His Fault


tw // cockroach


Ponsel yang ia taruh di atas nakas pada samping tempat tidurnya itu bergetar menandakan adanya notifikasi masuk dari seseorang. Rafka buka dan balas pesan yang ternyata dari Vania, salah satu sahabat dekatnya. Kemudian gadis itu kirimkan pesan lainnya yang bertanya padanya apakah dia masih mau ditemani makan bersama?

Rafka lantas iyakan. Dia sumringrah melihat ruang chattingnya dengan sahabatnya tersebut. Sebab Rafka sebenarnya masih mau mencari seseorang untuk diajaknya makan bersama. Tapi teman-temannya yang lain bilang kalau sedang ada tugas yang harus cepat diselesaikan. Rafka tadinya bingung, haruskah dia pergi sendirian atau tidak. Lalu Vania memberi kabar kalau gadis itu punya waktu luang sekarang.

Rafka dengan segera memakai jaket abu-abunya serta mengambil dompet dan kunci mobil yang dia letakkan di atas meja rias, tak lupa ponsel yang sudah dikantonginya di saku depan jaketnya. Rafka lalu bergegas menuju basement apartemennya. Membawa Winter keluar dari area parkiran itu ke tempat dimana Vania sudah bersiap menunggunya di depan bagunan apartemen tempatnya tinggal yang cuma bersebelahan saja dengan gedung apartemennya sendiri.

Vania masuk dan duduk di kursi penumpang yang ada di samping kirinya. Seperti biasa, gadis itu lalu memutar musik beraliran beat yang disambungkan dari ponselnya ke headunit mobil Rafka.


Baru saja Arga selesai memesan makanannya, ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru area restoran untuk menemukan meja kosong yang tersisa, netranya menangkap sebuah bayang rupa yang sangat dikenalnya. Tidak mungkin matanya salah mengenali seseorang. Sudah jelas yang sedang duduk di sudut kanan dekat mesin pendingin minuman itu, Ravian Rafka—dan seorang gadis yang masih asing bagi ruang memori di kepalanya.

Arga pandangi interaksi dua manusia itu dari tempatnya berdiri. Seperti sudah sangat akrab satu sama lain. Mereka berbincang dengan Rafka yang sesekali menyalurkan ekspresinya lewat gerakan kedua tangannya. Dan gadis yang ada di depan laki-laki itu juga tidak kalah ekspresifnya dari berbagai macam air muka yang ditunjukkannya.

Mereka, ada hubungan apa?

Awalnya Arga tidak ada niatan sama sekali. Tapi karena disamping ia butuh tempat duduk untuk makan nanti, Argantara juga didorong rasa penasaran yang tiba-tiba saja datang menghampiri relung hati. Ia akhirnya biarkan saja tungkainya melangkah ke arah di mana Rafka dan teman perempuannya itu duduk dengan nyaman sambil masih terlihat melakukan komunikasi.

“Gue boleh gabung duduk di sini gak?” Sapanya setelah duduk pada salah satu kursi kosong yang ada di hadapan Rafka, yang artinya ada di samping seorang gadis kenalan laki-laki berjaket abu-abu tersebut. Percakapan dua orang tadi otomatis terhenti, tatapan mata keduanya langsung tertuju padanya. “Restonya lumayan rame, gue gak bisa nemuin kursi kosong dah.” Lanjutnya memberi sebuah alasan kenapa ia menghampiri meja ini.

Rafka menanggapinya dengan balasan singkat. “Oh, boleh.” Lalu kembali melanjutkan perbincangannya dengan Vania yang sempat tertunda. Mereka asik sendiri. Yang mana hal tersebut tak luput sedikitpun dari perhatian seorang Argantara. Bagaimana kalau dia mau mencoba bergabung?

“Lebih bagusan yang item sih kalo kata gue.” sahut Arga ketika Rafka meminta pendapat pada Vania mengenai bagusan mana antara cardigan warna hitam dan putih pada salah satu aplikasi belanja online yang terlihat di ponsel laki-laki bersurai coklat tersebut.

“Gak, item entar kalo dipake keluar panas.”

“Ya berarti putih... Ngapain tanya kalo lo udah tau jawabannya dah?”

Ih, ngeselin.

“Ya suka-suka gue dong. Kan gue tanyanya ke Vania, bukan ke elo. Dih sewot aja!”

“Yaudah.”

Lama kelamaan Arga ikut terbawa pada atmosfer kedua orang di dekatnya. Ternyata gadis yang diketahui bernama Vania itu asik juga. Tapi ia masih belum tahu status hubungan apa yang dimiliki si gadis dengan seseorang di hadapannya. Rafka.

Apa dirinya harus bertanya? Ah tapi, bukankah itu terkesan terlalu ingin tahu? Ah Arga... Tolong tekan rasa penasaran yang sedang melambung tinggi saat ini! Bisa saja kalau nanti mulutnya keceplosan, malah disangka Rafka yang tidak-tidak.

Cukup lama ketiga orang itu berada dalam sebuah percakapan yang sebenarnya bisa dibilang, Rafka dan Vania-lah yang terlibat, dan Argantara yang tidak mau kalah dia juga ikut menyahut obrolan dua orang tersebut.

Rafka bahkan dibuat kesal karena beberapa kali perkataannya yang belum selesai tiba-tiba disahut dengan cepat oleh Arga. Lihat saja air muka laki-laki berjaket abu-abu tersebut yang sudah masam saja dibuatnya.

Tapi beruntunglah makanan pesanannya yang mulai datang tak lama setelahnya. Ia lalu memilih menyantap nasi goreng di depannya saja daripada menanggapi Putra Argantara itu yang lagi lagi buat dia kesal lantaran mengikuti apa yang dilakukannya baru saja pada satu postingan twitter.

Tiga orang di sana tengah menikmati makanannya masing-masing, ketika Vania tiba-tiba saja mulai bergerak gelisah.

“Eh? Apa sih ini yang di bawah?” Tanya gadis itu ketika dirasa kakinya yang ada di bawah meja seperti ada yang menyentuh. Namun dia tidak bisa melihatnya karena terhalang letak tempat duduknya yang sedikit sulit untuknya bergerak bebas. Rafka juga sama.

Sepertinya cuma Argantara yang dapat memastikan sesuatu di bawah meja itu. Kepalanya lalu diarahkan mengintip dari celah di sana. Diamatinya lamat-lamat dan ternyata ia temukan seekor kucing kecil sedang bergerak mondar mandir di sekitar kaki meja bagian tempat duduk Vania.

Namun tiba-tiba saja pikiran jahil melintas di pikiran laki-laki berhoodie hitam tersebut. “Lo takut kecoa gak?” Tanyanya.

“Hah? Kenapa emangnya?”

“Kalo gue bilang tadi itu kecoa, lo takut gak?”

Gadis itu mau menjawab pertanyaannya, tapi suara Rafka lebih dulu terdengar oleh indra pendengarannya. “Hah?! Ada kecoa?! Yang bener lo Argantara?!” Rafka terlihat panik mendengar perkataannya baru saja. Arga bingung, satu alis kirinya ditarik ke atas. Kenapa malah cowok di hadapannya ini yang menunjukkan reaksi berlebihan?

“Iya.” Arga masih mau menjalankan misi kejahilannya, jadi dia iyakan saja pertanyaan Rafka itu.

Dalam pikiran Argantara sebenarnya tidak mempersiapkan sesuatu semacam ini. Dia hanya berpikir akan melihat gadis di sampingnya ini yang kalang kabut karena mendengar nama kecoa disebut. Namun, tertarik oleh kenyataan yang ada, justru Rafka-lah yang terlihat panik karena ulahnya baru saja. Dirasakan oleh Arga, kaki Rafka yang ada di bawah meja mulai bergerak acak dan beberapa kali tak sengaja menyenggol kakinya.

Apa dia takut?

Rafka berbicara kepayahan karena mulutnya yang masih terisi penuh oleh makanan. Tapi rasa ketakutannya lebih besar daripada apapun yang dilakukannya saat itu juga. “Uwsir uwsir pwlis, guwe takwut!”

Sebab hal itulah, tak lama Rafka tersedak makanannya sendiri. Tangan kirinya bergerak menutup mulutnya agar tidak menyebabkan kekacauan pada meja.

Gadis itu dengan terburu menuju ke arah meja dekat televisi tempel di sebelah kasir. Ia lalu menuangkan teko berisi air putih yang memang disediakan gratis oleh pihak restoran tersebut pada gelas kaca dalam genggamannya.

Arga yang melihat itu, dia merasa... sedikit bersalah. Padahal niatnya tadi ingin menakuti Vania, tapi lihatlah gadis itu yang biasa saja. Malah Rafka yang termakan oleh ulah usilnya.

Ia berinisiatif mempersingkat waktu. Dilihatnya ke sekitar meja, hanya dia yang memesan air putih sedangkan dua lainnya dengan es teh pesanannya. “Minum punya gue dulu.” Ujarnya sembari menyerahkan segelas air putih yang masih utuh itu ke depan laki-laki yang lebih kecil.

Rafka lalu menerimanya dan meneguk air itu untuk meloloskan sisa makanan yang ada di mulutnya.

“Maaf gue gak maksud. Gue gak tau kalo lo takut kecoa.” sesal Argantara, air mukanya melunak melihat Rafka yang meminum air putih itu dengan tergesa. “Gak usah takut lagi, kecoanya udah pergi.” kucing maksudnya, koreksinya dalam hati.

Tak lama setelah itu Vania kembali ke meja. “Eh udah minum Raf? Punya siapa itu?” tanyanya ketika melihat Rafka yang sudah meminum segelas air putih tapi bukan dari yang ia ambilkan baru saja.

“Punya gue.” jawab Arga.

Rafka sudah mulai terlihat sedikit baikan. Dikembalikannya gelas dalam genggaman itu ke pemiliknya tadi. “Makasih.”

“Gak usah, lo minum aja itu.” tolak Arga ketika gelasnya digeser ke arahnya. “Gue bisa ambil lagi di sana.”

“Oh, yaudah.”

Lalu seketika keadaan menjadi sedikit sunyi. Walaupun keadaan resto saat ini ramai pengunjung, tapi untuk hawa di sekitar ketiga orang itu, rasanya tak lagi sama seperti pertama kali. Vania hanya bisa sesekali meloloskan dehaman menyadarinya. Ia tak akan banyak berbuat kalau Rafka sudah terlihat diamnya.

Sepertinya Argantara harus paham sesuatu.

“Gue paling takut sama kecoa, Ga.” ujarnya lirih. Bahkan nyaris hampir menyerupai seperti gumaman.

“Iya, Rafka... Maaf...”