Percobaan Kesekian dan Hasil yang Didapatkan


Kala motor sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapi di area basement sebuah gedung apartemen daerah Jakarta Selatan, Arga lantas melepaskan helm yang melindungi kepalanya dan menyimpan benda tersebut di atas jok motornya. Pemuda kelahiran Agustus itu dengan cepat melangkahkan tungkainya menuju ke lantai satu bangunan.

Arga mau mencoba lagi. Dia akan terus berusaha mencari di mana pun keberadaan Rafka saat ini.

Pesannya satu pun tidak ada yang ditanggapi. Setelah minggu malam waktu itu, Rafka benar-benar menghindarinya tanpa repot-repot sebelumnya memberikan setidaknya satu alasan pasti. Arga dibuat bingung sendiri.

Maka dari itu, setelah urusan kuliahnya selesai hari ini, dia memutuskan kembali mengunjungi apartemen Rafka untuk memastikan. Dia akan bertanya pada lelaki yang bersurai merah muda kenapa dia meninggalkannya bahkan sampai harus berbohong masalah kepulangannya malam itu.

Jantungnya berpacu cepat seiring langkahnya menapaki pualam dasar bangunan puluhan lantai tersebut. Arga harap-harap cemas, apakah kali ini dia akan kembali mendapatkan udara kosong sepanjang dia menunggu di depan pintu apartemen Rafka, berharap kalau pemuda itu akan menjawab dan membukakan pintu untuknya seperti yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya?

Arga tidak bisa berpikir jernih. Dia masih saja menemui jalan buntu. 'Apa yang salah?' Pikirnya.

Tanpa terasa kini posisinya sudah berada tepat di depan lift yang biasanya dia gunakan setiap kali akan berkunjung ke unit apartemen Rafka. Dipencetnya tombol itu sekali, dan dia hanya perlu menunggu beberapa saat hingga pintu baja itu terbuka.

Dari yang pertama kali dilakukannya sembari menunggu pada pijakan kakinya yang dia buat sedikit menghentak permukaan lantai, sampai ketika pintu lift baru saja berbunyi; tanda akan segera terbuka, Arga selalu mengambil nafasnya dalam-dalam. Dan tepat ketika pintu baja itu sudah terbuka lebar, Arga yang tadinya sudah mantap akan melangkahkan tungkainya masuk, kini harus dibuat berhenti lantaran melihat sebuah kejadian di depan sana.

Tubuhnya terasa kaku tanpa sedikitpun niatan akan digerakkan. Matanya terpaku pada gambaran dua insan yang saling berhadapan. Bibirnya tercekat dengan tangan mengepal seiring detik kian berjalan dalam sebuah atmosfir yang menyesakkan.

Arga mau mengelak, tapi rambut berwarna merah muda itu meruntuhkannya telak.

Yang dilakukannya hanya berdiam diri seperti pajangan patung lilin sampai dua orang itu keluar dari lift dan menyadari kehadirannya.


“Lo mau ke mana lagi sih malem ini? Gak capek apa keluar mulu malem malem gini?” Ara bertanya dengan wajah yang terlihat cukup jengah lantaran Rafka yang terus saja mengajaknya keluar pada malam hari begini. Meski begitu, ia tidak bisa menolak lantaran Rafka yang selalu bilang akan mentraktirnya, jadi dirinya tidak usah khawatir masalah itu.

“Ke cafe lagi ... Kalo perlu explore seluruh cafe di Jakarta deh. Gue mau coba satu-satu!” jawab Rafka bersemangat karena menemukan teman yang bisa diajaknya hangout bareng ketika teman-temannya yang lain saat ini tengah disibukkan dengan jadwalnya masing-masing.

Ara ikut tersenyum saat Rafka mengatakannya disertai wajahnya yang terlihat berbinar. “Seneng banget lo?”

Rafka menoleh, dilihatnya gadis berambut panjang yang kini tengah menatapnya. “Ya jelas lah, self healing itu perlu, biar gak stress.” Ujarnya.

“Lo liat topeng monyet juga entar gak bakalan stress.” Ara mencoba sedikit bercanda dengan lelaki berwajah manis itu. Mungkin saja Rafka dapat terhibur? Karena ia lebih suka ketika si surai merah muda sedang dalam suasana hati yang ceria. Bukan seperti yang dia lihat seusai acara yang diadakan UKM mereka pada malam hari yang lalu.

“Hahaha apaan sih Ra?”

“Serius Raf, kan lucu tuh, pasti lo ketawa pas ngeliatnya—” “Atau lo mau liat ondel-ondel?”

“Hahaha apaan sih? Gak ah, jangan macem-macem Ara,”

Ara mau membalasnya, namun suara yang terdengar seperti benda jatuh itu terlebih dulu menginterupsinya. Saat dia melihat ke bawah, ternyata ponsel yang ia simpan pada saku jaketnya kini sudah tergeletak di sana. Diambilnya benda persegi itu lantas ketika akan bangkit, sesuatu yang keras tiba-tiba mengenai kepalanya. Suara kesakitan dari Rafka adalah apa yang ia dengar setelahnya.

“Aww!”

“Aduh!”

Ara dengan cepat mendongak. “Sorry sorry Raf, gue gak liat tadi! Duh, maaf maaf!” Sesalnya saat ternyata dirinya tadi tak sengaja menghantam dagu Rafka; terlihat saat pemuda itu memegangi bagian rahang bawahnya dengan kedua tangannya.

“Gak papa haha...“— “Gue cuma kaget aja lo gercep banget bangunnya. Tadi gue niatnya mau bantu ambilin.” Jelas Rafka yang kini sudah menurunkan kembali tangannya.

“Oohh ya ampun, gue gak tau... Sumpah maaf Raf!”

“Gak papa selow Ra, kayak sama siapa aja sih?” Untuk meyakinkan Ara kalau dirinya baik-baik saja, Rafka terus saja mengeluarkan suara tawa kecilnya.

“Ada yang luka gak?” Tanyanya.

Rafka menggeleng, “Enggak ada, lo gak usah khawatir elah. B aja juga...”

Entah kenapa, dua manusia yang memiliki perbedaan jelas pada status gender itu semakin menaikkan frekuensi suara tawanya. Mereka sama-sama menertawai kejadian baru saja yang menimpa keduanya.

Rafka masih belum sadar, sampai Ara menggeser posisi yang tadinya ada di hadapannya, menjadi beralih di sampingnya. Ternyata pintu lift sudah terbuka. Mereka lantas beranjak keluar dari sana, yang langsung disambut oleh kehadiran seseorang di depan pintu masuk lift tak jauh dari tempatnya.

Rafka membulatkan matanya; tanda dirinya terkejut mendapati seorang Argantara berada di depan sana. Pemuda bersurai biru itu sama sekali tak berkutik persis seperti dirinya yang saat ini juga menghentikan langkahnya. Dan hal tersebut tentu saja disadari oleh Ara. Gadis itu melihat bergantian ke arah Arga juga Rafka yang saling berpandangan, namun memilih bertahan dalam keterdiaman.

Saat sadar akan situasi, Arga adalah orang pertama yang mengeluarkan suaranya. Dengan langkah berat dan nafas yang sudah seperti tercekat, dia hampiri si surai merah muda. Arga mengeluarkan sesuatu dari balik saku hoodienya. Refleks karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya saat ini. Kinerja otaknya seperti malfungsi.

“Gue cuma mau ngembaliin ini... Ketinggalan hari itu...” Arga berujar dengan lirih, tangan kanannya menyerahkan ID card milik Rafka yang tertinggal pada hari dimana lelaki yang lebih kecil darinya itu meninggalkannya begitu saja.

Rafka menerima ID card itu lalu menyimpannya pada tas kecil yang dibawanya. “Makasih.” Ujarnya lantas menyunggingkan senyum secepat kilat. Rafka bingung karena harus terjebak dalam situasi seperti sekarang.

“Lo... Baik?” Tanya Arga sedikit ragu. Memecah fokus Rafka yang sekali lagi, dia sunggingkan senyumannya yang hanya bertahan selama sepersekian detik. “Hm.” Jawabnya singkat.

“Oohh... Oke...?” Arga mengangguk mengerti. Dilihatnya Rafka yang masih betah memandang ke arah lain tapi hanya sebentar saja saat bertatap muka dengannya. Arga menarik sudut bibirnya kecil ketika melihat itu. “Kalo gitu gue pulang dulu. Have fun buat lo berdua. Bagus deh kalo ternyata lo baik-baik aja sekarang ... Semoga yang gue lihat malem itu salah...”

Segera setelah mengatakan itu, Arga membalikkan badannya dan melangkah menjauh dari tempat Rafka masih bertahan di tempatnya. Sedangkan pemuda bersurai merah muda itu sudah dibuat terkejut dengan kalimat yang diucapkan Arga sebelum meninggalkan tempatnya tadi. Rafka menoleh cepat melihat ke depan sana. Punggung lebar itu semakin jauh seiring dengan keadaan hatinya yang kini berdenyut nyeri saat melihatnya. Rafka meremat bagian dada kirinya. Harusnya tidak begini...

“Raf? Lo gapapa?” Tanya Ara hati-hati. Dia takut kembali terjadi sesuatu pada Rafka setelah laki-laki itu dipertemukan lagi dengan penyebab yang sama mengapa Rafka menangis malam itu.

“Sakit... Lagi...” Akunya. Bibir itu sudah digigit dari dalam guna menyalurkan apa yang saat ini dia rasakan. Namun Rafka kali ini tidak membiarkan hatinya jatuh terlalu dalam dan berakhir dengan air mata seperti waktu itu. Dia mencoba bertahan.

“Gak jadi aja ya perginya?”

“Justru jadi!” Elak Rafka cepat. “Gue mau lupain kejadian barusan. Ayo pergi!”

Rafka melangkah meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju area basement dengan Ara di sampingnya.

“Tapi gue aja yang nyetir, gue takut terjadi apa-apa sama lo!”

Saat Rafka baru saja membuka mulutnya, Ara dengan cepat memotongnya. “Gak ada penolakan! Atau gak jadi pergi!”

Rafka mengiyakan gadis itu akhirnya.


Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Arga berulang kali membunyikan klakson yang ditujukannya pada pengendara lain di sekitarnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan orang-orang itu, kecuali mungkin kesalahan kecil saat tak sengaja berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya. Namun Arga tetap saja menekan tombol klakson itu lalu bergerak mendahului mereka dengan kecepatan penuh.

Luapan emosinya sudah menguasai pikiran dan hatinya. Malam itu dia benar-benar seperti orang yang sedikit hilang akal dan melampiaskannya saat itu juga. Arga bahkan tidak memikirkan akan kemungkinan bisa saja terjadi sesuatu dengan caranya berkendara yang jauh dari kata biasa itu.

Ternyata orang yang selama ini dikhawatirkannya terlihat baik-baik saja, bahkan sedang bersama teman perempuannya. Memang apa yang seharusnya diharapkan lelaki itu? Arga seperti orang bodoh dengan mengharapkan hal yang tidak seharusnya dia harapkan.

Lagi-lagi klakson itu terus saja dia bunyikan dan membuat suara nyaring pada jalanan malam kala itu. Hatinya kini sedang dipermainkan oleh perasaan yang tak menentu.

“Sialan!”