Pergi Untuk Kembali


Selepas kepergian dua orang tadi, Rafka sebenarnya tengah berpikir cara mencairkan suasana di antara dirinya dan Surya. Hanya saja, tidak banyak yang bisa ia pikirkan saat ini. Entahlah, dirinya sendiri juga tidak paham. Seperti ada sesuatu yang baru saja hilang, tapi tidak tahu itu apa.

Beruntunglah pada seorang waiters yang baru saja mengantar pesanan barunya. Karena setelah waiters itu pergi, Surya alihkan atensinya ke arah atas meja. “Lo pesen cappucino lagi?”

“Eh iya, enak soalnya.” Jawab Rafka sesaat setelah ia baru saja meminum cairan berwarna coklat muda itu.

Surya hanya menanggapi dengan ber-oh lirih. Lantas ia coba mulai sekadar melayangkan pertanyaan basa-basi. “Kurang apalagi sih tugas kita? Udah semua?”

“Udah kok, cuma bagian konsep aja yang nanti dipikirin lagi.”

“Okee... Catatannya semua ada di iPad lo 'kan ya?”

“Iya, tenang aja udah gue catet semua, kok.”

“Share ya ntar di grup,”

“Iya.”

Lalu setelahnya hening kembali. Di antara mereka belum ada yang mengeluarkan suara. Sampai ada satu pertanyaan melintas dalam pikir seorang Rafka. “Eh, Sur, gue boleh nanya gak?”

“Tanya aja Raf.”

“Lo udah lama temenan sama Arga?” tanyanya hati-hati. Sebenarnya Rafka juga tidak mengerti kenapa ia menanyakan ini. Yang jelas, dirinya hanya mau mengikuti apa kata hati.

“Ohh, iya, udah dari semester 1 malah.”

“Gituu...,” Angguknya paham. “Cuma berdua doang? Atau ada yang lain?”

Apa ia terkesan terlalu kepo? Tapi apa salahnya juga bertanya pada teman baru yang ingin lebih dikenalnya?

“Kalo dari semester 1 sih kita berlima, tapi sebenernya sampe sekarang juga masih, cuma karena emang beda kelas, jadinya kalo ketemu atau nongkrong gitu pas ada waktu aja.” jelas Surya.

“Ohh, I see.” “Gue juga gitu sama temen gue. Karena beda jadwal, jadinya kalo misal mau kumpul-kumpul gitu harus cari waktu yang pas.”

Rafka lalu meneguk cappucinonya sedikit demi sedikit. Pikirannya kembali berpusat pada satu kerangka sempit. Tentang waktu beberapa saat lalu yang hadir melintasi ruang memori dalam kepalanya. Tentang dua nama yang tiba-tiba saja datang menyambangi relung hatinya.

Rafka... khawatir. Tapi pada tujuan yang entah arah labuhnya ada di mana.

Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Iya, semoga saja memang tidak terjadi apa-apa pada dua orang yang saat ini ada di luar sana dan tengah melalui jalanan ibukota. Semoga saja langit malam mau menjaga mereka dari segala macam mara bahaya yang hadirnya paling dihindari kebanyakan manusia.


“Thanks Ar,” ujar Gladys saat sudah turun dari motor milik Arga.

“Yoi.”

“Terus habis ini lo mau balik lagi ke sana?” tanya gadis berkuncir kuda itu kemudian.

“Iya, habis gue mampir bentar ke rumah.“— “Tanggung kan tugas kita tadi cuma tinggal secuil doang. Biar gue, Surya, sama Rafka aja yang selesai-in habis ini.”

“Oh, yaudah kalo gitu..., hati-hati di jalan!”

Setelahnya, Arga lalu meninggalkan area Puri dan melajukan motornya ke arah jalanan menuju rumah dia. Niatnya cuma mau mengambil dompet yang tertinggal di meja depan televisi. Karena sesuatu yang penting seperti identitas diri dan surat kendaraannya ada di dalam benda tersebut.


Setengah jam berlalu. Kini Arga sudah sampai kembali di tempat yang menjadi titik kumpulnya bersama teman satu kelompoknya tadi.

Argantara lihat dua lelaki yang dikenalnya itu tampak seperti tengah melakukan diskusi kecil. Rafka yang menulis sesuatu di atas layar iPad-nya, sedang Surya dengan ponsel pada genggamannya terlihat membacakan kalimat-kalimat yang sepertinya tertera pada tampilan layar tersebut.

“Udah dateng lo?” tanya Surya ketika didapati temannya itu baru saja tiba dan duduk di sampingnya. Arga membalasnya dengan sebuah gumaman. Lantas bertanya, “Lo berdua ngelanjutin diskusinya dari tadi?”

“Barusan.” jawab Rafka cepat. Tangannya masih terlihat sibuk di atas layar iPadnya. Lalu tak berapa lama kemudian, pandangannya ia arahkan ke depan. Melihat Argantara tepat di netra yang tampak persis menyerupai langit malam di luar sana, sehitam jelaga.

Tidak berselang lama. Karena sekarang pandangannya kembali Rafka arahkan ke layar persegi panjang lebar di hadapannya. Sedang Argantara cuma mengangguk paham dari jawaban yang Rafka berikan padanya.

“Jadinya pake kamera gue 'kan?” tanyanya kemudian.

“Yoi Ga,” Suara si Putra Adilansah tersebut.

“Terus apalagi yang mau dibahas ini?”

“Keknya si, ga ada. Ye gak Raf? Udah semua kan yak?” tanya Surya pada laki-laki di sebelah kiri dari temannya itu.

“Iya,” jelas Rafka. “Cuma nanti kayaknya gue juga bawa kamera buat jaga-jaga.“— “Udah, itu aja. Kalo kalian mau pulang sekarang, pulang aja.” ujarnya. Karena ia tahu jam dinding di sana akan menunjukkan pukul sebelas malam. Dan hari juga semakin larut.

“Lo..., gak pulang?” Arga bertanya karena sepertinya laki-laki yang ada di hadapannya ini belum terlihat akan membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja.

“Bentar lagi, nunggu minuman gue habis.”

Lalu Argantara lirik ke arah cangkir kopi di depan itu. Isinya tidak banyak yang tersisa. “Tinggal dikit doang 'kan, yaudah bareng aja kita bertiga pulangnya.” Surya juga menyetujui yang Arga katakan dengan sebuh anggukan.

Tak berapa lama kemudian, tiga orang itu keluar dari tempat makan tersebut dan menuju ke arah kendaraannya masing-masing. Rafka yang pertama pergi meninggalkan area parkiran, disusul Arga dan Surya yang ada di belakang mobil putih milik si lelaki yang paling kecil di antara ketiganya.

Saat sampai di persimpangan jalan ke arah Jakarta bagian selatan, Surya lalu pamit pada Arga di sampingnya lewat satu suara klakson yang Putra Adilansah itu bunyikan. Tujuannya tak bukan adalah karena berlainan jalan dengan dua temannya yang lain itu. Arga lalu mengangguk paham di balik helm hitam yang membingkai kepalanya.

Kini dia sendirian. Namun, tidak benar-benar sendirian sebenarnya. Masih ada satu lagi laki-laki lain yang ada dalam mobil di depannya.

Arga bukanlah seseorang yang tahan berlama-lama di jalan raya. Dia bisa saja mendahului mobil Rafka kalaupun mau. Tapi entah kenapa, dia justru betah berlama-lama menunggu di belakang mobil itu tanpa sekalipun ada keinginan mempercepat laju motornya.

Argantara, menikmatinya. Ia menikmati bagaimana suasana langit malam yang ada dalam bingkai pandangnya makin cantik dengan gugusan rasi bintang yang tersebar rata di atas sana. Ia menikmati hembusan sang bayu yang menyapa indra perabanya. Ia menikmati berkendara dengan santai di belakang mobil Rafka. Argantara menikmati semuanya.

Dan perihal tersebut, Rafka mengetahuinya. Ketika niat hati yang ingin menghidupkan pemutar musik untuk menghilangkan sedikit sepi di dalam mobilnya, ia tanpa sengaja melirik kaca mobil bagian depan yang terpasang di atasnya. Putra Argantara itu masih di sana, di belakang winter. Mengikutinya bahkan sampai dirinya akan tiba di kawasan apartemennya, barulah laki-laki tersebut sudah tidak tertangkap lagi ada dalam pandangannya.