Sweeter Than Ice Cream


Arga ikuti mobil putih di depannya sesuai kata Rafka tadi.

“Gue mau es krim yang di tempat biasa gue beli. Lo ngikut di belakang mobil gue aja nanti.”

Sesuai janjinya semalam yang bilang kalau dia akan membelikan laki-laki itu es krim sebagai imbalan karena mau dijadikan model fotonya hari ini. Rafka berkata kalau es krimnya harus ia sendiri yang memilih, Arga hanya perlu menurutinya saja. Baiklah, dia iyakan saja permintaan laki-laki tersebut.

Sepanjang jalanan Jakarta bagian pusat ke arah Jakarta bagian selatan petang ini terlihat sedikit padat. Tentu saja karena sebagian besar penghuninya melakukan aktivitas yang mengharuskan mereka melewati jalan raya itu. Para pelajar maupun seorang pekerja kantoran yang baru saja pulang dari tempatnya bertandang sebelumnya.

Ternyata setelah melalui hampir sekitar tiga puluh menit perjalanan, Arga ketahui kalau Rafka menuntunnya menuju salah satu Mall di daerah Kasablanka, Jakarta Selatan.

Mereka lalu berpisah ke arah tujuan yang berbeda. Arga membunyikan satu klakson ketika mendahului mobil Rafka dan menghilang di pintu masuk area parkir untuk kendaraan roda dua.

Saat Miko sudah ikut berjajar rapi seperti motor lain yang ada di sana, ponsel yang ada di saku jaket laki-laki itu bergetar. Arga ambil lalu buka layarnya yang terkunci. Sebuah pesan dari Rafka.

| nanti ketemuan didepan starbucks aja | tunggu disana

Arga mengangguk paham. Diketikkannya balasan singkat untuk Rafka, lantas ponsel itu disimpannya kembali ke dalam saku jaketnya. Argantara berjalan pelan menuju tempat yang sudah Rafka sebutkan tadi. Ternyata saat sudah sampai di depan sebuah kedai kopi, keduanya tiba hampir bersamaan. Mereka lantas berjalan berdampingan mengelilingi Mall tersebut.

Lalu untuk tujuan selanjutnya, dua lelaki berbeda tinggi badan itu menuju area foodcourt untuk menepati janji seorang Argantara pada Ravian Rafka Malverino.

“Di sana!” tunjuk Rafka pada sebuah kedai es krim yang biasa dibelinya saat dia dan Arga sudah sampai di lantai yang terdapat banyak penjual makanan. Beruntunglah tidak ada antrian sama sekali, jadi mereka langsung memilih rasa apa yang diinginkannya dengan melihat pada papan menu yang terpampang di sana. Pilihan Rafka jatuh pada rasa strawberry, sedangkan Arga belum terlihat sudah memutuskan mau memilih rasa apa. Dia masih berpikir di depan counter itu.

“Lama amat milih rasa doang!” tegur Rafka pada laki-laki di sampingnya.

“Ya sabar dong, bingung ini...”

“Ck, lama! Lo aja deh yang pesen, gue mau ke sana bentar.”

Setelahnya Rafka pergi ke arah tepian pembatas yang ada di dekatnya. Dia memutuskan memainkan ponselnya sambil bersandar pada salah satu pilar besar di belakangnya, mau senderan katanya. Lagipula yang akan membayar es krimnya kan si Putra Argantara. Ia hanya bagian makan saja. Hehehe.

Sekitar sepuluh menit kemudian, terlihat Arga yang berjalan menghampiri tempatnya saat ini. Di genggamannya ada satu buah cup es krim roll pesananannya tadi. Apa dia gak jadi pesen gara-gara bingung milih rasa?

Tunggu dulu. Kenapa warna es krimnya berubah jadi kuning? Bukannya kalau perisa strawberry artinya berwarna merah muda? Kok bisa?

“Nih!” Arga lalu menyerahkan es krim tersebut ke arah Rafka.

“Kok kuning? Kan gue tadi pesennya strawberry?! Harusnya merah muda dong!”

“Ganti warna kali.” jawab Arga sekenanya. Padahal yang sebenarnya terjadi, es krim di tangan kanan yang saat ini diarahkannya ke depan Rafka adalah milik dia. Sedangkan es krim pesanan lelaki bersurai coklat madu itu ada dalam genggaman tangan kiri yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.

“Nggak ah, lo bohong! Cepetan bagi punya gue!” desaknya. Jelas sekali kalau jawaban Argantara itu mengada-ngada.

“Cobain dikit dulu, entar gue kasih punya lo.”

“Rasa apa?”

“Coba tebak.”

“Pisang? Pisang kan kuning,” Rafka sedikit berpikir, matanya memicing ke arah laki-laki di depannya. Sedangkan Arga hanya diam saja tidak sedikitpun menanggapinya. “Gak ah, lo gak meyakinkan soalnya.”

“Mau es krim lo balik gak?”

“Mau...”

Setelahnya Rafka mengambil sendok pada es krim tersebut lantas diambilnya satu cakupan kecil. Tangannya lalu bergerak menyuapkan sendok itu pada mulutnya. Namun baru saja indra pengecapnya merasakan makanan tersebut barang di ujung lidah saja, Rafka tampak terlihat mengernyit. Rasanya aneh. Bukan seperti pisang.

Rafka cepat-cepat mengeluarkan tissue yang disimpannya di dalam tas. Dikeluarkannya es krim yang menurutnya memiliki rasa yang aneh itu pada selembar tissue di tangannya. Lalu ia berjalan ke arah tempat sampah terdekat untuk membuang tissue bekas itu. Rafka menyadari sesuatu.

“Lo bohong kan?! Bukan pisang, iya kan?” tanyanya setelah sampai di tempat sebelumnya. Dimana Argantara sudah terlihat sedikit tertawa kecil di hadapan dia.

“Emang yang bilang itu pisang siapa? Ini tuh durian.” jelasnya.

Rafka yang mendengar itu, diameter matanya tiba-tiba saja melebar setelahnya. “Tuhkan anjir! Pantesan aneh! Argantara! Lo mau gue dorong sekarang juga ke bawah?! Gue gak suka durian IH KESEL!!”

Arga lalu segera menyodorkan es krim yang dia sembunyikan di balik badannya ke arah Rafka. “Nih es krim lo! Jangan kesel gitu dong! Ntar cakepnya ilang...”

“Bodo.”

Argantara tidak tahu, kalau hal sederhana baru saja cukup mampu membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. Es krim di tangannya sudah berpindah tempat dengan cepat.

Rafka menyuapkan es krimnya dengan perasaan kesal yang masih ada. Arga... melihat sepasang pipi di depannya yang seperti penuh dan tampak membulat, tak bisa ia pungkiri kalau Rafka terlihat lucu saat itu juga.