Meminta Izin
Arga sampai rumah dengan selamat, ia bawa tubuhnya pada kasur big size dan merebahkan disana.
Tring!
Sebuah notifikasi terpampang di layarnya, Itu Rafka. Lelaki itu menanyakan apa rencana mereka ke Bandung akan jadi? Perasaan Arga kacau, disatu sisi ia ingin pergi tapi kota tersebut memberi kenangan buruk baginya.
Tapi haruskah Arga kesana? Disana ada Rafka pasti semua akan baik-baik saja. Jari Arga lihai bergerak di atas layar handphone, membalas pesan dari Rafka. Sekarang ia mantapkan niatnya dan meminta izin pada sang ibunda.
Arga berjalan menemui bundanya yang tengah menonton televisi. Langkahnya sedikit ragu, bisakah ia mendapat izin sang ibunda? Arga mengulum bibirnya, jantungnya berdegup kencang.
Ada sedikit perasaan takut ketika ia ingin meminta izin pada bundanya, tapi dia tidak boleh terlalu lama berlarut pada ini.
Semua pasti bakal baik-baik saja. Ada Rafka disisinya.
“Bunda” panggil Arga dalam satu suara. Perempuan setengah baya itu menoleh pada putranya. “Apa sayang?”
Arga duduk disamping ibunda, berpikir untuk mencari alasan agar niatnya diizinkan. Namun melihat wajah bundanya kembali membuat perasaan Arga gusar. “Bunda, Arga kan ada tugas kuliah dan harus foto-foto gitu”
“Tumben kamu bahas kuliah? Kenapa emangnya?”
“Bun boleh ya?” Arga memegang kedua tangan bundanya. Bunda semakin tidak mengerti kenapa anaknya melakukan hal tersebut.
“Boleh apa?”
Reaksi bundanya membuat Arga takut, “Arga minta izin buat ke Bandung”
Ekspresi memang tidak bisa dibohongi. Perempuan itu langsung terdiam, menghela nafas dan mengalihkan pandangannya pada televisi.
“Arga kamu tau kan Bandung bagi kita itu seperti apa?”
Arga menunduk, tak berani menatap bundanya. “Tau Bunda”
“Bunda bukannya mau ngelarang, tapi kamu tau kan kejadian seperti apa dulu disana?”
“Tapi bunda, Arga kesana gak sendirian”
“Bunda cuman takut ada kejadian apa-apa kalau kamu kesana”ujar wanita paruh baya itu dengan nada khawatir yang kentara.
“Bunda, Arga udah gede. Arga pasti bisa jaga diri, lagipula Arga kesana sama Rafka bun. Rafka bakal jaga Arga kalo ada apa-apa, boleh ya?”
“Kamu gak bakal kenapa-kenapa kan kalau kesana?”
“Ada Rafka bunda, Rafka bakal selalu sama Arga”
“Bunda sebenernya pengen banget ngelarang kamu tapi bener kata kamu, anak bunda udah besar. Bunda gak mau ngekang anaknya bunda, takut pergi lagi“
Arga menatap wajah sendu itu. Dia jadi teringat sosok yang menjadi penyebab bundanya sering menangis dikala malam. Dimana ya dia sekarang? Apa setelah bebas dari sini ia hidup baik-baik saja? Atau hidup bergelantungan tidak jelas? Arga kembali menunduk.
“Bunda izinin Arga ya?”
“Kamu jangan macam-macam disana ya? Bunda takut Arga”
“Iya bunda,” perempuan itu tersenyum.
Berpikir bahwa putranya kini sudah dewasa, sudah menentukan pilihannya sendiri.
Padahal dulu ia sangat kecil, sering bermain bersama saudara kandungnya.
Anaknya yang satu sekarang bagaimana kondisinya? Baik-baik saja? Iya. Sekar harap dia baik-baik saja. Dan setidaknya harus melihat sang adik yang dulu dia manjakan menjadi sebesar ini.
“Bunda ayah gimana?”
“Biar bunda yang ngomong” Arga tersenyum untuk kesekian kali. Bundanya memang pengertian, ia sangat amat sayang kepada bundanya.
“Terimakasih bunda, Arga sayang bunda”
“Bunda juga sayang Arga”
Keduanya berpelukan, kenangan itu biarlah berlalu.
Kini mereka harus bangkit dari luka lama, bukannya tidak baik meratapi nasib yang sama? Kini mereka belajar, jika harus sembuh harus dihadapi bersama bukan selalu dihindari.