The Morning After


cw // hangover


Arga terbangun saat kisi kisi cahaya mulai mengusik kelopak matanya. Mulutnya menguap sekali. Dia berniat menutupinya dengan tangan kiri, namun urung ketika terdapat sesuatu pada permukaan telapaknya. Sebuah sticky note berwarna merah muda menyala. Arga baca tulisan yang tertera di sana.

gue cuma bisa kasih selimut sama bantal, habisnya gue gak kuat kalo harus gotong lo ke kasur lo kan bongsor :P

Arga lalu perhatikan sekelilingnya. Benar bahwa ada sebuah bantal yang sesaat lalu menjadi tumpuan kepalanya. Juga ada sebuah selimut yang menutupi raganya, yang seingatnya malam lalu dia berikan selimut itu kepada Rafka.

Senyuman tipis tercipta pada kedua belah bibirnya. Dia pindahkan note tadi ke atas nakas di belakangnya dan berniat ingin merapikan selimut serta bantal itu ke tempatnya semula.

Namun dengan cepat, pemuda itu lantas berdiri dan segera masuk kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut ketika merasa sesuatu dalam perutnya seperti tengah bergejolak. Argantara terduduk di depan kloset, memuntahkan cairan dari dalam tubuhnya sambil tangan kanan memegangi bagian perut, sedangkan yang kiri bertumpu pada pinggiran kloset. Kepalanya ikut dibuat pening akibatnya.

Selang beberapa menit kemudian, saat dirasa sakit pada perut serta kepalanya sudah sedikit mereda, Arga bersihkan semuanya. Dia lalu berdiri dan menuju ke arah wastafel untuk membersihkan sisa sisa kegiatan tadi serta mencuci wajahnya yang terlihat kusut karena baru saja bangun dari tidur.

Setelah selesai, tungkainya dia langkahkan kembali ke arah samping kasur, tempat di mana dia meninggalkan selimut dan bantal tadi begitu saja. Arga lalu mengambil benda benda tersebut dan segera dirapikan di atas kasur itu.

Indra penciumnya menghirup aroma harum yang sepertinya berasal dari roti yang sedang dipanggang. Dengan rasa sakit yang masih tersisa sedikit pada bagian kepalanya, Arga lalu arahkan tungkainya menuju dapur. Pasti aroma ini berasal dari sana.

Dan benar saja, figur belakang dari seorang pemuda yang dikenalnya adalah hal pertama yang dilihat sepasang netranya kala area dapur sudah berhasil dipijakinya kini. Rambutnya bersinar diterpa cahaya sang surya yang berasal dari kaca kaca jendela besar di sana.

Arga lalu mengambil duduk pada salah satu kursi yang ada di meja makan. Suara gaduh dari decitan kaki kursi tersebut ternyata berhasil membuat Rafka menoleh ke arahnya.

“Oh, udah bangun?” tanyanya.

“Hm...” Arga hanya menjawabnya dengan gumaman singkat, karena sejujurnya keadaan kepalanya saat ini belum juga sepenuhnya pulih seperti sedia kala. Laki-laki itu mengernyit, dan pemandangan tersebut tak luput dari pandangan Rafka.

“Lo kenapa?” tanya Rafka sedikit khawatir saat melihat Arga yang kini mulai memegangi bagian kepalanya dengan sebelah tangan.

“Kepala gue... masih sakit...” Akunya.

Rafka dengan cepat mengambil obat pada kotak yang letaknya ada di samping kulkas. Diambilnya satu gelas air putih lantas menyerahkannya beserta dua bungkus kemasan obat berwarna biru di tangannya kepada Arga.

“Obatnya dilarutin dulu ke air putih, terus lo minum.” tukas Rafka.

Arga lakukan perintah Rafka tadi. Setelah larutan pada gelas itu sudah habis tak bersisa, Rafka kembali menghampirinya dengan membawa dua piring pada kedua tangannya. Satu diletakkan di depannya dan satu lagi untuk Rafka sendiri.

Rafka sudah memulai dengan suapan pertama, sedangkan Arga masih betah terus memandangi makanan di depannya tanpa berniat ikut menyuapkan roti panggang tersebut ke mulutnya.

“Makan Arga!” serunya. “Biar lo cepet sembuh.”

Namun Arga belum juga terlihat menyentuh pisau makan dan garpu itu. Pandangannya masih menatap ke arahnya.

“Enak?” tanya Arga.

“Enak, enak.... Cobain,”

Setelahnya Arga menyuap sepotong kecil roti panggang itu ke mulutnya. Sebenarnya dia sedikit merasakan asing, karena waktu di rumah Arga biasanya sarapan dengan nasi dan lauk masakan Bunda. Tapi rasanya tidak buruk juga untuk sarapan diluar konteks nasi pada jam segini. Pikirnya.

“Kepala lo gimana? Udah sembuh? Apa masih sakit?”

Arga arahkan pandangan itu ke depan sang lawan bicara. “Udah mendingan, gak kayak tadi pagi.”

Rafka membulatkan mulutnya menanggapi itu, serta mengangguk paham. “Terus lo pulangnya jam berapa?”

“Lo ngusir nih ceritanya?” tanya Arga main-main.

“Enggak ish... cuma tanya aja.”

Arga terkekeh ringan, “Kalo kepala gue udah gak sakit lagi, kayaknya habis makan gue pulang.”

“Nggak mandi dulu sini?”

Mungkin pertanyaannya memang sederhana, tapi Arga dibuat sedikit kikuk saat mau menjawabnya. “Gak kok, di rumah aja, gue gak bawa baju ganti.”

“Gue ada baju yang kebesaran, kayaknya di lo muat deh.”

Bukan Rafka, bukan masalah baju luar yang sebenarnya Arga masih bisa pakai jaketnya kalaupun harus. Tapi ini menyangkut pakaian terdalam yang Arga maksud. Mohon untuk mengerti sedikit.

Arga menggelengkan kepalanya pelan setelah itu. “Gapapa, gue mandi di rumah aja, lagian gak jauh jauh amat dari sini. Ngerepotin lo nantinya.” Kukuh Arga tetap pada pendiriannya.

“Beneran?”

“Iya, Rafka.”

“Emm... Yaudah kalo gitu.”

Seusai makan bersama pagi itu, Arga lalu mengambil jaketnya dan kunci motor di atas meja kaca pada area ruang televisi di sana.

Dua putra adam itu kini saling berhadapan di depan pintu masuk yang terbuka lebar.

“Gue pulang dulu.” Pamit Arga.

“Iya, hati-hati.”

Selepas itu, Arga langkahkan tungkainya ke arah pintu lift yang hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk apartemen Rafka. Ketika pintu dari baja itu terbuka, Arga masuk ke dalam sana dan memencet satu tombol yang mengarah ke area terbawah pada bangunan apartemen tersebut.

Sebelum pintunya tertutup, Rafka sedikit berteriak dari tempatnya berdiri yang masih sama seperti tadi. “Arga!”

Yang dipanggil sontak menatap lurus menuju seorang pemuda dalam balutan baju tidur di depan sana. “Kenapa?” jawabnya ikut mengeraskan suara, agar Rafka dapat mendengarnya.

“Gue cuma mau bilang... makasih...” Simpul pada bibir tipis itu muncul setelahnya. Yang Arga tangkap dalam pandangannya, Rafka di depan sana tengah melambaikan tangan ke arahnya. Tepat sesudah itu akhirnya pintu lift menutup sebelum Arga sempat menjawab pernyataan tadi.

Dalam sekotak ruang yang sekelilingnya terbuat dari baja itu sendirian, Arga balas pada udara kosong di sekitarnya.

“Sama-sama.”