Sesuatu yang Membuat Nyaman
Arga memasuki apartemen Rafka setelah membeli obat penurun panas dan Bye Bye Fever untuk lelaki yang tengah dirundung sakit demam itu. Memikirkan Rafka yang kesal karena dipanggil Bayi saja membuat Arga merasa akan sangat menyenangkan menjahilinya dengan panggilan yang tiba-tiba melintas dalam isi kepalanya sesaat lalu.
Tungkainya dia bawa menuju ke arah dapur untuk mengambil air dan langsung membawanya masuk ke dalam kamar sang pemilik rumah.
Tapi tidak disangka, pemandangan yang menyambutnya adalah Rafka yang sedang tertidur dengan setengah tubuh yang tertutupi selimut. Benar-benar seperti bayi.
Arga menaruh gelas berisi air dan kantong yang berisi obat itu di nakas sebelah ranjang pemuda bersurai merah muda tersebut. Raganya perlahan dia buat semakin merendah untuk menyesuaikan posisinya dengan ukuran ranjang milik Rafka. Tangannya lantas bergerak memperbaiki posisi selimut yang terlihat acak itu untuk menutupi tubuh Rafka sampai sebatas leher yang lebih tua.
Diperhatikannya wajah pemuda yang sedang tertidur itu dengan seksama selama beberapa menit. Rafka begitu menggemaskan saat ini. Arga tidak mengerti, kenapa lelaki yang sedang tertidur lelap itu kesal jika dipanggil dengan sebutan bayi disaat dia memang benar-benar mirip dengan sebutan yang dia sematkan untuk pemuda itu?
Wajah di hadapannya itu terlihat damai dengan nafas teraturnya, pipi yang pernah tidak sengaja dia sentuh yang terlihat sedikit membulat, mata tertutup yang membuat bulu matanya terlihat jelas, hidung mancung, dan juga bibir yang sedikit beri—
“Eungh~” lenguhan dari Rafka membuat Arga tersadar akan apa yang sudah dia pikirkan.
'Kenapa juga gue jadi analisis mukanya Rafka?!' keluh sang Argantara dalam hati lalu tanpa sengaja matanya menangkap kening Rafka yang mengkerut dalam tidurnya.
'Dia gak nyaman? Atau mimpi? Apa perlu di puk-puk beneran?' Refleks Arga langsung membawa tangannya untuk menepuk-nepuk pelan bahu Rafka untuk menenangkan pemuda itu. Dapat Arga lihat, perlahan kerutan itu menghilang.
Arga tersenyum kecil. Dia merasa seperti sedang merawat bayi yang sedang sakit. Suasana seperti ini harus diabadikan dalam sebuah momen yang nantinya dapat dia kenang.
Dengan cepat tangannya mengambil ponsel di dalam saku lantas memotret beberapa gambar Rafka yang sedang tertidur.
'Gemes banget, pengen gue cubit tapi lagi tidur.'
Saat melihat-lihat hasil jepretannya, tiba-tiba notifikasi dari sang Bunda muncul dan menanyakan kenapa dirinya belum pulang? Dilihatnya jam yang terpampang pada layar ponsel genggam itu, Arga lalu menyadari kalau ternyata memang sudah sangat malam.
Dia lantas berdiri setelah memastikan bahwa Rafka benar-benar sudah nyaman di dalam selimut yang dia buat senyaman mungkin melingkupi tubuh yang lebih kecil dari miliknya itu. Kemudian mengeluarkan obat yang sudah dibelinya tadi, serta mengambil notes di meja belajar Rafka dan menuliskan beberapa kalimat di atasnya.
Setelah selesai dengan semua itu, Arga bersiap untuk pulang. “Raf, gue pulang, ya? Maaf gak bangunin lo ... Cepet sembuh bayi! Gue gak suka liat lo sakit gini...” ucap Arga lalu mengambil jaket yang berada di meja belajar Rafka dan keluar dari kamar pemuda tersebut.
Tepat setelah pintu kamar Rafka ditutup, sang pemilik kamar perlahan membuka matanya dengan pipi yang memerah malu.
“Anjir! Arga! Lo kalo mau ngebunuh gue tuh caranya gak gini anjir! Bisa-bisanya lo bikin gue deg-degan sampe rasanya mau meledak?!” lirih Rafka dan tak lama setelah itu menarik selimut untuk menutupi seluruh wajahnya yang kini sudah mengeluarkan berbagai macam ekspresi akibat salah tingkah karena seorang pemuda bernama Argantara.