The Night We Shared
cw // drunk , drunk conversation
Kegiatan malam mereka hari ini sudah usai. Kini sekelompok remaja laki-laki tersebut mulai berpamitan setelah sampai di dekat kendaraannya masing-masing.
Arga berniat memasukkan ponsel dalam genggaman tangan kanan itu ketika raga tegap sang pemuda sudah duduk di atas motor hitam miliknya, namun dia urungkan niatnya saat sepasang netranya melihat satu postingan yang berhasil menyita perhatiannya.
Dengan cepat disimpannya ponsel itu ke dalam saku jaket. Arga pakai helmnya guna melindungi bagian kepala. Tak lama kemudian, motor sport hitam miliknya ikut berbaur pada jalan raya yang masih ramai pengendara meskipun pada malam hari seperti saat ini.
Pada hatinya berulang kali menggumam sebuah kalimat cemas, khawatir pada satu orang yang kini bayangnya hadir memenuhi isi kepalanya.
Dia bilang baik-baik saja, tapi nyatanya pemuda itu lebih memilih bersembunyi di balik tebalnya dinding rasa. Dia iyakan tanya yang Arga lontarkan, tapi sebenarnya Rafka lebih memilih memendam sendirian. Arga tidak paham, kalau itu menyangkut apa yang dirasakan si surai merah muda pada hatinya yang paling dalam.
Arga hanya takut perihal sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada sang penyita perhatian. Hal yang bisa dia lakukan hanya memastikan dengan mata kepalanya sendiri sekarang.
Saat di persimpangan; yang biasanya Arga ambil jalur kanan dimana arah ke rumahnya berada, tanpa menunggu lampu lalu lintas di depan sana berubah menjadi warna hijau, Putra Argantara itu langsung belokkan arah motornya ke kiri menuju jalan Rasuna.
Butuh beberapa menit sebelum Miko sudah berhenti tepat di kawasan depan Setiabudi Residence. Setelah lapor pada pos satpam setempat, Arga lalu kembali melajukan motornya ke area basement dan memakirkan kendaraan itu di sana.
Tungkainya kini mulai melangkah menuju arah lift tempat di mana gedung apartemen Rafka berada. Saat pintu baja itu terbuka, Arga lalu masuk ke dalam dan memencet salah satu tombol pada permukaan sisi kanan di sana yang menampilkan angka dua puluh tiga.
Sesaat setelah lift berbunyi; pertanda kalau tempat yang menjadi arah tujuannya sudah sampai. Arga lalu langkahkan kakinya ke arah pintu yang ada tepat beberapa meter di hadapannya. Pandangannya lurus, terkunci pada satu unit nomor yang masih diingatnya itu. Dia berdiam sejenak di depan pintu tersebut sebelum tangannya bergerak menekan bel yang ada di samping. “Raf, buka pintunya! Gue udah di depan.” ujarnya dengan sedikit mengeraskan suara.
Rafka terkejut mendengarnya. Kini pandangannya menatap lamat-lamat pintu masuk di sampingnya itu. Pasalnya, dia sama sekali tidak mengira akan mendapat suatu kehadiran lain dari seseorang pada malam hari ini. Rafka mengenal betul suara di balik pintu masuk itu. Suara yang kerap terdengar oleh rungu. Suara seorang Argantara yang saat ini sedang dalam penantian tunggu.
Ponsel yang tergeletak di atas meja itu bergetar, menandakan adanya sebuah notifikasi masuk. Dilihatnya sekilas ke arah layar, ternyata Arga mengiriminya pesan yang menyuruhnya untuk membuka pintu masuk apartemennya. Rafka sebenarnya masih bimbang, perihal maksud dari kedatangan Arga, kenapa lelaki itu bisa tiba-tiba sudah ada di depan sana?
“Rafka, bukain pintunya dulu buat gue, bisa?” Suaranya kembali terdengar. Rafka bangkit dari sofa yang didudukinya dan melangkah menuju pintu masuk itu untuk kemudian dibukanya. Arga dengan air muka serius adalah hal pertama yang berhasil tertangkap oleh netra.
Setelah menyuruhnya masuk, kini dua putra adam itu sudah duduk saling berdampingan. Rafka mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, karena terlihat sedikit dari sudut matanya, Arga seperti tengah menatapnya kuat dan penuh penekanan.
“Katanya lo gapapa.” ujarnya memulai. “Terus ini maksudnya apa?” Telunjuknya lalu ia arahkan pada sesuatu di atas meja kaca tersebut. Arga menatap serius laki-laki di sampingnya. “Raf, udah gue bilang, lo bisa cerita ke gue kalau lagi ada apa-apa. Gue siap dengernya.”
Rafka balas tatapan Arga tepat di mata. “Gue gak kenapa-napa, emang lagi pengen minum aja, mumpung sabtu malam juga.” jawabnya. Rafka memang berkata apa-adanya. Dia sedang ingin minum, disamping ada hal lain yang dipilihnya untuk tetap berada pada tempatnya, memilih untuk tidak disuarakan saat itu juga.
Arga menghela, ia lalu meraih botol wine di atas meja itu untuk kemudian diamatinya sebentar. “Enak?” tanyanya dengan sedikit menggoyangkan botol pada tangan kanannya di hadapan Rafka.
“Iya, kesukaan gue.”
“Lo sering minum?”
“Gak juga, waktu lagi pengen aja.”
Arga menanggapinya dengan anggukan. Botol di tangannya lantas diletakkan kembali ke atas meja. Arga lepas jaketnya dan disampirkan pada pinggiran sofa di sampingnya. “Raf, gue izin ke dapur lo, boleh?”
Rafka naikkan sebelah alis pertanda bingung, tapi akhirnya dia iyakan saja permintaan si surai biru tersebut. “Iya, boleh.”
Setelah itu Arga berlalu ke arah dapur. Matanya memindai satu persatu tempat yang sekiranya terdapat sebuah benda yang yang akan diambilnya. Dia buka cabinet di atasnya dan menemukan gelas yang dimaksud. Arga lalu mengambilnya satu dan kembali menuju tempatnya semula.
Saat Rafka sedang meminum cairan yang tersisa sedikit pada gelas kaca pada genggaman tangannya, ia tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Arga setelahnya. Bukan, bukan pada lelaki bersurai biru yang kini sudah ada di sampingnya. Melainkan pada apa yang dibawa Arga seusai kembali dari dapurnya sesaat lalu. Lelaki itu menyodorkan sebuah gelas yang sama persis seperti yang tengah digenggamnya saat ini.
“Arga?!”
“Kenapa? Gue juga mau.” jawab Arga ringan seolah bukan menjadi permasalahan. “Gue denger kalo lagi minum minum gini lebih enak lagi kalo minumnya bareng temen.” Gelas pada genggamannya kembali digoyangkan pelan. “Tuangin dong.”
Rafka tak langsung melakukan permintaan Arga. Ada jeda sejenak sebelum si surai merah muda itu kembali menatap lelaki di hadapannya serius. “Lo pernah cobain emangnya?”
“Ini kan mau cobain.”
“Arga, lo ...?”
“Apa?”
Air muka Rafka seperti tidak habis pikir. Bisa-bisanya Argantara seolah menanggapi seperti itu hal biasa baginya. Namun ekspresi yang tampak pada wajahnya yang rupawan masihlah terkesan datar, tak seperti biasa yang memancarkan aura ketenangan jua berseri saat kerap kali berjumpa pada satu kelas yang sama.
Rafka menghela pelan. “Arga, lo bisa mabuk... dan jangan lupa lo nanti nyetir!”
“Kalo gue nginep sini, boleh? Entar gue kabarin Bunda kalo lo bolehin. Mumpung sabtu malam juga...” tukasnya. Ikut menirukan gaya bicara Rafka saat mengatakan kalimat yang terakhir. “Gue temenin, mau sampe besok juga ayo gue temenin.”
Setelahnya, saat gelas masing-masing sudah terisi oleh cairan pekat berwarna merah kehitaman, mereka lalu bersulang dan meneguknya kemudian.
Arga mengeryit mendapati rasa yang aneh saat cairan itu sudah masuk dan bersua dengan indra pengecapnya. Rasa pahit, asam, dan manis bercampur jadi satu. Kalau boleh jujur, Arga tidak suka, tapi dia harus tahan perasaan itu. Kalau tidak, bagaimana dirinya akan mengikuti permainan Rafka dan memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh si surai merah muda?
Kala sunyi makin mengudara, ada perasaan asing yang muncul saat keduanya bersitatap dalam diam. Rafka sedikit canggung saat Arga melihat sisinya yang seperti sekarang. Belum pernah sekalipun terlintas dalam benaknya akan berbagi wine dengan seseorang yang ada di sampingnya kini.
Denting yang terdengar samar dari jam dinding di atas televisi di sana jadi saksi ketika kesadaran Rafka maupun Arga makin lama makin terkikis terbawa waktu. Dua pemuda yang saling berhadapan itu sudah saling melontarkan kalimat-kalimat rancu. Terutama Rafka, yang tanpa henti berbicara apapun begitu saja. Dia keluarkan apa saja yang ada dalam hatinya.
Arga dengar baik-baik ketika Rafka bicara. Dia pernah dengar kalau omongan orang mabuk adalah apa yang sejujur-jujurnya ingin disuarakan sang tuan ketika ada batasan berupa ketidakmampuan dan berakhir dengan hanya dipendam sendirian.
Mungkin sebentar lagi Arga juga akan mengalaminya, karena dia sekarang sebenarnya sedikit menahan untuk tidak meminum cairan itu lebih banyak dari yang sebelum-sebelumnya. Arga masih ingin mendengar langsung dari Rafka, perihal yang ingin dilontarkan sang pemuda, namun belum mampu dikatakannya.
“Gue cuma hik~ ngerasa sendi– hik~ rian aja...” ucap Rafka susah payah ketika cegukan mulai melandanya terus menerus. “Tapi gue—gak mau ganggu—temen temen—gue—gue gak enak—” “Udah mau—sebulan juga—kakak gue belum nen—ngok sini...”
“Ada gue Raf,” ucap Arga juga sedikit kesusahan karena kepalanya mulai terasa pusing dan semakin berat. “Lo kalo mau cerita, ke gue aja... gue bakal dengerin bahkan sampe mulut lo berbusa sekalipun,”
Karena tidak tahan, Argantara lantas menyandarkan punggung dan kepalanya pada sandaran sofa di belakangnya.
“Gue juga— butuh sosok temen yang lebih—” Arga berujar lirih nyaris tidak terdengar.
“Ga...” panggil Rafka setelah Arga bertahan dalam diam selama beberapa saat.
Arga menoleh ke samping kiri, “Hm?”
Perlahan jarak antara dua wajah yang saling berhadapan itu makin terkikis karena Rafka mulai memajukan kepalanya mendekatinya.
Arga hanya mengerjap ketika Rafka menatap lurus tepat di matanya. Dia masih belum bereaksi apa apa ketika dalam jarak yang sudah sedekat ini, bahkan bisa dirasakan hembusan napas sang pemuda tepat mengenai permukaan kulit wajahnya. Rafka terlihat lucu dengan kedua pipi yang tampak sedikit memerah. Arga tersenyum kecil karenanya, tangan kirinya bergerak ingin menuju sisi kanan wajah Rafka. Namun sebelum itu terjadi, si surai merah muda telah lebih dulu menarik wajahnya dan kembali pada tempatnya semula.
“Hehe....ada—bulu mata lo—jatuh di pipi.” ujarnya sambil menunjukkan sehelai bulu mata pada capitan telunjuk dan ibu jari tangan kirinya di hadapan Arga.
Setelah itu Rafka kembali meminum sisa cairan pada gelasnya sampai habis tak bersisa.
Tck, gue mikir apa sih barusan?, Batin Arga. Lengan kanannya diangkat untuk menutupi bagian matanya. Kalau akal sehatnya sudah bebas terbawa delusi, segera saat itu juga harusnya Arga berhenti.
Saat pikirannya sedang bergelut dengan batinnya, tiba-tiba Arga rasakan ada yang terantuk pada bahu sebelah kirinya. Ketika menoleh ke samping, ternyata ia dapati Rafka sudah bersandar nyaman pada bahunya dengan mata yang tertutup. Rafka menyerah pada sisa kesadarannya dan memilih terlelap menjemput bunga tidurnya.
Saat melihat pada jam dinding di atas sana, jarum pendeknya hampir tiba pada angka dua belas. Sudah selarut ini.
“Raf, ayo pindah ke kamar lo... jangan di sini, badan lo bisa sakit nanti.”
Rafka hanya menanggapinya dengan gumaman. Lalu dengan sisa sisa kesadaran yang masih belum sepenuhnya hilang, Arga bangkit dan berinisiatif memindahkan Rafka ke kamarnya.
Lengan kanan Rafka sudah dikalungkan pada lehernya, Arga lalu merangkul bahu yang lebih kecil untuk dipapahnya menuju kamar sang tuan rumah. Namun belum juga mengambil langkah maju, Rafka sudah lebih dulu kembali terduduk akibat tidak kuat menahan bebannya sendiri. Apa mungkin lelaki bersurai merah muda tersebut sudah sepenuhnya berkunjung ke alam mimpi?
Arga tidak menyerah dan hilang akal begitu saja. Dia lalu mencoba menggendong Rafka di punggungnya. Tapi saat mencoba bangkit dari posisinya untuk berdiri, dia sedikit kesusahan karena harus menyesuaikan beban pada punggungnya dan juga beban badannya sendiri.
Satu satunya yang dilakukan Arga saat itu adalah menyelipkan satu legannya melingkupi bagian bahu, sedang lengan satunya dia arahkan pada bawah kedua lutut Rafka. Arga menggendong pemuda itu dengan cara bridal.
Saat dalam perjalanan menuju kamar yang diduga milik Rafka, lelaki bersurai biru itu lantas membuka knop pintunya dengan sedikit susah payah. Arga akan membaringkan Rafka dengan nyaman pada kasur di depannya, ketika tiba-tiba saja lelaki dalam gendongannya menggumam. “Ga, kalo mau tidur di kamar satunya aja ya, jangan di sofa...” Setelah mengatakan itu, Rafka kembali tertidur. Tampak dari nafasnya yang berhembus teratur.
Arga merapikan selimut yang menutupi raga pemuda yang lebih kecil itu dengan hati-hati setelah sebelumnya mengatur posisi tidur yang nyaman untuk Rafka. Suhu pada air conditioner di ruangan itu juga diatur senyaman mungkin agar Rafka tidak merasa kedinginan maupun kepanasan nantinya.
Sesaat setelah meletakkan remote control pada tangannya ke atas meja nakas di samping tempat tidur Rafka, Arga merasakan sakit yang luar biasa pada bagian kepala. Pandangannya juga semakin mengabur saja dibuatnya. Rasa-rasanya Arga tidak akan sanggup jika harus berjalan lagi barang satu langkah.
Akhirnya, setelah bersimpuh di samping tempat tidur Rafka, ketika lengan kirinya digunakan sebagai tumpuan kepalanya, dan sesimpul tarikan senyum itu menampil seusai melihat sekilas ke arah si surai merah muda, Arga kemudian menyerah pada sisa kesadarannya dan memilih terlelap menjemput bunga tidurnya.