Seringkas Temu
Langkah kakinya lebar-lebar menuju kelas semula; kelas untuk kuliah materi fotografi yang baru saja usai tatap muka.
Argantara pergi sendirian, karena Surya pun ketika diajaknya menemui seseorang bernama Rafka itu dijawabnya dengan sebuah gelengan. Katanya masih mau mengumpulkan nyawanya jadi satu. Ada ada saja memang alasan Putra Adilansah itu.
Dilihatnya jam tangan yang jarum pendeknya mulai bergerak di antara angka tiga dan empat. Arga lajukan tungkainya sedikit lebih cepat.
Tak lama, tujuannya sudah ada di depan mata. Pintu coklat yang sedikit terbuka itu diraihnya, lantas segera masuk untuk menemui seseorang yang sudah menunggunya di dalam sana.
Tak perlu mengedarkan pandangan, ternyata laki-laki yang dicarinya itu duduk dengan tenang pada barisan kursi terdepan. Bahkan kini terlihat mulai berdiri dan berjalan menghampiri tempatnya.
“Ini kunci motor lo,” ujar Rafka pada seseorang di depannya. Tangannya tak lupa bergerak menyerahkan kunci itu ke arah pemuda di hadapan dia. “Lain kali hati-hati, untung aja gue tadi gak sengaja lihat ke bawah, eh, nemuin kunci motor orang.”
Arga tersenyum kecil. Telapak kanannya meraih kunci dengan gantungan perak tersebut. “Thanks ya... Raf,”
Rafka membalasnya dengan sebuah senyuman. “Sama-sama,”
“Lo anak DKV kan? Rafka Ravian?” tanya Arga.
“Iya, tapi kebalik sih, yang bener Ravian Rafka...” koreksinya pada sebutan nama yang baru saja disuarakan laki-laki berhoodie hijau muda di depannya.
“Oh, maaf...”
“Santai aja,” “Lo kenal sama gue sebelumnya?”
“Eh, enggak juga... tapi tau... gue cuma denger dari cerita temen sih,” jelasnya disertai sedikit tawa. Argantara menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal itu sebenarnya hanya sebagai bentuk basa-basi saja.
“Oh, gitu...” Rafka menganggukkan kepalanya mengerti, “Btw, gue panggil siapa nih?”
“Panggil aja Arga,”
“—ganteng,...?”
“Hah?”
Argantara terkejut. Disebut ganteng oleh orang lain? Telinganya tidak salah dengar, kan?
Namun setelahnya, pemuda Natrasani itu hanya tersenyum kikuk menanggapi, “Eh... i-iya, makasih.”
Rafka menaikkan kedua alis, sedikit bingung kenapa laki-laki di depan dia ini mengucap kata terima kasih. Tapi tak berlangsung lama karena ia mulai paham akan keadaan. “Maksudnya tulisan di gantungan kunci lo,“— “Kirain Arganteng itu nama panjang, ternyata bukan, ya?”
Oh, sial, batinnya menjerit malu. Percaya diri sekali Argantara ini. Dia kira seucap kata yang tadi keluar dari bibir laki-laki di depannya menyuarakan suatu bentuk ungkapan pujian. Tapi nyatanya yang didapat hanyalah kesalahpahaman.
“Oh... Bukan... Hahaha,”
Sebisa mungkin dia berusaha agar terlihat biasa saja, meski kalau boleh jujur rasa malu itu masihlah belum mereda. “Nama panjangnya Argantara... bukan Arganteng,”
Arga lalu menggoyangkan gantungan kunci itu sekilas di depan yang bersurai cokelat keemasan, “Ini cuma tulisan iseng-iseng aja, Hahaha...”
Rafka menanggapi dengan senyum ringan, “Oohh...,” lalu dia kaitkan telunjuk dengan ibu jari membentuk tanda O.K. melalui tangan. “Tetep ganteng kok btw,... namanya.”
Mendengar itu, Arga harus bersikap yang bagaimana juga sebenarnya dia tidak tahu. Namun kunci di tangannya justru sudah jadi sasarannya dalam melampiaskan perihal segala bentuk perpaduan rasa yang tengah melanda dirinya.
Argantara sedikit banyaknya jelas salah tingkah, tapi ia berusaha tutupi gugup itu dengan senyumnya yang kian merekah. “Thanks,”
“Kalau gitu gue duluan ya, mau pulang nanti keburu jalanan macet.” Akhirnya Rafka putuskan untuk pamit duluan pada pemuda di depannya.
“Iya, duluan aja... Makasih udah nemuin kunci motor gue.”
“No prob.”