Nothing Will Changes


Rafka kembali membasahi bibirnya yang kering. Saat ini dia sedang pusing, bagaimana tidak jika dia baru saja bangun dari tidurnya dan ingin beranjak mengambil air dikarenakan pusing yang dirasakannya; efek dari alkohol yang dia minum sebelumnya. Ia malah disuguhkan pemandangan seorang lelaki yang sedang tertidur dengan posisi terduduk di sofa yang berada di dalam kamarnya.

Lelaki yang sudah dua minggu lebih Rafka hindari. Lelaki yang membuatnya menangis hanya jika mengingat kata-kata yang dia ucapkan. Bahkan lelaki yang menjadi penyebabnya banting setir ke club semalam.

Rafka belum siap sebenarnya. Dia belum menguasai ilmu bagaimana harus bersikap di depan Arga seperti biasanya. Rasa-rasanya sekarang Rafka ingin kabur jika saja pening di kepalanya tidak ada.

'Gue harus gimana? Pergi aja kali ya? Alasan kalau ada kelas— Eh tapi dia tau jadwal kelas gue. AISHH!' Masih pagi namun pemuda bersurai merah muda itu sudah dibuat bimbang.

Rafka perlahan mendudukkan dirinya. Kepalanya masih terasa sakit ketika digerakkan. Entah berapa banyak yang dia minum semalam. Pemuda itu mengambil selimut dan bantal yang dia punya untuk diberikannya pada kehadiran lain selain dirinya di kamar itu.

Sebisa mungkin, ia melakukan segala sesuatunya sepelan mungkin agar tidak sampai menimbulkan suara apapun yang akan membangunkan lelaki yang tertidur pada sofa dengan keadaan yang menurut Rafka sangat tidak nyaman.

Setelah memposisikan sebuah bantal di bawah kepala Arga dengan senyaman mungkin dan memberinya selimut, Rafka beranjak keluar dari kamarnya menuju dapur untuk meminum segelas air. Berharap menghilangkan pening yang dia rasakan sedari dirinya bangun pagi tadi.

'Hah, gue masih harus mikirin harus bersikap gimana pas dia bangun nanti.' Gumam Rafka dalam hati.


Hal pertama yang dilakukan Argantara ketika baru saja membuka matanya adalah berkedip berulang kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya. Lelaki bersurai biru itu meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu seketika tersadar bahwa dirinya dibaluti selimut dan tidak lagi dalam posisi duduk; ditambah bantal yang ada di bawah kepalanya.

Arga seketika menoleh ke arah ranjang dimana semalam dia mengangkat seseorang ke sana. Namun saat dilihat, ternyata ranjang itu kosong. Arga mendudukkan dirinya dengan panik, takut jika seseorang yang sudah dia tunggu hingga pukul 3 pagi kembali menghindar seperti sebelum-sebelumnya.

Dirinya dibuat semakin panik saat melihat notifikasi yang muncul pada layar ponselnya. Rafka berniat untuk pergi, lagi. Arga sengaja menyalakan notifikasi akun Rafka karena merasa harus melakukan itu untuk sementara waktu.

Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Arga dengan cepat keluar dari kamar sang tuan rumah dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Namun nyatanya sosok Rafka tidak terlihat. Tetapi kemudian Arga dapat mendengar dentingan kaca dari arah dapur; membuatnya menghela napas lega yang mana artinya pemuda bersurai merah muda itu tidak benar-benar pergi ke tempat lain.

Arga melangkahkan kakinya menuju dapur dengan segera. Di sana, dia melihat sosok mungil yang membelakanginya. Kalau dilihat dari tempatnya berdiri sekarang, sepertinya Rafka sedang melakukan sesuatu di depan wastafel itu.

“Pagi~” Sapa Arga. Dapat dia lihat pemuda yang lebih kecil darinya itu sedikit tersentak. Arga tersenyum kecil saat melihatnya. Entahlah. Mungkin, dia sedikit merindukan saat-saat seperti ini.

“P-pagi, lo udah bangun? Gimana? Nyaman gak? Sorry ya, gue gak tau lo dateng, gue udah nelfon Vania buat bawain makanan. Maaf juga gue lagi gak bisa masak buat sarapan. Lo pegel gak? Atau mau gue panggilin tukang pije—”

“Rafka.” Panggilnya dengan nada suara terdengar selembut mungkin, membuat perkataan yang lebih tua terhenti dengan paksa.

“K-kenapa?”

“Bicaranya sambil ngehadep gue kan bisa?” Arga menatap lurus pada yang bersurai merah muda.

“Gue,,, gue lagi nyuci,” Ucap Rafka memberi alasan yang membuat Arga menyunggingkan sebuah seringai ketika mendengarnya.

“Cuci gelas? Tapi gue perhatiin gelasnya udah kering tuh... Dari tadi lo lap terus, entar kena gores gimana?”

Gotcha!

Rafka mengumpat dalam hati karena kebodohannya. Bisa-bisanya kinerja otaknya seperti malfungsi saat ini? Di saat dirinya berhadapan dengan Arga?

Rasa-rasanya Rafka ingin cepat-cepat kabur dari sana. Namun baru saja dirinya berbalik badan, rasa pusing kembali menyerang kepalanya dan membuatnya sedikit terhuyung.

Arga memandang Rafka khawatir. “Raf, are you okay?”

Anggukan Arga terima sebagai jawaban. Namun nyatanya hal itu tidak membuatnya puas, hingga akhirnya ia memutuskan untuk maju dan menuntun Rafka hingga pemuda itu duduk dengan nyaman.

Arga dengan cepat mengambil posisi di depan kursi Rafka. Mereka kini hanya terhalang meja makan yang ada di hadapan keduanya.

“Lo masih pusing?” Tanya Arga yang hanya dijawab anggukan seperti sebelumnya.

“Di sini ada jahe gak?”

Rafka menggeleng.

“Kalau beras?”

Rafka kembali menggeleng yang mana membuat Arga menghela napas karenanya. “Buah? Lo punya apa aja di sini?”

“Tinggal pisang doang.”

Arga mengernyitkan keningnya. “Terus selama ini lo makan apa?!”

“Mie?” Jawab Rafka ragu.

“Bego.”

Rafka melotot mendengar ucapan Arga barusan.

“KOK NGATAIN GUE?! Ugh~”

“Gak usah sok teriak, lo masih pusing. Dan lo emang bego bisa-bisanya makan mie doang. Kalo teh ada gak?”

Rafka mendengus kesal karena Putra Argantara itu. “Ada. Teh hijau doang.”

“Lebih bagus. Tunggu bentar, gue mau bikinin teh. Gue pernah searching kalau teh bisa bikin hangover cepet ilang.” Arga beranjak lalu mengambil panci dan mulai merebus air.

Di tempatnya duduk saat ini, Rafka berdoa agar air yang direbus Arga lama mendidihnya. Karena sedari tadi, Rafka harus rela menahan gugup saat berhadapan dengan lelaki yang namanya telah tersemat di hatinya itu. Untung saja Arga tidak menyinggung tentang apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir.

TUK!

Sibuk memikirkan keresahannya, nyatanya gelas berisi teh hijau sudah berada tepat di hadapannya.

“Loh kok udah jadi?”

Arga mengernyit bingung. “Emang udah jadi, apa lagi emang?”

Rafka menggelengkan kepalanya. “Gak, gak ada apa-apa”

“Minum cepet, kalo pusing lo udah hilang, gue mau ngomong sesuatu.”

Seketika Rafka merasa tenggorokannya menjadi kering, dengan cepat dia meneguk minuman di depannya, namun sayang—

“UHUKK! UHHUKK, Shhh panashhh.” Rafka lupa bahwa teh itu masih panas. Arga yang melihatnya langsung berdiri untuk mengambil air dingin dan memberikannya pada Rafka.

“Lo gapapa? Aduh, makannya minum tuh pelan-pelan, gak ada yang bakal ambil kok. Emang dasar bayi!”

Rafka memilih tidak menjawab dan masih berusaha meminum teh buatan Arga dalam diam.


“Jadi lo mau ngobrolin apa?” Rafka bertanya setelah meminum teh buatan Arga hingga tak bersisa.

“Ngapain ke club?”

Rafka arahkan arah pandangnya melirik pemuda lain selain dirinya di sana. “Seneng-seneng aja.” Ucapnya yang tentu saja adalah kebohongan dan Arga tahu itu. Terbukti dari rahangnya yang mengeras mendengar jawaban yang terlampau santai dari bibir Rafka.

“Lo bilang seneng-seneng? Mabuk-mabukan sampai jam 3 pagi, lo gak sayang diri sendiri apa gimana?!”

Arga mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlalu mengeraskan suaranya, atau mereka akan berakhir seperti terakhir kali.

“Emangnya kenapa kalau gue mabuk-mabukan? Lo juga tau kalau gue emang sering minum. Kalau gak suka ya udah abaiin aja.” Rafka berkata dengan perasaan kesal. Padahal bukan pertama kali bagi Arga tahu tentang sisi dirinya yang seperti ini. Belum lagi fakta bahwa masalah mereka yang terakhir kali belum selesai. Ditambah dengan Arga yang menyerangnya di pagi hari begini membuat amarahnya semakin memuncak.

“Gimana gue bisa mengabaikan itu Ravian Rafka?!” Geram Arga. Suaranya memberat tanda menahan emosinya yang bergejolak.

Rafka memutar bola matanya malas dan menatap sinis pada lelaki bersurai biru di depannya. “Gampang banget, lo jangan campurin apapun yang gue lakuin!” Tekannya sejurus dengan air mukanya yang menampilkan ekspresi serius.

ENGGA DISAAT LO BERDUAAN SAMA ARA, DAN GUE YANG DENGAN BODOHNYA NUNGGUIN LO SAMPAI JAM 3 PAGI KAYAK ORANG BODOH!” Arga tidak bisa lagi menahannya sekarang. Amarahnya lepas di bawah batas kendali yang sanggup dia lakukan. “...cuma buat minta maaf kalau perkataan gue waktu itu bikin lo ngejauh sampai sekarang. Gue... gue gak bisa ngabaiin hal itu gitu aja!”

Arga menunduk dan mengepalkan kedua tangannya setelah mengeluarkan apa yang memang dia ingin katakan pada Rafka—Sosok yang membuatnya uring-uringan selama hampir dua minggu ini.

Di lain sisi, Rafka terkejut. Terkejut karena Arga yang membentaknya dan kata-kata yang dikeluarkan oleh lelaki itu.

Rafka sebenarnya sudah menduga bahwa Arga datang ke apartemennya setelah melihat cuitannya di twitter semalam. Tapi ia tidak mengira bahwa Arga mempermasalahkan tentang dirinya yang berduaan dengan Ara, orang yang menjadi tempatnya mengeluarkan keluh kesahnya tentang lelaki itu sendiri.

Bolehkah Rafka sedikit berharap kali ini? Bolehkah Rafka mengira bahwa Arga sekarang tengah cemburu? Atau bolehkah Rafka bahagia karena Arga juga sama pusingnya dengan dirinya disaat mereka berdua memiliki jarak?

“Gue gak bisa kalau lo ngejauh kayak gini, entah kenapa gue gak tenang. Hari-hari gue udah terlalu sering sama lo, Raf. Jangan ngejauh lagi, gue gak suka,” Arga mengeluarkan keluhannya tepat di depan orang yang bersangkutan dan menatap lekat pada kedua bola mata berwarna coklat itu.

Rafka masih belum bereaksi apapun. Perkataan Arga benar-benar membuatnya berfikir apakah dirinya memiliki setitik harapan pada pemuda bernama Argantara itu? Apakah mungkin, Arga akan mengatakan sesuatu yang membuat kumpulan sel-sel bahagia dalam tubuhnya bekerja sebentar lagi? Pikirannya benar-benar berkelana bebas saat ini. Banyak kata 'mungkin' yang terus terngiang dalam kepalanya, sebelum—

“Karena lo sahabat gue Raf.”

Haha.

Rafka merasa benar-benar dipermainkan. Baru beberapa detik yang lalu dirinya serasa diterbangkan dengan harapan-harapan yang dia buat sendiri. Lalu di detik berikutnya dijatuhkan langsung oleh orang yang menjadi pusat harapannya.

Rafka sadar, tidak mungkin Arga memiliki perasaan khusus untuknya sekarang, atau bahkan mungkin sampai kapanpun. Seharusnya ia tidak perlu berharap lebih.

Melihat keterdiaman Rafka membuat Arga resah. Dia seperti kembali ditarik pada malam terakhir saat dia dan Rafka baik-baik saja. Suasananya membuat Arga mengingat malam itu kembali. Apa mungkin dirinya kembali mengatakan sesuatu yang salah?

Arga dibuat bingung sendiri. Detik-detik yang berlalu sibuk dihabiskannya bergelut dengan pemikiran yang bersarang di kepala. Pada detik berikutnya, dia beranikan menatap wajah Rafka untuk melihat bagaimana keadaan si surai merah muda itu. Namun hal yang tidak sekalipun ia bayangkan terjadi. Lelaki yang lebih tua darinya itu kini justru tersenyum padanya.

Arga bingung harus bersikap bagaimana. Tapi untuk sekarang, tak bisa ia pungkiri kalau setidaknya, hatinya kini merasa sedikit lega. Arga ingin membalas senyuman itu tadinya, namun urung saat tak lama setelah itu dia melihat air mata jatuh membasahi kedua pipi Rafka.

Argantara panik.

“L-lo nangis? Gue salah ngomong lagi, ya? M-maaf banget, gue gak tau harus gimana. Raf, gue salah banget ya?” Ujarnya tanpa henti. Air mukanya juga menunjukkan ekspresi merasa bersalah. Arga makin dibuat panik, tapi kelihatannya senyum Rafka justru semakin lebar. Setelahnya, pemuda bersurai merah muda itu menggelengkan kepalanya lalu mengangkat kedua tangan untuk mengusap pipinya guna menghilangkan jejak-jejak air mata di sana.

“Enggak. Lo gak salah, gue cuma kebawa perasaan aja mungkin... Efek masih di bawah pengaruh minuman kali ya? Haha...” Canda Rafka. “Gue gak akan menjauh lagi kok. Maaf ya? Udah bikin lo musingin hal yang gak penting kayak gini,”

“Maksud gue gak gitu Raf—”

“Em, jangan bicara dulu. Biarin gue yang ngomong ya sekarang?” Pinta Rafka yang akhirnya dibalas anggukan oleh Arga.

Rafka mengambil satu tarikan nafas panjang dan memantapkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu yang dia pikir memang sudah seharusnya dia katakan hari ini.

“Lo pasti bingung. Kenapa malam itu gue tiba-tiba pergi ninggalin lo, bohong sama lo, dan menghindari lo selama berhari-hari tanpa kabar? Gue saat itu emang bodoh banget karena ngelakuin hal yang sia-sia kayak gitu. Gue cuman gak siap untuk berhadapan sama lo.”

Rafka mengambil jeda sebentar untuk melihat reaksi lelaki di depannya, lantas kembali melanjutkan ucapannya saat melihat Arga tampak bingung karena dirinya.

“Inget waktu gue nanyain soal gimana kalau misalnya gue suka sama lo?”

Arga mengangguk, tanda bahwa dia mengingat pertanyaan yang dimaksud oleh Rafka.

“Itu bukan cuma misal... Gue, gue beneran suka sama lo—atau gue bisa bilang dengan yakin gue udah jatuh sama seorang cowok yang bernama Argantara. Entah sejak kapan lebih tepatnya gue ngerasain itu, tapi gue emang punya perasaan ke lo lebih dari sekedar temen.”

Jadi, ini alasannya?

Arga mematung saat mendengar pernyataan dari Rafka.

Peluang terkecil dari dugaannya terhadap sang pemuda ternyata benar adanya?

“Dan saat lo ngelarang gue buat suka sama lo, di situ pertahanan yang udah gue bangun sejak awal lo bilang gak berniat untuk berhubungan dengan hal yang namanya cinta langsung hancur. Gue gak sanggup, makanya gue langsung pergi gitu aja karena gue gak mungkin nangis di depan lo saat itu. Haha... cengeng banget ya gue?”

Arga menggeleng cepat menanggapinya.

“Raf, kenapa gak bilang dari awal?” Lirih Arga lantas mengambil sebelah tangan Rafka yang berada di atas meja untuk dia genggam.

Rafka tersenyum tipis lalu melepas genggaman Arga secara perlahan. Membuat lelaki kelahiran Agustus itu sedikit terkejut karenanya.

“Gue gak seberani itu Arga. Setelah semua usaha yang gue lakuin, gue ngasih beberapa kode yang gue pikir bakal lo sadari. Tapi ternyata hasilnya gak seperti yang gue kira. Gue gak seberani itu ngomongin sesuatu yang bahkan gue sendiri bisa bayangin hasilnya bakal kayak gimana,” Rafka merasa sedikit putus asa sekarang. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain mengatakan semuanya pada Arga. “Lo bisa bilang gue pengecut, tapi gue beneran gak siap waktu itu kalo harus dihadapin sama yang namanya patah hati. Karena itu juga, gue dengan bodohnya jadi ngelampiasin sakit hati gue dengan menghindari lo berhari-hari. Gue gak siap ketemu sama lo.”

Arga mendengarkan cerita Rafka dengan seksama. Dia benar-benar tidak mengira bahwa Rafka menyimpan luka sebesar itu karena dirinya. Hatinya mencelos saat melihat kabut pada mata Rafka yang kini mulai runtuh menjadi bulir air mata dan membasahi kedua pipi sang pemuda.

Namun masih ada satu hal yang membuat Arga penasaran.

“Tiga hari setelah malam itu, gue setiap hari dateng ke sini. Dan lo gak pernah pulang, lo kemana?” Tanyanya.

“Gue di rumah Ara.”

Nama itu lagi.

Kenapa? Kenapa rasanya Arga tidak berguna bagi Rafka sekarang? Kenapa Rafka harus menjadikan gadis itu tempat berteduh di saat Rafka merasa tersakiti karena dirinya?

Rafka melihat kepalan tangan Arga yang membuat urat-urat di lengannya semakin kentara.

“Gue drop. Gue sakit. Malem itu gue diopname. Ara pengen bawa gue ke rumah sakit, tapi gue tolak karena yakin kalau lo tahu, lo pasti bakalan temuin gue gimana pun caranya.” Ucap Rafka seolah tahu apa yang dipikirkan Arga.

“Gue minta maaf Raf. Gue bener-bener gak tahu kalau gue nyakitin lo segitu banyak. Gue bajingan, ya? Gue janjiin lo kalo gue bakalan selalu ada buat lo, tapi lo sakit aja gue gak ada.”

Arga merasa marah. Marah karena dia tidak tahu Rafka sempat diopname. Marah karena memikirkan Rafka berdua saja di rumah yang sama dengan Ara. Marah karena gadis itu selalu saja berada di sekitar Rafka.

Arga hanya... tidak ingin gadis itu menggantikannya.

“Gue... Ayo pacaran kalo gitu! Gue bakal paksain ini, gue mau lo jadiin gue sandaran lo!” Ucap Arga tergesa membuat Rafka tersentak. Namun sedetik kemudian ia mengerti kenapa Arga menjadi seperti ini. Ada yang bilang, kalau itu hanyalah bentuk perlindungan diri seperti anak-anak yang takut mainannya diambil oleh orang lain.

Arga hanya merasa tidak aman, merasa bahwa mungkin saja Rafka kembali akan menjauh dari Arga saat ini.

“No. Gue gak mau lo paksain apapun Arga. Apalagi cuma karena gue. Lo itu berharga, jangan pernah paksain sesuatu hanya karena pemikiran sesaat yang lo punya. Bukan hanya gue yang akan tersakiti, tapi lo juga. Gue gak mau hal itu terjadi. Dan soal perasaan gue, ini udah urusan gue, tanggung jawab gue. Gak usah merasa bersalah atau apapun itu.” Rafka menjeda ucapannya sejenak. “Kita bakalan tetep jadi temen. Kalau lo mau gue jadiin lo sandaran gue, gue bakalan lakuin itu. Jadi anggap aja semuanya hanya badai sesaat, ya?” Lalu tersenyum setelah mengatakannya.

“Oh, satu lagi. Gue mohon buat jangan pernah suruh gue hilangin perasaan ini. Karena gak akan segampang dan secepet itu.” Kali ini Rafka berujar serius. “We're still can be best friend right?” Ujarnya disertai sesimpul senyuman manis. Sedang Arga hanya bisa mematung di tempatnya.

Kali ini, Arga akan memperbaiki semuanya dan melakukannya dengan sebaik mungkin. Karena Arga tidak ingin menyesal untuk yang kedua kali.