat menunggu, Arga lalu kembali dengan sebuah gitar dan kajon pada masing-masing tangan kanan dan kiri. “Siapa yang main?”
Harsa lalu menunjuk ke arah Jerico dan Surya seperti yang sudah menjadi kebiasaan ketika mereka sedang main bersama.
“Liat dulu, udah bersih belom?” Tanya Arga ketika menyerahkan gitar di tangan kirinya pada Jerico dan kajon di tangannya yang lain pada Surya.
“Udah/Yoit.” Ucap Surya dan Jeje bersamaan.
“Ih gak pernah lo bersihin ya?” Tanya Rafka yang kini ada di seberang tempat duduknya.
“Bukan punya gue Raf, gue cuma simpen aja,”
Rafka mengangguk paham. Lalu dipandanginya satu persatu orang-orang di sana. “Mau nyanyi lagu apa ini? Indo apa barat?”
Harsa jadi orang pertama yang menimpali pemuda itu. “Indo lah, lebih ngefeel.”
Rafka meringis mendengar jawaban Harsa, “Tapi gue gak terlalu tau lagu indo sih...”
“April tau gak?” Tanya Arga saat mengingat sebuah kejadian yang tiba-tiba melintas di kepalanya.
Rafka terlihat berpikir sebentar, kemudian mulai mengingat sesuatu. “Oh, lagu yang pernah diputer pas di café waktu itu?”
“Iya.”
“Gue inget lagunya.”
“Yaudah itu aja.” Ucap Arga.
“Agustus aja ada gak sih?” Harsa tiba-tiba berceletuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya.
“Maksud lo?”
“Ya kan sekarang bulan Agustus, April mah udah lewat.”
Hening kemudian. Semua orang di sana masih sama-sama memandang ke arah Harsa. “Anjir kok gak ada yang ketawa sih? Gak asik lo semua.” Ujarnya. Air muka pemuda bersurai ungu itu menekuk dibuatnya.
“Hahahahaha...” Suara mereka kompak setelah itu. Sebenarnya hanya untuk menghibur Harsa saja yang sudah berusaha melucu, meski akhirnya harus menerima balasan berupa perasaan malu.
“Sa, lo udah cocok ikut ILC.” Ucap Jinan yang ada di sebelah kanannya.
“Gak makasih. Lo aja.” Balas Harsa ketus.
Rafka hanya geleng-geleng kepala melihatnya. “Gue mulai ya?” Tanyanya kepada mereka. Saat mendapat balasan berupa persetujuan, Rafka lalu menoleh ke arah dua pemuda yang sudah siap dengan alat musik di tangan itu lantas memberi sebuah kode untuk segera memulai permainan musiknya.
Rafka bersiap dengan mengetukkan kuku-kuku jarinya pada penyangga meja yang terbuat dari kayu di depannya. Saat ketukan itu sampai di angka tiga, ia mulai menyenandungkan suaranya dibarengi dengan lantunan alat musik yang juga mulai menginvasi udara.
Arga diam-diam sudah merekam suasana tersebut pada ponsel genggamnya. Seperti teman-temannya yang lain, dia menikmati permainan Rafka dan kedua temannya di seberang sana. Sudut bibir si Agustus itu sudah tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang menawan.
Ada sebuah perasaan nyaman yang hadir ketika suara si surai merah muda menyapa indra pendengarnya. Arga hanya terlalu menikmati suasana malam kala itu, tepat di mana hari istimewanya sedang berlangsung.
Satu persatu tamu undangannya mulai pergi meninggalkan pelataran halaman depan. Garasi yang tadinya penuh, berangsur-angsur mulai lenggang kembali. Kini Arga berjalan berdampingan dengan Rafka ke arah mobil putih yang terparkir di depan taman dekat rumahnya.
Rafka bergerak membuka salah satu pintu di dekat kemudi lantas kembali menutup pintu mobil bagian depan tersebut setelah sebelumnya mengambil sesuatu yang dia letakkan di atas dashboard mobilnya.
“Nih.” Sebelah tangannya ia arahkan ke depan Putra Argantara. Menyerahkan sebuah paperbag kecil yang di dalamnya terdapat hadiah untuk seorang lelaki bersurai biru di dekatnya.
Arga menerimanya. “Makasih,” Ujarnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman. “Makasih juga udah dateng.”
“Sama-sama, maaf kalo gue telat.” Ada perasaan sesal saat Rafka mengucapkan kalimat tersebut.
“Gapapa, bukan salah lo.” Tenang Arga yang kini mulai menyunggingkan senyumannya ke arah si surai merah muda. “Btw, makasih juga buat kuenya.”
“Ga,” Panggil yang bertubuh lebih kecil.
“Iya, kenapa?”
Rafka menggigit bibirnya kecil sebelum berbicara, “Kuenya enak gak menurut lo?” Tanyanya dengan harap harap cemas. Ya, tahu sendiri bagaimana proses pembuatannya tadi sebelum akhirnya kue tersebut dapat diberikan pada seseorang di depannya saat ini dengan kepercayaan diri yang ia punya.
“Enak kok.”
“Beneran?”
Arga tersenyum kecil, “Iya...” Lalu saat dipikir-pikir lagi, tidak heran kalau kue tadi memang benar Rafka sendiri yang membuatnya. “Sebenernya waktu gue liat tadi, sempet mikir itu buatan lo sendiri apa bukan...”
“Kenapa emangnya?” Rafka penasaran tentang apa yang berusaha Arga ucapkan sekarang.
“Gak papa,” Arga menggelengkan kepalanya.
Rafka dibuat berpikir, lalu tiba-tiba saja sebuah kemungkinan melintas dalam benaknya. “Ih, lo jangan menghina dari covernya gitu dong!”
“Lah? Gue gak bilang apa-apa...?” Arga berkata dengan sebelah alis yang dia naikkan ke atas, pertanda bingung.
“Terus?”
Arga menghela napasnya sebentar sebelum menjawab si surai merah muda. “Kayaknya gue belum pernah liat kue kek gitu di bakery manapun ... Bisa jadi buatan lo sendiri, soalnya tampilan kuenya lucu ... kayak yang bikin.”
Rafka tidak menjawab lagi perkataan Putra Argantara itu. Kosa katanya seperti tertahan di ujung lidah tanpa bisa dikeluarkan. Harusnya Arga tahu kalau ucapannya baru saja menyebabkan detak jantung Rafka berpacu lebih cepat dari biasa. Rafka sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba fungsi tubuhnya seperti hilang kendali. Yang dilakukannya hanyalah memandang lurus si surai biru itu dengan air muka tanpa ekspresi.
“Katanya sih, personality seseorang bisa mempengaruhi tindakan apa saja yang dilakuin orang itu...” Arga masih berbicara. Sesaat kemudian, dia menyadari adanya perubahan pada pemuda di hadapannya. “Raf, jangan ngelamun, udah malem ... Entar lo kesambet gimana?” Ujarnya dengan tangan kanan yang dilambai-lambaikan di depan wajah Rafka. Kan enggak lucu kalau pemikirannya itu beneran kejadian?
Saat nalarnya mulai terkumpul kembali, Rafka lalu berdeham singkat setelah itu. “Enggak, gue gak kenapa-napa.”
“Oh...”
“Kalo gitu gue pulang dulu, ya?” Pamit Rafka kemudian.
“Iya ... lo hati-hati pulangnya. Soalnya gue gak bisa ngikutin dari belakang.”
“Iya iya, lagian gak jauh jauh amat kan dari rumah lo.” Ujarnya mencoba terlihat santai seperti biasanya. Rafka kemudian tersenyum setelah itu, “Gue pulang.”
Lelaki bersurai biru itu mengangguk menanggapinya. Setelahnya, Rafka bergerak membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam sana. Mesin mobil itu dinyalakan lantas mulai berjalan pelan meninggalkan area depan rumah Arga. Dapat dia lihat lewat spion atas, kalau Arga masih berdiri di belakang sana mengawasinya, sampai akhirnya rupa bayang itu tak terlihat lagi ketika dia belokkan mobilnya ke arah kiri pada jalanan di depannya.