Unsure
cw // harshwords
| Arga, bunda ada urusan di luar | Pulangnya mungkin agak malaman | Kuncinya bunda taroh di pot bunga mawar
Setelah membaca sederet pesan dari sang Bunda yang berkata kalau hari ini beliau sedang ada acara di luar rumah, Arga kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas ranselnya.
“Sur, gue mampir ke kos lo ya?” Ujarnya pada seorang Surya Adilansah yang ada di samping kirinya.
“Kenapa lo gak balik?” Tanya Surya.
“Rumah sepi. Ayah gue lagi keluar kota. Bunda barusan bilang lagi ada acara di luar.” Jelas Arga.
Surya mengangguk paham. “Ya udah.”
Dua pemuda berambut warna serupa itu lantas berjalan menuju kendaraannya masing-masing dan pergi meninggalkan area parkiran untuk menuju Kos Surya yang letaknya tidak seberapa jauh dari gedung kampus tersebut.
Sesaat setelah sampai, Arga dan Surya turun dari motornya lalu berjalan ke lantai dua. Menghampiri sepetak kamar yang terletak paling ujung di mana tempat Surya berada.
Setelah membuka pintu bercat putih tersebut, mereka langsung masuk ke dalam sana. Arga meletakkan tasnya di samping meja belajar. Sedangkan Surya meletakkan tasnya di tempat biasanya, gantungan di balik pintu masuk kamarnya.
“Lo mau makan dulu gak?” Tanya Surya begitu mendudukkan dirinya pada kursi yang terletak di dekat meja belajarnya. “Mang Ujang biasanya lewat bentar lagi.”
Arga mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel pada genggamannya. Dia lirik sekilas temannya itu. “Iya, gue mau.”
Tepat setelah itu, terdengar samar suara lonceng khas orang berjualan dari arah bawah. Arga merogoh saku bajunya untuk mencari selembar uang lalu menyerahkannya pada Surya.
Argantara kembali memainkan ponsel miliknya sambil bersandar pada kepala ranjang di belakangnya ketika sang putra Adilansah baru saja menghilang di balik pintu kamar yang terbuka lebar itu.
Setelah menunggu beberapa saat, barulah Surya kembali dengan dua bungkusan di tangan kanannya. Dia lalu mengambil dua buah sendok yang salah satunya diberikan kepada Arga. Mereka kemudian duduk di lantai dan mulai memakan nasi goreng itu bersama.
Menghabiskan beberapa menit menghabiskan makanan tadi. Arga teringat akan sebuah pemikiran yang sesaat lalu melintas ketika dia tengah menyantap nasi goreng miliknya. Dia lantas suarakan itu kepada Surya. “Btw, gue aslinya mau interogasi lo!” Ujarnya setelah Surya kembali dari luar kamar untuk membuang sisa bungkus makanan mereka.
“Apaan dah?” Tanya Surya merasa kebingungan dengan yang diucapkan Arga barusan.
“Lo lagi deket ya sama seseorang?” Argantara langsung saja memberi Surya pertanyaan inti tanpa sedikitpun basa-basi. Dia penasaran akan sebuah tanya yang kerap kali mampir dalam kepalanya seolah menuntut agar segera tahu jawabnya. Arga tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama.
“Kok lo tahu?” Surya sedikit terkejut ketika mendengarnya. Pasalnya saja, dia tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan kalau dia sedang dekat dengan orang lain selain Arga dan temannya yang lainnya.
Arga mendengus menanggapi itu. Apa jangan-jangan yang dipikirkannya saat ini benar? Kalau Surya memang sedang dekat dengan serangkai nama yang kini terus-terusan dielukan oleh isi kepalanya? Dekat dalam artian, dekat lebih dari sekedar teman?
“Lo gak usah pdkt lagi deh, gue bilangin, dia cuma main-main sama lo Sur. Gue gak mau entar lo sakit hati karena dia.”
“Lo tau darimana? Gak usah bilang ini itu kalo lo sendiri aja gak tau gimana aslinya dia.” Surya merasa sedikit terbawa emosi. Alisnya sudah berkerut tanda tidak terima dengan ucapan Arga baru saja.
“Dia sering bilang bercanda. Sering gak terlalu serius sama perasaannya sendiri. Sur ... Gue cuma gak mau temen temen gue jadi ajang main-main gitu. Gue bilang juga demi kebaikan lo.” Jelas Arga dengan raut muka serius. Ada perasaan tidak nyaman yang tersemat dalam hatinya saat mengatakan itu. Rasa gelisah yang cukup mengganggu hanya karena membayangkannya saja. Arga menyayangi semua temannya, tidak peduli mau dia sedekat apapun itu kalau menurutnya salah, dia akan berusaha meluruskan apa yang seharusnya perlu dia lakukan.
“Apa ini? Sejak kapan juga lo jadi deket sama dia? Lo main di belakang gue?” Surya bertanya memastikan. Batinnya saat ini berkeluh prasangka prasangka yang tiba-tiba muncul secara tak terduga.
“Dia juga temen gue? Gak masalah lah kalo deket.”
“Oh ... Karena temen, jadinya gapapa kalo nikung gitu?”
Arga terkesiap. “Apaan sih? Kok jadi nikung?”
“Lo kan yang barusan bilang kalo juga lagi deket sama Kayla! Bahkan gue aja gak tahu dan lo gak pernah ngasih tahu ke gue!”
Lagi, Arga terkesiap untuk yang kedua kali. “HAH?!” Nada suaranya sama sekali tidak bisa dibilang pelan. “Apa lo bilang? Kayla?” Tanyanya. “Bangsat ... Kok jadi Kayla anjing?!”
“Lah emang Kayla sat! Lo pikir siapa?!”
Arga sudah tidak tahu lagi harus bereaksi yang bagaimana. Emosi yang tadinya meluap-luap, tiba-tiba saja jatuh pada titik terendah sehingga dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Perkiraannya jelas berbeda jauh dengan yang Surya ucapkan baru saja.
“Gue ... Gue pikir lo—sama Rafka — lo berdua enggak ... ??” Ujar Argantara terbata-bata. Nadanya sangat lirih ketika mulut itu mengeluarkan suara.
“Apaan anjing? Lo kalo ngomong yang jelas!”
“Gue kira lo lagi deket sama Rafka bangsat!” Ujarnya kembali dengan sedikit meninggikan suara.
“Haha lucu lo! Mana ada gue lagi pdkt sama Rafka! Gue sama dia ya cuma temenan biasa!” Surya hanya bisa tertawa mengejek lelaki di depannya itu. Sudah dibuat emosi tinggi-tinggi, ternyata hanya sebuah kesalahpahaman saja yang didapati. Surya rasa-rasanya mau menghias wajah datar di hadapannya itu dengan pukulan-pukulan yang sangat ingin dia layangkan ke arah sang teman saat ini.
“Gak lebih?”
“Gak lah!”
Arga menjeda sesaat. Kasar nafas itu dia hembuskan setelahnya. “Jangan mainin perasaan anak orang Sur. Rafka ... pernah bilang kalo dia suka lo. Tapi nyatanya lo bilang sendiri kalo sekarang lagi deket sama Kayla, yang mana temen dia.”
Buku-buku tangannya mengepal. Putra Adilansah itu benar dibuat kesal. “Rafka emang baik, tapi gue sama dia emang cuma temenan biasa. Gue gak pernah mainin perasaan dia anjir!” Ujarnya dengan luapan emosi yang menggebu-nggebu. “Lo kalo gak percaya gue tanyain anaknya langsung lah besok! Anjing emosi gue!”
Cukup lama mereka bertahan dalam keterdiaman. Cukup lama juga Argantara memikirkan kembali pasal yang baru saja terjadi. Apa dia sedikit keterlaluan? Entah bagaimana bisa mereka berakhir pada luapan emosi yang sama-sama tidak mau kalah. Arga sama sekali tidak menduga kalau mereka akan saling melempar berbagai amarah.
Arga akhirnya meruntuhkan sedikit egonya dan menjadi yang pertama kali membuka bibirnya dengan kalimat permintaan maaf. “Gue tahu gue salah. Maaf udah emosi. Maaf juga udah salah paham ... Tapi lo gak pernah cerita ke gue, ya mana gue tau lah bego!”
Surya merorasikan bola matanya menanggapai itu. “Males. Lo bikin males duluan sebelum gue cerita.”
“Anjir! Gue kan udah minta maaf barusan!”
“Asalnya gue mau cerita ke lo, tapi gak sekarang. Buat apa gue koar-koar cerita lagi deket sama seseorang tapi endingnya malah gak jadi.” Jelas Surya masih dengan perasaan dongkol yang tersisa. “Mending gue diem-diem aja ... tapi pasti.”
Surya memilih mengambil tempat di pojok kasur dan membaringkan tubuhnya yang lelah akibat hari yang cukup padat dengan jadwal perkuliahan, belum lagi ditambah dengan amarah yang datangnya tanpa diduga karena seorang Argantara yang menyulut api barusan.
“Dari yang gue liat aja, si Rafka kayanya lagi suka orang lain ... Gak mungkin lah gue deket sama dia hahaha ngaco!”
“Rafka suka orang lain? Siapa?” Tanya Arga penasaran dengan apa yang Surya ucapkan baru saja.
“Lah mana gue tau?! Lo kan yang lebih deket sama dia! Harusnya lo yang lebih tau dong?!”
“Ck ... Ya itu tadi! Gue kira lo orangnya yang dia suka. Gue kira lo lagi deket sama dia!”
“Ya lo tanya lah kalo gitu sama orangnya langsung!”
Surya perhatikan apa yang dilakukan Putra Argantara itu. Dia perhatikan bagaimana raut muka yang dihias semu merah itu menjadi semakin tertekuk seperti tidak puas akan sesuatu.
Surya sebenarnya masih belum yakin. Mungkin saja dugaannya bisa benar atau salah dalam mengira suatu hal. Namun menilik dari yang pernah netranya tangkap dan dia ingat betul kejadian saat di rumah Arga waktu itu. Saat hari dimana Argantara bertambah usianya menjadi genap dua puluh satu tahun. Sepertinya ada kemungkinan dugannya benar meskipun hanya sepersekian persentase yang didapat.
“Lo orangnya Ga, kayaknya...” Gumam Surya lirih, nyaris tak terdengar.
“Lo ngomong sesuatu?” Tanya Arga begitu mendengar suara namun tak jelas kalimat itu tertangkap daun telinganya.
Surya yang penasaran akan satu hal. Dia mencoba mengalihkan itu dengan bertanya pada Arga. “Kenapa lo kayak marah gitu tadi? Lo kayak gak mau kalo Rafka deket sama orang lain, kenapa? Apa lo suka?”
Argantara mau mengeluarkan suara, tapi entah kenapa dia malah membungkam kembali bibirnya. Lidahnya terasa kelu ketika mau mengucap berbagai kata. Akhirnya dia hanya bisa menelan kembali dan memilih menghembuskan nafasnya kasar ke udara.
Ada perasaan tidak nyaman ketika Surya melontarkan pertanyaan barusan. Hatinya seperti bergemuruh tanpa alasan. Arga takut. Takut kalau semuanya menjadi salah karena ketidakyakinan yang masih belum jelas dari dirinya.
Dia takut ... akan ketakutan itu sendiri.
“Gak kenapa napa.” Pada akhirnya Arga hanya mampu mengucapkan kalimat pengakhir seperti itu.
Surya diam, tapi bibirnya seperti bergerak abstrak. 'Lo bahkan gak jujur sama perasaan lo sendiri.'
“Basi ah, gue mau tidur. Bangunin gue kalo mau pulang.”