Piano and Memories
Jika ditanya Arga gugup atau tidak maka jawabannya, iya. Arga sangat gugup sekarang, dia akan ditonton oleh puluhan orang.
Permainan piano nya akan didengarkan oleh semuanya, membayangkannya saja Arga sudah gugup setengah mati.
Dia terus merapalkan do'a dalam hati semoga ia tidak tiba-tiba tremor atau gangguan yang lainnya. Semoga penampilan kali ini akan sempurna.
Rafka berjalan menemui Arga, ingin melihat apakah pemuda itu baik-baik saja atau tidak. “Arga kamu gugup gak?” Rafka bertanya, jawaban yang ia terima adalah sebuah anggukan dan kedua tangannya yang menggenggam. Rafka terkekeh dan menggapai kedua tangan Arga.
“Gapapa, semuanya bakal berjalan sempurna. Ada aku yang bakal selalu ada disisi kamu”
“Rafka gugup banget, aku mau nangis aja”
“Hahaha masa gitu aja nangis sih” Rafka melepaskan tangannya dan memeluk tubuh pemuda Argantara, ia rapalkan kata-kata penenang agar Arga jauh lebih tenang.
“Everything will be ok, kamu hebat Arga. Pasti kali ini jauh lebih hebat”
Bak mantra, kata-kata Rafka mampu membuat Arga menjadi lebih tenang.
“Makasih Rafka sekarang aku jauh lebih baik”
“Nah gitu dong” ketika keduanya tengah berbagi kehangatan dalam sebuah pelukan, sebuah suara memasuki pendengaran mereka. “Sorry ganggu waktu kalian berdua tapi bentar lagi kita tampil” ucap Harsa.
Keduanya melepaskan pelukan dan tersenyum. Arga kini tidak perlu memusingkan penampilannya akan buruk atau tidak, karena menurut Rafka permainan pianonya luar biasa. Semua tidak perlu dipusingkan.
“Aku kesana ya Raf”
“Semangat, Natraaa”
Di panggung ini Arga bisa melihat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.
Gugup? Jelas.
Kakinya tidak henti-hentinya bergetar. Arga bukanlah orang yang terbiasa tampil di atas panggung.
Ia bisa memainkan piano juga karena kakaknya mengajarkannya dulu. Semua yang berkaitan dengan piano selalu mengingatkannya pada saudara kandungnya itu.
“Halo guys jadi kita mau nampilin sebuah lagu nih, judulnya cintakan membawamu. Pada gak sabar ya?” suara Harsa dengan menggunakan mic terdengar sangat keras.
Semua orang menjawab iya dengan lantang. Harsa menoleh ke arah belakang, menatap Arga dan seolah mengkode bahwa ia siap.
Arga memulai dengan sebuah tuts yang ia tekan dan menjadi sebuah instrumen musik, tangannya piawai memainkan piano.
Semua orang menatapnya takjub, Harsa memulai lagunya.
“Tiba saat mengerti Jerit suara hati Letih meski mencoba Melabuhkan Rasa yang ada”
Lagu ini menyimpan memori banyak untuk Arga.
Januar
nama itu merasuki memorinya.
Bagaimana kenangannya dulu bersama kakaknya, memainkan piano sembari menyanyi lagu tersebut.
Seluruh perasaannya ia tumpahkan pada permainan pianonya.
“Mohon tinggal sejenak Lupakanlah waktu Temani air mataku Teteskan lara Merajut asa, menjalin mimpi Endapkan sepi-sepi”
Andai kakaknya itu tidak pergi, andai ia bisa berkumpul bersama dengannya lagi, andai kakaknya tau bahwa ia masih merindukan dirinya, andai kejadian dulu tidak pernah ada, semuanya hanya ada kata 'andai' dan perasaan Arga semakin gusar.
Perpaduan permainan piano Arga dan suara lembut Harsa membuat orang takjub, begitupula dengan Rafka.
Matanya tak henti-hentinya menatap Arga, Rafka tau semuanya pasti bakal berjalan sempurna karena dia adalah Argantara.
“Cinta 'kan membawamu Kembali di sini Menuai rindu, membasuh perih Bawa serta dirimu Dirimu yang dulu Mencintaiku apa adanya”
Air matanya memaksa untuk keluar, tapi Arga sebisa mungkin menahannya untuk tidak menangis di atas stage.
Pikirannya penuh akan kakaknya, lagu ini terlalu menyakitinya. Semuanya menyakitkan.
Piano dan kenangan indah bersama kakaknya menyakitkan namun perasaan rindu menyelundup begitu mudah. Arga tidak kuat menahannya.
“Saat dusta mengalir Jujurkanlah hati Genangkan batin jiwamu Genangkan cinta” Seperti dulu, saat bersama Tak ada keraguan”
Liriknya begitu menusuk dalam hati. Ia tertampar akan lirik yang Harsa nyanyikan. Benar, Arga hanya membohongi sendiri.
Arga berbohong jika ia tidak merindukan kakaknya untuk berkumpul bersama lagi. Bisakah seperti dulu lagi? Bundanya yang tak ragu kepada kakak, begitupula dengan ayahnya.
“Cinta 'kan membawamu Kembali di sini Menuai rindu, membasuh perih Bawa serta dirimu Dirimu yang dulu Mencintaiku apa adanya”
“Cinta 'kan membawamu Kembali di sini Menuai rindu, membasuh perih”
Suara Harsa berhenti bersamaan dengan piano Arga yang berhenti bermain. Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan.
Harsa tersenyum tapi semua orang merasa heran karena Arga yang tiba-tiba turun dari stage dan berlari.
Rafka yang melihat Arga turun dari panggung ikut berlari menyusul lelaki itu. S
emua orang menatap heran padanya, Harsa yang sedang berada di atas panggung segera meminta maaf untuk kekacauan kecil yang temannya perbuat.
Rafka sampai di backstage, ia bisa melihat punggung Arga dan suara tangisnya yang terdengar jelas.
Rafka bawa langkahnya mendekat pada Arga dan membawa tubuh itu pada sebuah pelukan.
Tangisan Arga semakin kencang, ia langsung memeluk Rafka erat-erat. Rafka menepuk-nepuk punggung lelaki itu supaya lebih tenang.
Bermenit-menit mereka dalam posisi itu dan suara tangisan Arga perlahan berhenti. Nafasnya masih sesenggukan, Arga masih memeluk erat Rafka. Kepalanya ia sandarkan pada leher Rafka.
“Arga you ok?”
“Kamu pelukannya hangat, sebentar lagi ya?”
“Okey”
Kepalanya dipenuhi banyak pikiran.
Rafka bertanya-tanya mengapa Arga bisa jadi seperti ini, apa lagu tadi mengingatkannya pada seseorang? Lantas dia siapa? Masa lalu Arga?
Arga mengangkat kepalanya dan mengusap air mata yang mengalir pada pipinya.
Berusaha untuk tersenyum agar terlihat baik-baik saja didepan Rafka walau nyatanya ia memang tidak baik-baik saja. “Arga kamu beneran gapapa?” lelaki itu mengangguk.
“Aku gapapa”
“Beneran?”
“Iya Rafka”
“Jangan bohong deh”
“Iya iya”
“Mau minum kopi nggak? Biar perasaan kamu makin tenang”
“Boleh”
Rafka sebenarnya masih curiga kepada Arga, siapa yang membuat lelaki itu menangis seperti ini karena sebuah lagu.
Apa seseorang itu mantan Arga?
“Feel better?” tanya Rafka.
Keduanya tengah duduk di Starbucks dan meminum kopi masing-masing. “Iya” Arga menyeruput kembali kopinya yang masih panas.
Pasti Rafka begitu banyak pertanyaan yang ia ingin tanyakan pada dirinya.
Arga..
hanya tidak siap untuk menceritakannya. Dia bukannya tidak mau untuk menutupi tapi ia hanya tidak siap jika Rafka tahu.
“Aku jelek banget ya?” pertanyaan tiba-tiba dari Arga membuat Rafka melotot tajam.
Dia rasanya ingin menonjok sekali saja pemuda itu, jelek katanya?
Rafka akan membalikkan tubuh mereka jika ada seseorang yang berkata seperti itu. “Siapa yang bilang?”
“Aku, muka aku sekarang jelek ya?”
“Iya jelek banget, Arga paling jelek sedunia”
“Tuhkan..”
“Kenapa sih? Kamu tadi kenapa nangis?”
“Tadi kan aku bilang aku gugup pengen nangis”
“Kamu nangisnya beda”
“Masa?”
Rafka menatap Arga dengan tatapan interogasi. Arga kembali menyeruput kopinya, tatapan Rafka ia hindari.
Rafka mengehela nafas, jika Arga tidak mau cerita kepadanya setidaknya beritahu ia siapa orang yang membuat Arga begini. “Kamu gak bisa cerita ke aku?”
“Cerita apa?”
“Kamu yang tiba-tiba nangis”
“Aku gapapa Rafka”
Jawaban Arga belum membuatnya puas. Ia masih curiga pada lelaki itu.
Rafka sebenarnya benci ketika kepalanya harus dipaksa untuk berpikir.
Tapi sikap Arga yang sekarang mau tak mau pikirannya harus bekerja keras untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
Yang membuat Arga seperti ini bukan mantannya kan? Bukan dari bagian kisah percintaan Arga di masa lalu kan? Ia benar menjadi nomor satu untuk Arga kan?
'Tolong biarin itu semua cuma menjadi asumsi gue aja, gue masih pengen berjuang buat kita, Ga'