Meet on Vacation


Rafka dan keempat temannya yang lain bergegas menuju basement apartemen untuk memasukkan barang-barang bawaan mereka ke mobil milik Rafka. Setelah selesai dan tidak ada satupun barang yang tersisa, mereka lalu masuk ke dalam mobil putih tersebut.

Vania mengambil alih di belakang kemudi. Kaila di sampingnya. Rafka dan Azka menempati kursi bagian tengah. Sedangkan Farezi duduk sendirian di belakang.

“Njir gue sendirian di belakang.” suara pemuda yang akrab dipanggil Fares itu kepada empat temannya yang ada di bangku depannya.

Azka yang mendengar itu, dia condongkan badannya ke belakang melihat yang bersurai ungu pudar. “Ya terus lo mau gimana? Gue pangku gitu?” tanyanya main-main.

“Gak gitu juga...” elak Farezi Kavindra, “Gak enak gak ada temennya.” lanjutnya mengeluh lagi.

“Perkara duduk doang,” sahut Vania dari arah paling depan. Tak lama mesin mobil dinyalakan oleh gadis berambut sebahu tersebut. “Gue tinggalin juga lo Res!” Nadanya memang terdengar sedikit serius, tapi sebenarnya Vania hanya sedang iseng saja saat mengucapkannya.

“Jangan lah Van! Iya iya gue gak protes lagi.”

Lalu tak lama kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan tempatnya semula dan mulai membelah jalanan ibukota bagian selatan untuk menuju suatu tempat yang sudah direncanakan kelima orang di dalam mobil itu sebelumnya.

Mereka berencana menghabiskan hari Minggu ini dengan berlibur bersama ke Taman Jaya Impian Ancol. Lima orang itu memang sudah membuat janji sebelumnya, yang kebetulannya bisa terlaksana sekarang.


Pendar lampu di atas sana masih menunjukkan warna merah. Arga lalu tolehkan kepalanya ke sekitar dia. Hanya kendaraan Jerico lah yang ada di samping kirinya saat ini, dengan Harsa yang ada di boncengan belakang.

“Surya mana?” tanya Arga, suaranya sedikit teredam di balik helm hitam miliknya. Karena setahunya tadi, mereka masih saling berdekatan sebelum sampai di lampu lalu lintas daerah pasar baru sekarang.

“Di belakang, gak berani ngebut dia... gue liat tadi habis diprotes Jinan.” jawab Harsa.

“Bilangin kalo gitu Sa, pas papasan nanti, langsung aja ke parkiran, ketemuan di sana.”

Harsa menanggapinya dengan bahasa isyarat tangan kanannya yang dibentuk O.K. pada satu-satunya pemuda yang berkendara sendirian.

Tak lama kemudian, lampu lalu lintas itu berganti warna. Arga kembali melajukan motor hitamnya disusul Jerico di belakang dia.

Hampir menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum mereka tiba di area parkir kendaraan roda dua Taman Ancol. Surya jadi yang terakhir sampai. Ia dan Jinan lalu menghampiri ketiga temannya yang lokasi parkirnya sedikit jauh dari tempatnya sekarang.

Kelimanya lantas jalan bersama memasuki kawasan tempat hiburan. Mengamati objek yang tersaji di hadapan. Tak jarang juga sesekali ada yang mengabadikan potret suasana itu dalam sebuah tangkapan gambar lewat kamera ponsel masing-masing.

Arga sedang sibuk menjelma jadi fotografer dadakan ketika Harsa mengeluarkan suara, “Makan dulu yok! Gue laper!”

Jinan yang ada di dekat laki-laki bersurai ungu itu menanggapi, “Kayaknya mau dimanapun itu lo selalu laper deh Sa.”

Harsa berdecak. “Ananda Jinan... Wajar dong gue laper, ini kan udah masuk jam makan siang kalo lo lupa,”

“Btw gue juga laper sih.” sahut Surya menyela perkataan Harsa sambil tangannya memegang bagian perutnya. “Cari makan yuk! Mainnya entaran aja habis makan!”

“Setuju sih gue, main main di pantai juga butuh tenaga.” Harsa makin menghasut temannya yang lain agar mereka mau makan siang terlebih dahulu sebelum memutuskan bersenang-senang di pantai nantinya.

Karena semua setuju, akhirnya kelima pemuda tersebut memutuskan mencari sebuah cafetaria di dekat sana. Saat sedang berjalan melihat-lihat restoran mana yang menjadi tempat mereka memutuskan akan singgah untuk makan siang, tiba-tiba saja Harsa berceletuk, “Bentar... Gue kok kayak pernah liat tuh orang, tapi di mana ya?” Matanya sudah memicing; memandang lurus ke depan, tertuju pada salah satu gerombolan remaja yang sedang duduk di salah satu meja cafe dekat ia dan teman-temannya berdiri sekarang.

“Siapa Sa?” tanya Jinan.

“Itu Nan, cowok yang duduknya deket pager pembatas kayu, yang rambutnya cerah.” jawab Harsa sembari telunjuknya menunjuk siapa orang yang ia maksud.

“Yang mana sih? Yang rambutnya cerah ada dua.”

“Ck, itu yang pake kemeja putih, yang rambutnya pink atau apa itu? Gak jelas gue liatnya,”

Sontak pandangan kelima laki-laki itu tertuju pada satu titik yang sama. Dimana di depan sana, pada salah satu meja yang terdapat satu kelompok remaja berbeda gender tersebut sedang bersenda gurau satu sama lain, ada seorang lelaki yang dimaksud Harsa tadi.

Jerico dari samping kirinya menyahut, “Keliatan gak asing.” Lalu saat dirinya menoleh ke samping, tampak laki-laki dengan mata sipit itu makin memicingkan kedua matanya sambil terlihat sedikit berpikir.

“Lo kenal Jer?” tanya Harsa.

Saat belum ada jawaban dari si surai cokelat muda, tiba-tiba saja Argantara menyuarakan sebuah keterkejutan yang sedikit lantang terdengar. “Hah?! Kok bisa barengan?!”

Surya menimpali cepat, “Siapa Ga?”

“Rafka Sur, masa lo gak ngeh?”

“Lah masa?! Sejak kapan dia ganti warna rambut?”

“Kemaren bareng gue.”

Harsa yang tiba-tiba mengingat sedikit akan lintasan kejadian dahulu itu lantas bertanya. “Rafka Rafka yang di Kokas itu?”

Jerico baru ingat, ternyata wajah laki-laki yang bersurai merah jambu itu memang tidak asing bagi ingatannya. “Iya deh Sa, yang kita gak sengaja ketemu Arga sama cowok waktu di foodcourt dulu.”

“Siapa lo? Pacar ya?” tanya Harsa pada si Putra Argantara.

“Ngaco lo!” elak Arga. “Mana ada gue pacaran?”

“Terus?”

“Temen doang elah... Temen satu kelas fotografi bareng Surya juga.”

“Masa? Gue agak gak percaya?”

“Yaudah tanya aja sendiri kalo lo gak percaya.”

Harsa memang penasaran. Terbukti dari tungkainya yang mulai melangkah mendekati yang menjadi pusat tujuannya kini.

“Heh lo mau ke mana anjir?” tanya Arga ketika Harsa mulai tampak menjauh dari yang lain.

“Kata lo tanya aja sendiri, ya udah ini gue mau nanya.” Setelah mengatakan itu, Harsa kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.

ASDFGHJKL Batin Arga sedikit panik. Segera saja dia susul yang bersurai ungu itu cepat-cepat. Entahlah, dia merasa ada sedikit ketakutan pada relung hatinya. Masih belum jelas apa, masih terlalu abstrak untuk dijabarkan lebih luas. Yang jelas ia harus mengejar Harsa sebelum laki-laki itu benar-benar melakukan suatu hal gila seperti apa yang saat ini dipikirkannya.

Dapat. Lengan kanan Harsa berhasil diraihnya setelah berlarian kecil mengejar temannya itu. “Sumpah Harsa, lo jangan malu-maluin gue. Ayo balik!” Ajak Arga.

Namun sepertinya Arga tidak sadar kalau ternyata tempatnya berpijak kini sudah ada di dekat meja tempat Rafka dan teman-temannya yang lain berada.

Rafka otomatis menghentikan percakapannya dengan yang lain ketika sebuah suara berhasil tertangkap oleh indra pendengarnya. Saat menoleh ke asal suara itu, ternyata ia dapati seorang Argantara tak jauh dari tempatnya sedang bersama dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya.

“Lo di sini juga Ga?” tanya Rafka pada si surai biru itu.

Arga yang mendapat pertanyaan itu lantas menoleh ke depan. Sepertinya sudah terlambat kalau harus kabur saat itu juga. Dia sedikit meringis sebelum menjawab yang bersurai merah muda. “Iya, gue bareng temen-temen gue ke sini.”

“Oh ya? Mana?” tanya Rafka lagi.

Saat Arga ingin menoleh ke belakang melihat teman-temannya yang lain, ternyata mereka sudah ada di dekatnya sekarang.

Rafka yang melihat Surya dan Arga kini berdiri berdampingan sontak saja berceletuk. “Lo berdua kayak anak kembar.” Telunjuknya lalu diarahkan kepada dua orang dengan warna rambut biru yang terlihat hampir serupa.

“Arga nih ngikutin gue.” protes Surya.

“Emang lo doang yang bisa ngewarnain rambut jadi biru? Suka suka gue lah mau warnain apa aja.”

“Padahal bagusan blonde.” sela Rafka.

“Gak, gue lebih suka biru.”

Setelah meneguk minumannya, Fares yang penasaran akan kehadiran lima pemuda di depannya itu lalu bertanya pada Rafka yang terlihat mengenal beberapa orang di sana. “Temen lo Raf?”

“Iya, yang rambutnya samaan sekelas matkul fotografi sama gue.”

“Oohh... Suruh duduk dulu sih, kasian itu masih berdiri.”

“Oh iya,” Rafka lalu menyuruh Arga dan teman-temannya duduk di meja dekatnya. Setelah berbincang-bincang cukup lama dan masing-masing dari mereka sudah memperkenalkan diri satu sama lain, semua orang yang ada di sana memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama-sama seusai dari makan siang ini.

Saat sedang fokus pada santapan di hadapannya, Arga mencuri lirikan pada meja di sebelah dia karena mendengar suara tawa kecil yang cukup familiar. Dilihatnya Rafka yang ternyata asik berbincang ringan dengan teman-temannya, tangan kirinya sesekali sibuk membenahi rambutnya agar rapi kembali akibat ulah dari angin yang berhembus pelan kala itu.

Dari mejanya saat ini, tak bohong kalau dirinya sekarang sedikit tertegun. Sebuah pemandangan di depannya adalah satu dari alasannya tak berkedip selama memandang untuk waktu beberapa detik yang sudah lewat.

Cukup ia dan langit biru yang jadi saksi, kalau kurva pada bingkai wajahnya diam-diam mulai terpatri.

Arga suarakan sebuah kekaguman yang hanya hati kecilnya ketahui, Cantik.