Rafka dan Sebuah Keluh Kesah
cw // harsh word
Pagi yang cukup cerah kala kelopak mata sang pemuda baru saja terbuka. Rafka mematikan alarm pada jam analog di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia menguap sebentar lalu beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi. Setelah membersihkan wajahnya, Rafka kemudian berjalan keluar kamar dan menghampiri area dapur untuk memulai sarapan paginya.
Pemuda dalam setelan baju tidur itu mengingat sesuatu ketika sedang menyantap roti selainya. “Oh iya...” monolognya. Dalam kepala yang bersurai merah muda itu sudah berkelebatan tentang rencana yang sudah disiapkannya kemarin malam. Rencana tentang membuat kue untuk sang Putra Argantara yang tepat hari ini bertambah usia satu tahun lebih tua. Yang artinya mereka sekarang berada pada angka yang sama, dua puluh satu tahun.
Dengan cepat dihabiskannya sarapan pagi itu, lantas sisa piringnya ia taruh di wastafel. Rafka lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil sebuah cardigan beserta ponsel dan dompet miliknya. Ia lantas berjalan ke arah lift yang kini menuntunnya turun.
Setelah sampai pada lantai paling bawah, pemuda itu berjalan keluar kawasan apartemen dan mencari sebuah pengendara sesuai dengan apa yang ditampilkan sebuah informasi pada layar ponselnya. Karena tempat yang akan ditujunya berjarak dekat, Rafka memutuskan memesan ojek online saja kali ini. Selain itu, sebenarnya pemuda berperawakan kecil itu juga sedang malas mengeluarkan mobilnya di pagi hari seperti sekarang.
“Mas Rafka ya?” Tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di hadapannya.
“Iya pak.” Jawab Rafka.
Pria itu lalu menyerahkan helm yang diletakkan di depannya pada Rafka. “Ini mas helmnya.”
Rafka menerima helm tersebut lantas segera duduk pada bagian jok belakang motor.
“Sesuai aplikasi ya mas?”
“Iya pak.”
Setelah melewati kurang lebih tiga menit perjalanan, akhirnya motor matic itu kini sudah berhenti di depan suatu tempat yang menjadi tujuan. Sebuah swalayan yang jaraknya tak jauh dari apartemen tempat tinggalnya.
Rafka turun dari motor berwarna dominasi hitam dan merah itu lalu mengembalikan helmnya pada sang pengendara. “Pakai ovo ya pak!?”
Setelah pria itu mengiyakan ucapannya, Rafka mulai berjalan memasuki gedung swalayan itu dan mencari bahan-bahan apa saja yang dibutuhkannya untuk membuat kue.
Arga menyukai kopi. Dia ingat ketika lelaki yang berada pada satu kelas fotografi yang sama dengannya itu kerap kali membawa satu kotak maupun satu kaleng kopi instan dingin di tangannya.
Karena itu, Rafka jadi mendapat sebuah ide untuk membuat kue tiramisu untuk Arga saat ini. Setelah selesai dengan semua yang dibutuhkan, ia lalu membayarnya ke kasir.
Dua kantong plastik berukuran besar sudah diangkatnya pada masing-masing telapak tangan. Plat nomor dari driver tadi sudah diingatnya, sehingga pemuda itu hanya tinggal menunggu saja sekarang.
Tak lama kemudian, seorang pengendara ojek online tiba di dekatnya lantas kendaraan beroda dua tersebut mengantarnya kembali ke area apartemennya.
Pintu depannya sudah dibuka. Rafka lalu masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya dengan sedikit susah payah. Tungkainya lalu dia arahkan langsung menuju dapur untuk meletakkan barang belanjaannya dan menyusunnya rapi di atas meja pantry. Tak lupa ia juga mengeluarkan semua peralatan untuk membuat kue satu persatu.
Jemarinya kini mulai lincah bermain di atas layar ponselnya, mencari sebuah resep untuk membantunya membuat kue tersebut.
Setelah membaca singkat tulisan yang tertera di sana, Rafka kemudian meletakkan ponselnya menyandar pada apapun yang bisa menyangga benda elektronik itu agar tetap berdiri dan menampilkan layar tersebut menghadap ke arahnya.
“Wish me luck!” semangatnya lebih kepada diri sendiri. Rafka lalu bergerak mengambil sebuah apron dan dipasangkan pada badannya. Pemuda itu lantas mengikuti satu persatu langkah-langkah yang sudah tertulis.
Pertama yang dilakukannya adalah menyiapkan empat butir telur, lalu dipecahkannya telur tersebut pada sebuah wadah yang sudah dia siapkan bersama mixer duduk miliknya. Sembari menunggu telur itu mengembang setelah ia menyalakan tombol on pada mixernya, Rafka lalu menyiapkan mentega dengan takaran sesuai seperti yang terlihat di layar ponselnya. Ia lantas meletakkan mangkuk stainless itu pada microwave agar menteganya menjadi cair.
Masuk ke bagian selanjutnya, Rafka menambahkan sedikit demi sedikit tepung instan untuk membuat kue berperisa vanilla itu ke dalam adonan telur yang kini sudah mengembang. Setelah selesai, langkah terakhir yaitu menuang mentega cair ke dalam adonan kue.
“Loh loh loh, kok cair banget jadinya?” Panik Rafka ketika melihat adonan dalam wadah itu yang terlihat sedikit encer setelah dia menuangkan semua bahan mentega cair tadi. “Eh? Gimana ini?” Tangan kanannya sudah bergerak menggaruk bagian rambutnya. Pemuda itu terserang perasaan bingung akibatnya.
Akhirnya Rafka memilih mematikan mixernya terlebih dulu. Sekali lagi ia pastikan sudah mengikuti langkah-langkah yang tertulis di dalam resep tersebut. Saat mencocokkan takaran tepungnya, ternyata yang tercetak dalam kemasan instan yang dia pakai tadi dan yang tertulis dalam layar ponselnya berbeda. “Yah pantes... gue cuma pake setengahnya...”
Pemuda itu berdecak ketika menyadari perihal tersebut. “Aduh gimana ini woy? Gue harus apa?”
Namun semakin banyak tanya yang dilontarkannya pada udara itu nyatanya tidak akan ada seorang pun yang membalasnya. Rafka sendirian di dalam apartemen tersebut kalau dia lupa.
“Apa gue buang aja? Tapi sayang ih,”
“Bisa gak sih ini diundo aja? Arght...”
Saat sedang gelisah memikirkan nasib adonan ini kedepannya, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala dia. “Kalo ditambahin tepung bisa padet lagi gak sih?” Rafka berpikir keras memecahkan teori dugaannya. “Gue punya terigu kayaknya, dimana ya...?”
Dicarinya tepung dalam kemasan plastik berwarna biru yang diingatnya tersebut. Setelah menggeledah beberapa cabinet di atasnya, akhirnya Rafka temukan di lemari penyimpanan paling pojok di sana. “Yah sisa dikit...”
“Gapapa lah,”
Rafka kemudian kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda sesaat lalu. Sampai ketika dia baru saja menuang adonan kue tadi ke dalam loyang yang sebelumnya sudah dialasi kertas roti, Rafka lalu masukkan loyang tersebut ke dalam oven dan menunggunya sampai matang.
“Pliss jadi...”
Pemuda bersurai merah muda itu menunggu beberapa menit sambil merapal sebuah harapan. Namun kegiatannya harus terinterupsi oleh notifikasi getar yang berasal dari ponselnya. Rafka meraih benda di atas meja pantry itu lantas membuka layarnya yang terkunci.
“Hah?!” Teriaknya lantaran usai membaca isi pesan yang tertulis di sana.
Ara Wakil Sekre CWAD | Raf, nanti jam 4 ada kumpul panitia inti kata bang Arsen
Rafka | yang bener ra? | dadakan bgt kayak tahu bulat
Ara Wakil Sekre CWAD | Iya gue juga baru dikabarin tadi pagi
Rafka | ANJIR | KOK GITU SIH
Ara Wakil Sekre CWAD | Gue juga gatau Raf
Rafka menggerutu sepanjang membalas pesan itu. Ia berdecak beberapa kali menyuarakan protesnya, dan menghela nafas berat di akhir percakapan keduanya.
Rafka | yaudah makasih ra.
'Anjg apa-apan?!', batin Rafka yang sesungguhnya.
Bisa-bisanya ingin mengadakan pertemuan tetapi diberitahu secara mendadak seperti sekarang? Kalau memang sebelumnya berniat mengadakan rapat, harusnya direncanakan jauh-jauh hari saja! Benar-benar menyusahkan!
'ASDFGHJKL'
“ARGHT!” keluhnya pada udara hampa di sekitar dia. Rafka benar-benar dibuat kesal saja karenanya.
Lalu, bagaimana dengan ajakan Arga semalam? Bagaimana dengan rencana yang dia punya? Dan juga, bagaimana dengan kue kejutan yang sudah dia siapkan untuk lelaki bersurai biru itu?
Makin lama Rafka memikirkan semuanya, makin banyak juga umpatan-umpatan yang keluar dari bibir tipis itu. Moodnya dihancurkan begitu saja lewat kalimat sederhana sesaat lalu. Dia beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air minum di dalam kulkas, tenggorokannya kering dan butuh diredakan segera.
Saat kembali ke tempatnya semula, Rafka melebarkan diameter netranya saat melihat oven di sana. Kepalanya dengan cepat menoleh ke arah jam dinding yang ada di dapur, lantas kembali mengumpat setelah melihat jarum panjang yang kini sudah berada di angka dua. 'Kelewatan sepuluh menit!'
Rafka dengan cepat mematikan benda tersebut lalu mengeluarkan isi di dalamnya. Terlihat sedikit kecokelatan terutama bagian pinggirnya yang berwarna sedikit gelap. Apa itu artinya kalau kuenya sedikit gosong?
'Fakk... Kacau, kacau...' 'Hhhh... Makasih, mood gue makin hancur sekarang,”
Meski begitu, bagaimanapun juga, dia masih punya tanggung jawab atas kegiatan yang sudah dimulainya sejak pagi tadi, bukan? Otaknya mencari ide bagaimana menyelamatkan nasib kue yang lupa dia keluarkan tepat waktu karena masih asik mengumpat soal rapat dadakan yang akan dilaksanakan sore nanti.
Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama untuknya menghias kue tadi, akhirnya selesai juga Putra Malverino itu menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas.
Rafka tidak berharap banyak, tapi semoga saja Arga menyukai kue buatannya sendiri yang sudah ia buat susah payah itu.