Tidak Biasanya


cw // harshword


Arga terus saja bergerak gelisah di kursinya. Dia terus mengedarkan pandangan ke sekitar, berulang kali memastikan kursi bagian depan dan belakang di dalam kelas mata kuliah fotografi yang sedang berlangsung. Dan harus kembali puas dengan decakan pelan yang keluar tak hanya sekali dari bibir itu.

Dari pertama kali dosen yang mengajar kelasnya memasuki pintu berwarna putih itu sampai ketika dua puluh menit sudah waktu berjalan dihabiskan dengan mendengarkan penjelasan dari pria paruh baya di depan sana, Arga belum juga menemukan kehadiran Rafka di antara para mahasiswa yang hadir dalam kelas.

Apa laki-laki itu memang memutuskan untuk tidak hadir dalam kelas siang ini?

Karena sekeras apapun dia mencoba mencari, Arga belum bisa menemukan apa yang salah dari tindakannya pada hari ketika Rafka menangis malam itu. Atau mungkin memang ada? Tapi lelaki itu saja yang kebetulannya tidak peka?

“Napa sih lo? Cak cek cak cek mulu dari tadi?” Tegur Surya yang berada tepat di kursi samping kanannya. Sudah sejak tadi pemuda Adilansah itu mendengar semua decakan yang keluar dari seseorang di samping tempat duduknya. Awalnya hanya dia lihat saja Argantara dengan kesibukan yang dilakukannya itu, tapi lama kelamaan telinganya merasa terganggu. Surya putuskan untuk membuka suaranya tanpa ragu.

Sedangkan pemuda yang diberi pertanyaan itu sekarang tengah memikirkan sesuatu. Haruskah Arga memberitahu Surya?

“Rafka gak masuk.” Jawabnya akhirnya.

“Terus?” Timpal Surya lagi.

Arga menoleh ke arah Surya. Kedua alisnya kini sudah terlihat mengkerut dalam. “Heran, gak biasanya.”

“Terus hubungannya sama lo apaan? Suka suka dia mau masuk atau gak. Palingan juga mau ngambil jatah absen?” Tukas Surya yang membuat Arga lantas diam. Argantara itu terpaku pada kalimat pertama yang Surya ucapkan. Hubungannya sama lo apaan?

Surya itu... Kenapa terkadang ucapannya dapat membuat seseorang kalah telak? Kenapa dia bisa menjelma jadi manusia paling apa adanya yang mengeluarkan suaranya sesuai dengan yang ada di isi kepala? Arga hanya dapat meringis dalam hati tanpa bisa mengelak.

Nafasnya berat ketika udara itu kembali dikeluarkan lewat hidung sang Argantara. Apa ia mencoba jujur saja?

“Salah gue, mungkin?” Akunya. “Rafka tiba-tiba ngejauhin gue pas malem itu.” Lanjut Arga.

“Malem yang mana?” Tanya Surya karena sama sekali tidak mengetahui malam mana yang dimaksud Arga.

“Habis event UKM seninya.”

“Lah kenapa? Lo lagi berantem?”

“Gue... Gak tau... Awalnya kita cuma makan, habistu ngobrol dan dia tanya-tanya—” Arga menjeda ucapannya sejenak ketika terlihat di depan sana, dosennya sedang melihat ke arah para mahasiswa.

Setelah beberapa menit berlalu dan memastikan keadaannya dirasa sedikit aman, Arga mulai kembali menceritakan perihal malam ketika semua bermula. Malam yang menjadi perawalan Ravian Rafka yang tiba-tiba menghindar dan sulit ditemuinya hingga saat ini.

“Ternyata gue punya temen yang agak goblok,” Ujar Surya

“Kenapa jadi gue?!” protes Arga yang tidak terima ketika Surya menyebutnya seperti itu.

“Ya! Karena lo emang goblok, ngapain coba tiba-tiba pake bilang 'jangan suke gue ya, Raf'. Gunanya apa coba?” Surya dibuat emosi, tapi dia harus menahan kekesalan itu lantaran masih teringat akan situasinya sekarang. Mereka masih berada di dalam kelas yang sedang berlangsung.

“Emangnya apa yang salah? Itu aja keluar langsung dari mulut gue, mana ada gue rencanain buat ngomong kayak gitu. Lagian juga bukan itu masalahnya, gue mau cari tau kenapa dia ngilang beberapa hari ini.” ucap Arga menjelaskan untuk membuat Surya mengerti dari sudut pandangnya.

Sedangkan Surya hanya menghela nafasnya berat. Temannya ini benar-benar, entah memang tidak peka atau menolak untuk mengerti?

“Dahlah, capek gue.”

Dia menyerah dulu, saat ini. Enggak tahu kalau nanti.