Serangan Panik


cw // smoking cw // harsh word


Senin pagi memang seringkali jadi ajang kebencian bagi kebanyakan pelajar di luar sana. Tak terkecuali Argantara.

Sebenarnya lelaki bersurai hitam tersebut juga masih setia bergelung di atas kasurnya yang nyaman. Hanya saja, tirai jendela kamarnya yang sudah terbuka itu sedari tadi menghantarkan sinar sang surya menembus melalui kaca jendelanya, menyapa indra penglihatannya yang belum jua kunjung terbuka.

Tapi jam kecil di atas nakasnya itu kemudian berbunyi. Arga sedikit terusik.

Akhirnya diraihnya benda tersebut. Tangannya bergerak mematikan suara alarm yang terdengar nyaring di telinganya. Kelopak matanya mulai sedikit terbuka mengamati jam analog dalam genggamannya. “Udah jam sembilan aja.” Monolog Argantara di pagi senin itu. Kemudian diletakkan kembali jam tersebut ke tempat semula.

Arga lalu beranjak dari zona ternyaman pada kamarnya itu lantas bergegas menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. Ia mau siap-siap dulu.


Sweater coklat dan celana jeans sudah terbalut rapi pada raga tegap milik Putra Argantara. Kini tungkainya ia langkahkan kembali ke arah dapur untuk memulai sarapan paginya.

Usai perutnya terisi oleh berbagai macam nutrisi, Arga lalu sempatkan diri mengunjungi akun sosial medianya sebentar. Lalu beranjak mengambil tas hitam dan kunci motor yang ada di dalam kamar. Arga tidak lupa berpamitan dulu pada keluarganya sebelum motor sportnya itu mulai melaju meninggalkan halaman depan rumahnya.

Jalan raya menuju kampus pagi ini tidak padat, jadi dia bisa sedikit lebih santai membawa Miko menyusuri sepanjang jalanan ibukota bagian pusat.

Ketika motornya sudah terparkir di area parkiran gedung fakultasnya, Arga copot helm itu lalu dititipkannya ke pos satpam di depan sana. Jam tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit, tapi rasanya ia tidak akan telat kalau masih jam segini. Jadilah Putra Argantara itu berjalan santai saat dalam perjalanan menuju kelasnya.

Menit terus berjalan menunjukkan perubahan angkanya tanpa henti. Sudah lewat menit yang ke sepuluh, tapi sang dosen tak juga kunjung menampakkan kehadiran di kelas mata kuliah pencitraan digital tersebut.

Akhirnya karena bosan, Arga buka aplikasi twitternya dan mengirim satu cuitan. Senang juga sih sebenarnya cowok penyuka kopi itu. Dan seperti biasa juga, kalau dia memilih tempat duduk paling belakang bersama Surya dan teman-teman barunya yang lain.

“Merek rokok lo apa?”

“Anj– kaga ngerokok gue.” sangkal Surya. Biasalah, pembahasan seputar anak laki-laki. Mereka cuma mau mengakrabkan diri buat kedepannya, tapi lihatlah topik bahasannya yang sudah sejauh ini.

“Elo Ar, merek rokoknya apaan?”

Arga yang mendapat pertanyaan semacam itu langsung saja mengalihkan pandangan dari layar ponsel di genggamannya, “Daripada ngerokok, mending duitnya gue buat ngerawat Amora.” Jawabnya.

“Wiihh, siapa tuh? Pacar lo?!”

“Pacar katanya,” Surya mendengus mendengarnya, padahal Argantara saja tidak pernah terlihat pernah membahas perihal orang lain selama mereka berteman. Mau dapat pacar darimana coba? “Arga mah jomblonya kebangetan.”

“Lah terus siapa dah itu mora mora?”

“Pacar bohongan, alias, slrnya hahaha,”

Arga tatap sengit Adilansah itu. Tidak berkaca pada cermin atau bagaimana kah? Bukan, bukan pada apa yang diucapkannya baru saja. Hanya saja terkadang Surya itu tidak sadar diri kalau dia dan Argantara itu sebenarnya serupa sebelas dua belas perihal status asmaranya. “Gak ngaca banget lo, nyet. Lo juga jomblo sakinnah mawaddah warohmah ye!”

Jadilah ada peraduan antara suara satu sama lain dari dua karib itu. Arga tak sadar kalau salah satu ibu jarinya yang ada di atas layar ponsel itu bergerak menekan permukaannya.

Lalu perhatiannya teralihkan ketika ada notifikasi getar dari ponsel dalam genggamannya. Terlihat dari layar terkunci itu yang menunjukkan notifikasi tadi berasal dari twitter. Sebuah tulisan di layar yang terpampang adalah akun milik Rafka yang membalas salah satu cuitannya.

Dia buka aplikasi burung biru itu, dan menemukan kalau Rafka membalas satu postingan terbarunya. “HAHH??!!”

Argantara panik luar biasa. Perasaannya tadi ia ketik postingan itu hanya sampai di titik rasa ragu pada hati yang berkata harukah dikirim atau tidak. Akhirnya ia biarkan saja keraguan itu tertahan di sana. Tapi memang sial sekali jemari tangannya yang bergerak kesana kemari dan membuat draf tweetan tersebut jadi terkirim pada akunnya.

ANJIR GIMANA INI?! Jeritnya tertahan pada sanubari. Argantara harus apa?

Tidak ada yang dapat dipikirkannya saat itu juga, selain harus menghapus postingan tadi.

“Gara-gara lo Sur!”

“Lah kan bener apa kata gue, lo jomblonya kebangetan kan?”

“Gak bukan itu! Yang lain! Ini gara-gara lo pokoknya!”

Surya yang dituduh seperti itu tentu saja bingung, terus kalau bukan menyangkut yang baru saja mereka sampai adu suara itu lantas apa? “Apasih? Lo kenapa sih sebenernya?”

“Pokoknya gara-gara lo! Ini semua gara-gara lo! Lo biangnya!”

“Lah? Aneh lo.”