Kejadian Tidak Terduga
Pagar besar itu ditutupnya dengan hati-hati.
Argantara sudah bersiap menghidupkan mesin motornya di halaman depan rumah siang ini. Helm full face yang dibawanya di tangan kiri sudah dipasangkan membingkai kepalanya agar aman saat berkendara nanti.
Jarum panjang pada arloji di tangan kirinya sudah menunjuk angka sepuluh tepat. Arga hidupkan motor miliknya itu lantas segera beranjak meninggalkan pelataran rumah menuju kampusnya yang ada di daerah Jakarta Pusat.
Jalan raya hari ini dapat dikatakan sedikit berisi, dan itu buat Arga harus menyalip pengendara lain di depannya beberapa kali.
Saat sampai di lampu merah, Putra Natrasani itu melirik ke arah panel instrumen motornya dan melihat indikator lampu yang menunjukkan kapasitas bensin itu menyala.
“Duh kok habis bensin pas gini sih elah!” Monolognya dibalik helm hitam itu.
Arga berulang kali melirik jam tangannya untuk mengira-ngira akankah cukup waktu yang dimilikinya agar tidak sampai telat ketika tiba di kawasan kampusnya nanti. Karena ia tahu pasti, letak pom bensin yang sudah dihapal betul oleh kepalanya itu saat ini dalam keadaan yang cukup antri.
Tanpa membuang waktu, pemuda kelahiran Agustus itu langsung saja tancap gas saat lampu lalu lintas di atas sana sudah berganti warna jadi hijau. Arga lajukan kecepatan motornya setara dengan yang biasa ia jangkau.
Benar saja dugaannya. Kalau pom bensin daerah Rasuna yang sudah ada dalam bingkai pandangnya sekarang pada beberapa titik pengisiannya cukup terlihat memiliki antrian yang lumayan panjang.
Selama dalam antrian, Arga harap-harap cemas supaya sang dewi fortuna masih berpihak di sisinya. Bukan masalah apa, hanya saja ia yang tahu kalau dosen mata kuliah fotografi hari ini termasuk dalam jajaran dosen yang memiliki predikat killer di seantero lingkungan kampus.
Semoga saja ia masih dapat selamat dari semburan kalimat bermuatan pedas yang biasanya keluar dari mulut beliau ketika didapati ada mahasiswa yang membuat kadar amarahnya seketika meningkat karena ketahuan melanggar aturan.
Pukul satu lewat tiga puluh menit, Putra Argantara baru saja menginjakkan kaki di area parkiran gedung fakultasnya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, secepat kilat tungkainya berlari menuju kelas praktikum multimedia yang ada di lantai dua.
Ketika pintu berona kelabu itu sudah ada dalam pusat pandang netra, Arga normalkan detak jantungnya yang saat ini berpacu lebih cepat dari biasanya. Mengambil napas beratnya sekali. Lantas memberanikan diri membuka pegangan besi pada pintu besar itu dan mulai berjalan memasuki ruangan yang sudah terlihat penuh oleh mahasiswa maupun mahasiswi lain yang juga ada dalam kelas mata kuliah fotografi.
Keadaan kelas yang memang sebelumnya tidak banyak mengeluarkan suara, seketika menjadi makin sunyi karena kedatangan seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan dan menyita perhatian semuanya.
Arga berdeham sangat pelan untuk menutupi kegugupan yang melingkup ruang hatinya. Badannya ditegakkan lantas mulai berjalan ke arah meja sang dosen yang terlihat memandangnya secara intens nan tajam. Niatnya ingin menyalami lelaki paruh baya itu, tapi sebuah suara menginterupsi kegiatannya lebih dulu.
“Masnya kesasar tah? Jam segini kok baru datang?” Tanya beliau dengan arah pandangan sedikit ke bawah; dan sepasang matanya yang melihat melalui celah kacamata bagian atas. Bisa bayangkan sendiri bagaimana gugupnya seorang Argantara diberi tatapan seperti itu.
Sedang yang ditanya rasa-rasanya seperti mati kutu. Persendian badannya juga layaknya berubah menjadi batu yang diam membisu. Tapi Arga masih mau menjalani masa-masa kuliahnya dengan tenang dan damai, jadilah ia jawab pertanyaan dari beliau dengan jujur apa adanya—tanpa ditutupi, semoga saja dosennya itu mau mengerti.
“Maaf pak, bensin saya habis, tadi antrinya panjang banget di pom.”
“Kirain kamu kesasar gara-gara mapsnya mas-mas ojek,” lalu beliau alihkan pandangan itu menatap ke depan; ke arah para mahasiswa yang duduk diam sambil memperhatikannya dengan seksama.
“Bapak dulu pernah soalnya kesasar gara-gara mapsnya tukang ojek, katanya error, masa Bapak mau ke Kuningan diantarnya malah ke arah Kemang situ.”
Sontak penjuru kelas tertawa mendengar candaan yang dilantunkan Pak Halim tersebut; seorang dosen yang katanya termasuk dalam salah satu dosen galak yang dikenal satu kampus.
“Ya sudah, kamu langsung duduk saja sana.“— “Lain kali motornya diberi perhatian ya, Mas,“— “Sama seperti saya di sini yang butuh perhatian dari kalian.“— “Karena masih awal jadi saya maklumi, besok-besok jangan diulang lagi, ingat, tolong saya diberi perhatian juga ya.”
Arga lalu dengan cepat menyalami tangan Pak Halim dan berjalan ke arah kursi kosong yang masih tersisa.
“Sampai angka berapa tadi?” Tanya beliau pada murid didiknya.
“2 pak,” jawab satu kelas serempak.
“Lanjutkan lagi, siapa tadi yang terakhir?”
Salah seorang mahasiswi mengangkat tangan kanannya, lantas seorang yang berada di sebelah kanan perempuan itu berucap angka tiga, dilanjutkan lagi oleh yang sebelah kanannya mengatakan empat, lima, enam, dan seterusnya sampai angka delapan lalu diulang kembali ke angka satu. Terus seperti itu sampai satu kelas sudah menyebut satu angka masing-masing.
“Yang merasa menyebut nama yang sama, artinya kalian satu kelompok.” Jelas Pak Halim di depan sana. “Untuk tugasnya, pilih salah satu teknik dari kelima perspektif pengambilan gambar seperti yang sudah saya tuliskan di papan.”
“Sekarang kalian duduk sesuai kelompoknya masing-masing dan mulai diskusinya. Dipresentasikan nanti pada pertemuan ketiga.”
Setelah itu, masing-masing dari mereka mulai berpencar mencari teman satu kelompoknya.
Arga dapat angka lima. Dia mulai berdiri mencari anggota kelompoknya yang lain, tapi dia juga tidak tahu siapa saja yang dapat angka yang sama seperti dirinya. Karena Arga adalah orang terakhir yang menyebut angka lima pada waktu itu.
Saat masih sibuk mencari, tiba-tiba Surya memanggilnya untuk menghampiri tempatnya. Di sana sudah ada dua orang lainnya—seorang gadis dan laki-laki.
“Lo angka lima juga kan Ga?” Tanya Surya pada dirinya. Arga mengiyakan lantas balik bertanya, “Lo juga Sur?”
“Iya, mereka juga.” Tunjuk Surya pada dua orang lainnya di dekat mereka. Ada satu gadis yang masih belum dikenalnya, dan satu orang lainnya—Rafka?
“Eh? Kita satu kelompok,” ujar Rafka yang mana arah pandang sepasang netranya tertuju pada dirinya.
Arga membalasnya dengan suara tawanya yang lirih, “Ah, iya.”
Satu-satunya gadis yang ada di sana juga mulai bersuara, “Gue Gladys, anak DKV. Salam kenal ya, guys.”
Ketiganya kompak balas dengan senyuman dan kalimat sederhana untuk sang gadis, lantas memperkenalkan dirinya satu per satu. Setelahnya mereka mulai membahas tentang tugas yang diberikan oleh Pak Halim sesaat lalu.
“Pfftt.... Sekelompok tuh sama cowok yang bilang lo ganteng kemaren.... Wkwkwk temen gue pede banget ya jadi orang,” bisik Surya pada Argantara di samping kirinya.
Arga hanya meliriknya sekilas, “Diem lo, jangan kompor!”
“Gimana? Lo masih mau muter waktu gak? Biar gue pinjemin ke doraemon ntar hahaha.”
“A—”
Baru saja Arga mau melayangkan sebuah pukulan pada manusia yang menjadi sumber kekesalannya, Gladys tiba-tiba membuatnya berhenti dari niatnya semula. “Eh jangan ribut dulu dong, nanti aja kalo udah selesai bahasnya.”
“Terus nanti gue mau minta nomor kalian buat bikin grup, enaknya di WA apa LINE?”
“WA aja Dys, gampang.” Jawab Rafka.
“Okee....”
Pembahasan seputar tugas itu berlanjut. Tak ada lagi gurauan sampai benar-benar tuntas semuanya. Tercatat rapi dalam selembar kertas putih pada notebook si gadis berkuncir kuda.