The First Day of Competition


FYI: Porma (Pekan Olahraga Mahasiswa) yang diadakan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa itu sendiri, dalam rangka merayakan hari kemerdekaan. Lomba yang diikuti oleh setiap program studi yang nantinya akan bermain melawan program studi lain.


“Bund, Arga berangkat dulu, ya?” Arga mencium tangan Bundanya setelah berpamitan.

“Iya, hati-hati,” balas Bunda Sekar. Saat sepasang matanya melihat ke arah tangan kiri sang putra, wanita cantik itu lantas bertanya, “Kok bawa helm-nya Bunda? Kamu nggak pakai helm-mu sendiri?”

Arga mengalihkan pandangannya ke arah helm di tangannya. Helm cokelat yang biasa digunakan bundanya tiap kali bepergian ke luar rumah. Lalu digoyangkannya pelan benda tersebut di hadapan sang Bunda. “Buat Rafka ... Arga pinjam dulu bentar ya, Bund?” Putra Argantata itu meminta izin kepada bundanya terlebih dahulu sebelum helm tersebut nantinya dia pinjamkan kepada Rafka.

“Ooohhh, ya udah kalau gitu kamu hati-hati di jalan.” Peringat Bunda Sekar kepada anak laki-lakinya itu kemudian. Tak lupa senyuman kini sudah terbit pada parasnya yang masih tampak cantik di umur yang kesekian.

“Iya, Bund.”

Setelah berpamitan, Arga lalu beranjak dari ruang tamu menuju ke arah garasi rumahnya. Putra Argantara itu lalu mengeluarkan motor berwarna hitam tersebut sampai ke depan pagar rumahnya. Ditutupnya pintu pagar itu, lalu tak lama setelahnya Miko mulai berbaur pada jalanan yang terlihat sedikit ramai kala petang beranjak malam seperti sekarang.

Argantara menghentikan motornya tak jauh dari area pintu masuk ketika dia baru saja tiba di depan kawasan salah satu apartemen mewah bagian Jakarta Selatan. Setelahnya, pemuda itu ketikkan satu pesan untuk seseorang di seberang. Kini dia hanya perlu menunggu orang tersebut.

Selang beberapa menit kemudian, terlihat Rafka keluar melewati pembatas pintu masuk di depan sana dan berjalan ke arahnya. Lelaki dengan surai merah muda itu lalu berhenti tepat saat sampai di sebelahnya.

“Kok cuma pake denim? Kata lo takut masuk angin?” Tanya Arga ketika tertangkap dalam pandang, Rafka mengenakan luaran jaket denim berwarna navy yang dibiarkan terbuka begitu saja tanpa ada satupun kancing yang dikaitkan.

“Sweater gue udah tebel lagian ... Kalo pake jaket yang tebel juga entar malah gue yang kegerahan.” Ujarnya menjelaskan.

Arga membiarkannya saja lalu bergerak menyerahkan satu helm yang dibawanya pada tangki bensin itu ke hadapan Rafka.

“Lo tau cara pakainya, kan?” Arga bertanya saat Rafka baru saja menerima helm dari tangannya dan terlihat mulai memasangkan benda berbentuk bulat itu melingkupi kepalanya sendiri.

“Tau...”

Arga perhatikan gerakan si surai merah muda. Tangannya berulang kali berusaha mengaitkan tali pada bagian bawah helm agar melingkar melindungi kepalanya seutuhnya. Kekehan seorang Argantara terdengar lirih tak lama setelah itu. “Iya deh yang tau...” Sindirnya yang berhasil mengalihkan perhatian si kecil itu menatapnya.

“Susah tau ... gak keliatan talinya.” Ungkap Rafka.

“Deketan sini.” Pinta Arga dengan tangan kirinya dia lambaikan di depan Rafka. Meminta lelaki itu untuk lebih mendekat. Dengan telaten dirinya membantu Rafka memasang kaitan helm tersebut.

“Dah selesai.” Ucap Arga kemudian.

Rafka kembali pada kesadarannya semula yang sesaat lalu seperti direnggut oleh angin malam. Lekat kedua netra itu memandang paras yang tadinya hanya berjarak sekitar beberapa senti dari wajahnya yang kini terasa sedikit memanas. Rafka berdehem nyaris tak terdengar untuk menetralkan suasana kala itu.

“Naik gih!” Arga meminta Rafka untuk lekas menaiki jok bagian belakang yang terlihat sedikit menanjak dari jok bagian depan itu. Rafka hanya menanggapinya dengan gumaman singkat. Arga lalu menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat. “Lo bisa naiknya gak?” Tanyanya saat dilihat Rafka sudah tampak bersiap menaiki motornya.

“Bisa lah,”

“Nyampe gak?”

Rafka melipat kedua alisnya. Memandang Putra Argantara itu sedikit tidak terima. “Heh! Gue tinggi ya btw! Enak aja lo kalo ngomong!”

Arga terkekeh. “Tapi masih tinggian gue—aduh!” Si surai biru itu seketika mengaduh lantaran Rafka baru saja memukul punggungnya. Pukulannya lumayan kencang ngomong-ngomong. Masih dapat dirasakan oleh Putra Argantara itu di permukaan tubuh bagian belakang tersebut. “Kok gue dipukul?!”

“Lo ngeselin!” Protes Rafka. “Gue gak jadi aja deh ikut lo!” Ancam si surai merah muda itu kepada pemuda di hadapannya.

“Eh, jangan dong.” Arga sudah was-was kalau Rafka akan membatalkan ajakannya tiba-tiba. “Iya ya udah gue diem ... Tapi ini gue tanya serius, lo bisa gak naiknya?”

“Bisa! Lo balik badan sana!” Lalu tak lama setelah itu, Arga menuruti kemauan Rafka dan segera membalikkan badannya ke depan seperti semula. Rafka memegang kedua pundak yang berhoodie hitam, dia berpegangan dan bertumpu pada pundak kokoh itu untuk membantu mengangkat berat tubuhnya sendiri ketika sebelah kaki miliknya sudah berpijak pada footstep motor hitam tersebut.

Kini lelaki yang bersurai merah muda itu sudah duduk dengan tenang di jok bagian belakang motornya. “Pegangan...” Ujar Arga setelahnya.

“Udah.”

Kemudian Arga dapati ada sepasang tangan yang menggenggam sisi-sisi samping hoodienya ketika dia merunduk ke bawah. Tangan-tangan itu nyaris tak terlihat di balik jaket denim yang menutup permukaannya. Entah kenapa hawa di sekitar wajahnya semakin lama semakin memanas saat dia arahkan kepalanya kembali seperti semula. Arga buka kaca depan helm full-face miliknya.

Sepertinya ia harus terus membuka kaca itu guna meredakan panas yang dirasakannya sepanjang perjalan menuju tempat tujuan mereka.


Setelah memarkirkan motornya di tempat parkir yang sudah tersedia, Arga lalu mematikan mesin itu dan mengunci motornya. Dia lepas helm miliknya lalu segera beranjak dari motor hitam tersebut menemui Rafka yang terlebih dulu turun dan kini sudah menunggunya di dekat salah satu tiang lampu di sana.

Dua pemuda itu lalu berjalan ke tempat penitipan barang dan menitipkan helm yang mereka bawa pada tangan. Rafka menerima kartu nomor penitipan barang tersebut lantas menyimpannya di dalam tas selempang kecil yang dia bawa.

“Lo mau beli minum dulu gak?” Tanya Arga saat keduanya sampai di depan sebuah mesin penjual minuman otomatis yang ada di area depan sebelum pintu masuk gedung.

“Boleh.”

“Minum apa?”

“Fruit tea blackcurrant aja.”

“Oke.”

Arga lalu berkutat dengan mesin itu untuk membeli dua minuman untuk dirinya dan Rafka. Setelah selesai, dia menyerahkan botol kemasan ungu tersebut kepada pemuda yang bersurai merah muda. Sedang satu botol lainnya yang bewarna hijau pada tangan kirinya dengan segera dibuka, lantas meneguk minuman bersoda itu masuk melewati kerongkongannya.

Rafka menyerahkan selembar uang kertas di hadapan Arga. Bermaksud mengganti uang yang sesaat lalu dikeluarkan oleh pemuda bersurai biru itu untuk membeli minuman titipannya.

“Apa?” Arga bertanya setelah selesai meminum minumannya.

“Uang fruit tea.” Jawab Rafka.

“Gak usah Raf, simpen aja ... kan tadi gue bilang mau traktir.”

“Ih tapi—”

“Udah gak papa, yuk masuk!” Potong Arga sebelum Rafka sempat menyelesaikan kalimatnya. Mereka lalu berjalan beriringan memasuki gymnasium itu dan menuju ke area tribun yang terlihat sudah banyak mahasiswa lainnya di sana. Arga menghampiri salah satu kerumunan disusul Rafka mengekor di belakang dia. Ternyata pemuda bersurai biru itu menghampiri kelasnya sendiri. Terlihat dari sebuah banner yang diangkat tinggi pada area tribun paling atas tersebut.

Mereka duduk pada salah satu kursi tribun kosong, dengan Rafka yang memilih duduk di kursi paling ujung dekat dengan jalan tempat berlalu lalang para mahasiswa di sana.

“Woi Ga! Udah dateng lo?” Sapa pemuda berbaju putih, salah seorang teman satu progam studi dengan yang bernama Argantara.

“Iya.”

“Temen lo?” Tanyanya sambil menoleh menatap pada seseorang di sampingnya. Arga hanya menjawabnya dengan gumaman. “Mainnya kapan?” Lalu dia bertanya memastikan tentang kapan kiranya pertandingan malam hari itu akan segera bermula.

“Bentar lagi keknya ... Katanya tadi jam 8 mulai.”

Arga membulatkan mulutnya seperti berbicara OH tanpa suara. Setelahnya, dia menoleh ke samping kiri menatap ke arah Rafka. “Lo nanti mau makan di mana?” Tanyanya pada lelaki yang terlihat mengedarkan pandangannya ke sekitar.

“Terserah lo aja deh.” Jawab Rafka sekenanya. “Kan lo yang traktir, gue cuma ngikut aja.” Lanjut laki-laki itu.

Tepat saat jam menunjukkan pukul delapan lewat beberapa menit, pertandingan akhirnya dimulai.

Terlihat suasana gymnasium juga mulai ramai akibat sorakan para mahasiswa yang saling bersahutan menyemangati teamnya masing-masing. Tak terkecuali teman kelas Arga. Mereka kompak meneriakkan yel yel kelasnya untuk menyemangati team futsal yang saat ini sedang bertanding melawan kelas lain di bawah sana.

Rafka dapat melihat Surya dari tempat duduknya saat ini. Jelas, karena warna rambut pemuda itu yang tampak sedikit mencolok seperti seseorang yang duduk di sampingnya sekarang. Dia beberapa kali dibuat terkejut ketika Arga dengan suara beratnya ikut berteriak bersama teman-teman satu kelasnya.

Ada yang bagian menari di barisan depan. Ada juga yang berperan sebagai pemandu sorak dan membawa benda berkilauan di tangannya. Juga ada yang seperti instruktur pemandu gerakan yang nantinya akan diikuti teman satu kelas untuk lebih memeriahkan suasana kala itu.

Rafka mengikuti semuanya. Dia ikut bersenang-senang dengan teman kelas Arga yang lain meski tak bisa ia pungkiri kalau hatinya juga dibuat berdebar kencang melihat pertandingan itu.

Arga sedang fokus melihat ke bawah sana, ketika Rafka tiba-tiba menyita perhatiannya dengan suara teriakannya. Dia lihat pemuda bersurai merah muda itu yang tampak sangat menikmati suasananya. Arga tersenyum kecil karena hal tersebut. Lantas fokusnya kembali terarah pada lapangan utama dan kembali mengikuti apa yang dilakukan teman kelasnya yang lain.


“Woy Raf!” Panggil Farezi dari arah seberang. Kini pemuda blasteran itu mulai berjalan menghampiri tempatnya sekarang.

“Tadi lo bilang mager nonton pas gue ajak, eh malah udah ada di sini aja sekarang.”

Sedikit sinis tatapan mata itu terlihat dari sudut pandang Rafka. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue emang mager Rez, males nyetirnya. Ini aja kalo gak disupirin nih anak, gue juga males sebenernya hehe...” Tunjuk Rafka dengan arahan dagunya pada Arga yang ada di samping kirinya. Kekehannya kemudian lolos dari bibir tipis yang berwarna kemerahan itu.

Saat ini mereka sedang berada di dalam lapangan karena Arga yang berkata sesaat lalu ingin memberi ucapan selamat kepada Surya—serta ingin berbincang ringan.

“Ohh, lo yang anak kembar di Ancol waktu itu ya?” Tanya Fahrezi kepada dua orang di depannya yang memiliki tampilan rambut serupa. Dia ingat kejadian saat liburan ke salah satu pantai di daerah Jakarta Utara waktu itu.

“Gak kembar juga njir, orang jelas jelas pabriknya beda.” Jawab Arga sedikit tidak terima.

“Haha... Iya iya kaga kembar, gue bercanda doang tadi...” Canda pemuda berambut ungu tersebut. Lalu dia mengarahkan tangan sebelah kanannya di hadapan yang berbaju pemain team futsal. “Selamat bro, kelas lo masuk final.”

Surya lalu menerima jabatan tangan itu yang ternyata lantas digoyangkan sedikit oleh lelaki di hadapannya.

“Lo mainnya tadi keren btw.” Puji Fahrezi sesaat setelah melepaskan jabatan tangan itu dan mengacungkan kedua ibu jarinya di depan Surya.

“Kelas lo juga keren.” Surya mengembalikan pujian itu. Karena sejujurnya memang permainan anak kelas tari tadi juga sangat piawai ketika bertanding melawan kelasnya.

“Gue pulang duluan ya, biar gak kemaleman entar.” Arga menengahi perbincangan yang sedang terjadi ketika baru saja dia lihat jarum pendek pada jam di tangannya semakin berputar mendekati angka sepuluh.

“Eh iya Ga ... Lo berdua hati-hati ya, awas lo lagi bawa anak orang.” Balas Surya sekaligus memberi sedikit peringatan pada Putra Argantara itu.

“Eh bareng dong ke depannya.” Fahrezi ikut berujar setelahnya. Pemuda berambut ungu itu lantas berpamitan pada Surya. “Gue juga pamit duluan kalo gitu.”

“Eits, iya bro. Hati-hati!” Balas Surya yang kemudian melihat punggung ketiga lelaki tadi mulai berjalan menjauh dari tempatnya. Dia lantas berbalik dan berjalan ke arah pemain futsal lainnya.

•••

Arga membunyikan klaksonnya ketika berpapasan dengan Fahrezi yang terlihat baru saja mengeluarkan sepeda motor milik pemuda tersebut dari tempatnya parkir.

Motor sport berwarna hitam yang dia beri nama Miko itu membelah jalanan malam Kota Jakarta yang tampak cantik dengan gemerlap lampu di sepanjang pinggiran jalan raya.

“Ini terserah gue ya tempat makannya di mana?” Argantara mengeluarkan suara. Bertanya pada seorang pemuda di belakangnya perihal apa yang sebentar lagi akan mereka lakukan sesuai permintaan Rafka sendiri tadi.

Rafka mendekatkan kepalanya sedikit ke depan supaya Arga dapat mendengar suaranya. “Iyaaa.”

Tak berapa lama setelahnya, ternyata Arga membawa mereka berdua berhenti pada salah satu pedagang di pinggir jalan yang menjual berbagai macam makanan yang kebanyakannya ditusuk menggunakan tusuk sate.

Tempatnya tidak begitu ramai, jadi mereka langsung saja memesan beberapa makanan serta minuman, lantas duduk pada kursi yang sudah tersedia.

Selama menunggu pesanannya diantarkan, Rafka memotret suasana sekitar tempat itu yang jarang sekali dia rasakan. Usai dengan urusan ponselnya, dia lalu meletakkan benda pipih tersebut dan bertanya pada Arga. “Enak gak Ga?”

“Enak enak, lo gak pernah cobain?”

“Belom pernah sih hehe...” Jawab Rafka.

Pesanan mereka lalu diantarkan ke meja. Rafka menikmati makanan itu, dan benar kata Arga, rasanya enak. Pemuda bersurai merah muda itu terus melahap makanannya sampai tidak sadar kalau saus dari sosis yang baru saja dia makan mengenai sudut bibirnya.

Arga sedang meminum es tehnya ketika dilihatnya Rafka yang seperti tengah dilingkupi perasaan bahagia sambil mengunyah makanan di mulutnya, sepertinya tidak menyadari kalau ada noda saus yang mengenai sekitar bibirnya.

Arga beranjak dari duduknya menuju tempat pedagang itu dan meminta selembar tissue. Ternyata saat dia berbalik badan berniat kembali ke tempatnya, Rafka di sana melihat ke arahnya. Lelaki itu memperhatikan dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan. Arga melangkah sampai berhenti tepat di hadapan Rafka, lalu mengarahkan tissue di tangannya mengelap sekitar permukaan noda pada wajah si surai merah muda.

“Lain kali kalo makan pelan-pelan. Belepotan kan jadinya?” Arga berbicara sambil membersihkan noda tersebut sampai bersih, lalu membuang tissue kotor di tangannya pada tempat sampah yang tersedia.

Rafka terkejut ketika mendapati gerakan tiba-tiba yang tanpa aba-aba sebelumnya tadi. Fungsi kerja otaknya seperti dipaksa begitu saja berhenti. Serta jangan lupakan rongga dadanya yang terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Sebisa mungkin dia menutupi perasaan gugup itu dengan bersikap seperti biasa.

“Gue bisa bersihin sendiri...” Ucap Rafka saat Arga sudah kembali duduk di bangku depannya.

Arga mendengar kalimat itu meski lirih suara Rafka ketika mengatakannya. Lalu dia tersadar dengan perbuatannya barusan. Arga berdeham pelan.

“Lo aja bahkan gak sadar sebelum gue gerak tadi.”

Setelahnya hanya terdengar suara yang berasal dari masing-masing. Rafka melanjutkan makannya dengan hati-hati agar tidak lagi terjadi seperti yang sudah lewat. Dan Arga yang sedang memikirkan sesuatu dalam diamnya. Dalam perasaan yang entah apa itu, dia terus memainkan tangan kirinya di bawah meja. Meremas, mengepal, meregangkan, serta apa saja akan dilakukan Putra Argantara itu yang menyadari perbuatannya sesaat lalu.

Bahwa tangan kiri yang dia sembunyikan di bawah meja itu adalah yang tadinya bergerak membersihkan noda saus pada satu titik bagian wajah Rafka. Yang secara tidak langsung tangan itu juga bersentuhan dengan permukaan pipi yang sedikit berisi sang pemuda.

Arga menguraikan perasaannya dengan menatap permukaan meja di hadapannya sembari tetap menyantap makanannya meski fokusnya tidak berada pada tempatnya. Dia alihkan pandangan itu ketika Rafka membuka suara.

“Makasih udah traktir gue.” Ucapnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman di akhir.

Arga membalas senyum itu dan berusaha menanggapinya seperti biasa. “Iya sama-sama.”