I Promise You


“Lo gak ikutan balik Ga?”

Lelaki dalam balutan kaos putih polos itu lantas menoleh ke samping kirinya, dimana Rafka sudah lebih dulu menatap ke arahnya. “Gue gak mungkin pulang kalau apart lo masih berantakan gini,” jawab Arga. Pandangannya langsung diarahkan kembali ke depan, lalu tangannya meraih beberapa tumpukan piring kotor yang ada di atas meja. “Gue cuci ini dulu, baru nanti balik.”

Tak lama setelah itu Arga beranjak dari duduknya pada sofa ruang tengah tersebut dengan kedua tangan dipenuhi oleh setumpuk peralatan makan yang mereka gunakan sebelumnya. “Boleh tolong bawain panci yang masih sisa ini ke dapur gak Raf? Tangan gue gak muat.” ujarnya disertai dagu yang sengaja diarahkan menunjuk satu-satunya wadah aluminium yang tersisa di sana.

Rafka mengambil panci itu dan segera menyusul Arga yang lebih dulu berjalan ke area dapur. Kemudian diletakkannya benda tersebut di dalam wastafel seperti apa yang dilakukan seorang lelaki di sampingnya. Sebelum sang Putra Argantara itu berhasil meraih spons untuk mencuci piring, Rafka lebih dulu menginterupsinya, “Nanti ngerepotin, Ga... gak papa lo pulang aja sekarang, gue bisa cuci besok pagi.”

Arga pandang laki-laki bersurai terang itu, “Gak enak Raf ninggalin piring kotor gini... lagian juga belum terlalu malem, santai aja, gue gak ngerasa direpotin sama lo.”

“Tapi lo kan udak masak buat kita tadi,”

Ada sesingkat jeda sebelum Arga kembali mengeluarkan suara, “Kata bunda, kalo memungkinkan, sebisa mungkin jangan suka nunda nunda pekerjaan. Kalo bisa diselesaiin sekarang, kenapa harus nunggu sampe besok pagi dicucinya?”

“Tapi tetep aja gue ngerasa gak enak,”

“Raf, gue sendiri yang mau. Lagian kayak sama siapa aja sih pake gak enakan? Wajar kan, bantuin temen sendiri?” yakin Arga. Dia tidak mungkin meninggalkan apartemen Rafka begitu saja. Ada rasa tidak enak hati ketika keadaan sesaat setelah acara makan bersama tadi meninggalkan jejak berupa serakan peralatan makan yang mereka gunakan sebelumnya. Tadinya Surya dan Gladys juga sudah menawarkan untuk mencuci piring kotor itu, tapi sepertinya panggilan dari ponsel gadis itu terlebih dulu menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah. Jadilah tinggal Arga saja di sana, karena Surya harus mengantarkan Gladys jua sekalian pamit ingin kembali ke kosannya.

“Ya udah kalo gitu bareng bareng cucinya.”

Arga menanggapinya dengan senyum tipisnya. Kedua insan itu kemudian saling membantu membersihkan piring-piring serta alat makan lainnya bersama-sama.

Suasanya cukup hening, hanya terdengar suara keran yang menyala, dan pikiran yang sedang dirasakan dua orang itu pada masing-masing kepala.

Mereka memutuskan membagi pekerjaan, dengan Rafka yang bagian mencuci, sedang Arga yang bagian membilas. Rafka cukup telaten dalam membersihkan piring kotor di tangannya itu sampai seluruh permukaannya tertutup oleh busa sabun, lalu diserahkannya pada Arga untuk kemudian dibilas dengan air sampai bersih.

Saat Rafka kembali akan menyerahkan piring keramik dalam genggamannya ke tangan Arga, ternyata laki-laki bersurai hitam tersebut belum siap lantaran baru saja meletakkan piring sebelumnya yang sudah bersih ke tempat di sebelah bak bagian yang terisi penuh oleh air. Alhasil piring yang diserahkan Rafka itu jatuh ke dalam kotak tersebut.

Dua orang di sana sedikit terkejut akibat bunyi yang dihasilkan. Keduanya dengan segera mengambil piring itu hampir bersama-sama. Kemudian tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan di dalam air yang terlihat sedikit keruh.

Dua pemuda di sana terkesiap setelah menyadarinya. Arga hanya bisa mematung dengan debaran jantung tiba-tiba dia rasakan lebih cepat dari biasanya. Sedangkan Rafka, diameter matanya sedikit membesar karenanya. Cepat-cepat dia tarik kembali tangan itu dan berdeham pelan, “Eh, maaf, gue gak sengaja.”

Sebenarnya jiwa seorang Argantara belum sepenuhnya kembali pada sang raga. Tapi ucapan Rafka baru saja sedikit banyaknya membantu Arga mendapat kesadarannya yang sesaat lalu terenggut secara paksa karena kejadian tidak disengaja. Lelaki itu akhirnya menutupi kegugupannya dengan mengusap bagian bawah hidungnya, “Iya... maaf juga gue gak sadar lo tadi ngasih piringnya ke gue.”

Akhirnya mereka kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sesaat lalu. Rafka yang sudah selesai dengan bagiannya, ia menunggu Arga yang masih harus membilas alat-alat itu sampai bersih. Iseng, dia mengeluarkan ponsel genggamnya dan memotret Arga lalu mempostingnya di salah satu akun media sosialnya.

Tinggal satu benda terakhir dan bagiannya juga sudah selesai saat itu juga. Namun sepertinya Argantara menyadari apa yang dilakukan Rafka di sampingnya. Dengan sebuah niat yang pikirannya serukan dalam kepala dia, diam-diam Arga menangkup sedikit air lalu dipercikkan ke arah Malverino itu.

“YA!!” seru Rafka terkesiap karena tiba-tiba saja wajahnya terkena titik-titik air yang ternyata berasal dari seorang lelaki di dekatnya. Arga terus melakukannya seolah hal tersebut sangat menyenangkan bagi dirinya. Tapi Rafka yang tidak terima. “ARGA UDAH! NANTI BAJU GUE BASAH!”

Tapi yang namanya Argantara itu malah makin gencar melancarkan aksinya, bahkan suara tawanya juga ikut mengudara pada area dapur tersebut.

“ARGANTARA!! AWAS LO!!”

Rafka lalu mengejar laki-laki dalam balutan kaos putih itu. Arga yang paham kalau Rafka mau menghampirinya, ia matikan kran wastafel dan langsung berlari menghindari Rafka. Mereka berputar-putar di area meja makan sebelum berpindah memutari sofa ruang tengah. Rafka terus mengejar seseorang di depannya untuk membalaskan perbuatannya tadi. “Rese lo yang namanya Argantara! Berhenti gak?!”

“Gak mau, hahaha....”

“Isshh,”

Ketika dirasa nafasnya mulai memberat akibat sudah tidak sanggup lagi kalau harus kejar-kejaran seperti itu, Rafka akhirnya berhenti di belakang sofa berona biru. “Lo gak capek apa?”

“Enggak.”

“Hhh.... Gue yang capekh,”

“Ya berhenti dulu, nanti lanjut lagi.”

“Bukanh!” Rafka atur nafasnya yang patah-patah itu sebelum kembali berbicara. “Maksud gue, lo... apah lo gak capekh terus-terusan jailin gue Hah?!”

Arga punya sebuah alasan untuk itu, Rafka. Apa tidak apa-apa kalau diutarakan begitu saja?

Pandangannya kini mengarah lurus ke arah yang lebih pendek. “Lo, keberatan?” Akhirnya ia memilih menahan sesuatu yang mau diucapkannya dengan satu kalimat tanya.

“Agaknya iya, sedikit... lo punya dendam kesumat sama gue ya jangan-jangan?!”

“Ya kaga lah.” sangkal Arga.

“Terus??”

Ravian Rafka, dari selayang pandang kedua binar mata, dan sunyinya suasana malam hari itu, Arga mau bilang, “I have no idea about how to be close to you...” “Not me, but my heart did.”

Mungkin kalau telinga mereka diberikan keajaiban bisa mendengar hal-hal diluar nalar, suara detak jantung keduanya akan ikut terdengar oleh satu sama lain karena kerasnya degupan itu berpacu dalam rongga dadanya masing-masing.

Rafka pikir ada satu hal tak biasa yang dia rasakan kala itu.

“Ya udah kalau gitu, temenan yang biasa biasa aja, kayak lo sama temen temen lo, kayak gue sama temen temen gue,”

“Pake karet dua gak?”

“Maksudnya?”

Arga yang melihat Rafka seperti tidak mengerti itu lantas menggelengkan kepala. “Gak jadi, gak usah dipikirin.”

“Apasih?!”

“Gak papa Raf, gak ada apa-apa.”

“Ish, gak jelas!”

“Yang penting ganteng.”

“Dih, pede!”

Sudah terlalu lama Arga di sana, tampak semakin larut juga suasana malam hari yang terlihat di luar kaca jendela apartemen milik Rafka.

Arga lalu berpamitan pada sang tuan rumah untuk segera pulang. Ketika di ambang pintu masuk itu nyatanya Arga masih belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. “Raf,” panggilnya.

“Apa?”

“Makasih.”

“Hm, sama-sama.”

“Rafka,”

“Apa, Arga?”

Arga membenarkan satu kaitan pada tas punggungnya yang dia sampirkan sisi kanannya saja di pundaknya. “Gue usahain gak usilin lo lagi, tapi gak janji juga sih hehe...”

Rafka merotasikan kedua matanya menanggapi itu, “Apa kalo lo gak punya rencana mau usilin gue, bakal mati?”

“Serem banget omongannya...”

“Bercanda anjir,”

“Ya udah, mana!” Arga lalu arahkan telapak kirinya di depan Rafka.

“Apanya?”

“Tangan lo. Yang kanan.”

Rafka sebenarnya tidak mengerti, tapi tetap saja dia turuti kemauan seorang Argantara. Telapak kanannya diletakkan di atas sana, terlihat jelas perbedaan kedua tangan itu.

Arga balikkan posisinya menjadi tangannya yang ada di atas. Sedangkan tangannya yang lain merogoh saku hoodienya untuk mengambil sesuatu dari sana. Ternyata sebuah bulpoin hitam yang dikeluarkan Arga. Kemudian dia menuliskan sesuatu pada permukaan telapak tangan Rafka dan melipatnya membentuk sebuah kepalan.

“Bukanya waktu lo udah di dalem aja.” pinta Arga disertai segaris senyuman membingkai parasnya yang rupawan. “Gue pulang, ya?”

“Iya, hati-hati.”

Ketika bayangan sosok Argantara sudah hilang dari arah pandangnya, Rafka lalu kembali masuk ke dalam. Tangan kanannya yang mengepal itu dibukanya dengan cepat. Ternyata Rafka temukan sebuah tulisan di sana.

to : M I'll try my best This night I promise you