What the Wind Showed to Me


Rafka menghubungkan navigasi ponsel itu pada head unit mobil miliknya dan mulai menjalankan mobil putih tersebut menuju ke tempat lokasi yang sudah Bang Arsen kirimkan di grup UKM sebelumnya.

Dalam perjalanan yang diperkirakan memakan waktu sekitar lima belas menit lamanya, Rafka habiskan sambil mendengarkan lagu dari radio mobilnya.

Jalanan malam ini tidak terlalu padat, jadi mungkin dia bisa saja sampai di tempat janjian mereka lebih cepat.

Rencana makan bersama di cafe sebagai bentuk dari sebagian hadiah kecil yang didapatkan para anggota organisasi seusai event yang diadakan mereka kala itu. Setelah mencocokkan tanggal dan waktu yang tepat, akhirnya terlaksana juga agenda tersebut hari ini.

Rafka berhenti di depan sebuah tempat dan mempersilahkan Ara masuk karena mereka mengatakan akan berangkat bersama sebelumnya. Setelah menempuh waktu belasan menit, kini mobil putih milik Rafka baru saja memasuki area parkiran pada cafe daerah Jakarta Selatan. Mereka lantas turun dari mobil dan kini melangkah masuk ke dalam cafe lalu menghampiri beberapa temannya yang telah lebih dulu tiba di sana.

Saat kursi yang sudah dipesan sebelumnya mulai terisi satu persatu yang artinya semua anggota sudah datang, mereka lalu memesan makanan dan menunggu selama beberapa saat. Beberapa dari mereka terlihat saling berbincang satu sama lain sembari menunggu sampai pesanan diantarkan ke meja.

Lantunan sebuah suara kembali terdengar dari arah tempat yang disediakan khusus untuk permainan musik live pada cafe itu. Rafka termasuk satu dari banyaknya orang yang ikut menyaksikan ke arah panggung kecil tersebut. Suaranya mengalun merdu, memasuki indra pendengarnya dan refleks membuat dia mengarahkan kepala ke arah sana.

Rafka seketika mengangkat kedua alisnya saat melihat rupa dari seseorang yang kini tengah menyanyi secara live itu. Figur yang tidak begitu asing, dia ingat pernah melihatnya di suatu tempat. Walaupun samar ia mencoba mengingat.

“Pelatih gue itu.”

Tiba-tiba dari arah samping, seorang Arsenio membuka suara. Rafka langsung menoleh ke arah kakak tingkatnya itu. Pandangannya mengarah lurus ke panggung kecil di sana. Lalu tak berapa lama kedua netra lelaki bernama lengkap Arsenio Hananta itu kini sudah melihat ke arahnya.

“Lo inget pas di CWAD kemaren gak raf? Yang di gazebo?” Tanya Arsen.

“Iya Bang gue inget, kenapa?”

“Waktu itu gue bawa undangan kan ke event kita? Iya itu dia, Bang Dean. Pelatih gue—temen latihan vokal sih lebih tepatnya ... Jago orangnya kalo masalah nyanyi nyanyi.” Jelas kakak tingkatnya tersebut.

Rafka membalasnya dengan membentuk mulutnya membulat dan mengangguk paham.

“Can't agree more. Emang enak banget sih suaranya.” Ujar Rafka jujur. Memang saat mendengarkan lagu tadi, dia memuji siapapun itu yang sedang bernyanyi di panggung sana.

Kini pramusaji cafe itu datang membawakan pesanan dalam jumlah besar tersebut. Para anggota UKM seni lantas menikmati hidangannya bersama-sama, diiringi oleh lagu yang masih tetap mengalun sebagai teman menghabiskan waktu malam itu.

Beberapa menit kemudian, saat satu persatu makanan yang tersisa pada piring tersisa sedikit. Seorang pemuda bersurai hitam menghampiri meja dekat dinding dan menyapa yang berkacamata.

“Sen, dateng lo?” Tanyanya pada Arsen.

“Haha iya Bang.” Jawabnya jenaka. “As always lo selalu keren.”

Lelaki di hadapannya itu tersenyum menanggapi. “Thanks.”

“Mau pulang lo?”

“Iya, jam gue udah selesai.” Lalu dia mengamati sekitarnya. Malam ini, seorang Arsenio tidak datang sendirian seperti biasanya. Sepertinya beberapa laki-laki dan perempuan itu merupakan teman satu organisasi pemuda yang dikenalnya baik itu. Karena yang diketahuinya, Arsen memang ikut dalam salah satu kegiatan mahasiswa di kampusnya. “Gue duluan ya kalo gitu?” Pamitnya kemudian.

“Iya Bang, hati-hati di jalan!”

Dean mengangguk. “Pesen lagi tuh kalo kurang.” Ujarnya sebagai candaan.

“Hahaha... Iyadah,”

Setelahnya, Dean beranjak dari sana menuju ke arah pintu masuk.


Setelah memakirkan motornya di tempat yang disediakan pihak cafe yang akan dikunjungi, Arga kemudian mematikan mesin motor dan turun dari kendaraan tersebut. Tungkainya dia arahkan mendekati seseorang di sampingnya dan kini mulai berjalan menuju ke pintu masuk cafe.

“Persis bocah ilang.” Komentar Arga sambil terus mengikuti seorang lelaki di depannya. Tetangga depan rumah yang tiba-tiba mengajaknya keluar di saat malam sudah hampir larut begini. Katanya ingin minum kopi.

“Yang penting bawa cuan.” Balas laki-laki itu.

Mereka bergantian masuk dengan Arga yang ada di belakang. Kakinya baru saja melangkah melewati pintu masuk dan kebetulan bertepatan dengan adanya orang lain dari arah sebaliknya ingin keluar dari cafe menggunakan bilik pintu sebelah. Seketika dirinya dibuat berhenti sejenak ketika hidungnya baru saja mencium sebuah aroma yang menguar. Arga berbalik badan untuk melihat seseorang yang ditemuinya baru saja. Namun suasana di depannya kosong tidak ada siapapun di sana.

“Ngapain lo di situ? Buruan masuk!” Seruan dari seseorang di depan sana membuyarkan prasangkanya. Arga masih akan mengingat bagaimana uapan dari parfum milik entah siapa itu tadi ketika memasuki indra penciumannya. Ia tidak mungkin salah mengenali parfum milik seseorang.

“Tapi emangnya yang bisa pake parfum tadi cuma satu orang?” Monolognya lirih pada udara. Digelengkannya kepala itu untuk tidak terlalu memikirkan kejadian baru saja.

“Kenapa lo geleng-geleng gitu?”

“Gakpapa, ayo!”

Kini mereka kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi dan mencari meja yang masih kosong untuk ditempati.

Ketika melewati pada sebuah formasi besar yang sepertinya memang sengaja dibuat karena terlihat di sana, ada beberapa orang duduk saling melingkar seperti tengah mengadakan suatu acara. Arga dapat melihatnya dengan jelas. Kalau Rafka duduk pada salah satu kursi itu dan pandangan keduanya sempat bertemu sekilas.

Dari peluang banyaknya tempat di luar sana, pertemuan itu ternyata mereka dapatkan di cafe ini tanpa sengaja. Apa jangan-jangan dunia memang berputar pada sekitaran Jakarta saja?

Arga menghela napasnya kasar. Kini pikirannya kembali terisi oleh satu nama yang kerap kali mengusiknya itu. Rafka dan kejadian sebelum mereka berjauhan antara satu sama lain nyatanya berhasil membuat Arga lagi-lagi diliputi oleh rasa tak karuan. Sebelah tangannya mengepal sebagai bentuk pelampiasan. Yang dilakukannya hanya terus memandangi si surai merah muda itu sampai dirinya kini sudah tiba di depan sebuah meja kosong. Arga duduk di sana.

Rafka jadi orang pertama yang memutus pandangan dan kini mengalihkan perhatiannya dengan mengobrol bersama teman-temannya.

Tatapan Arga sedikit melemah. Akhirnya ia mengalihkan arah pandangnya dan kini ikut memesan sebuah minuman serta makanan ringan seperti yang dilakukan laki-laki di depannya. Yoga lantas berjalan ke arah kasir dan menyerahkan selembar kertas pesanan di tangannya lalu membayar tagihan yang tertera.

Sembari menunggu pesanannya selesai, Arga mulai membuka kembali ponselnya dan menjelajah benda persegi panjang tersebut. Jemarinya tiba-tiba saja membuka sebuah aplikasi chatting dan berhenti pada sebuah ruang obrolan milik seseorang. Arga melirik ke arah pemilik kontak nama yang ada di seberang tempat sana lalu mengalihkannya ke arah ponselnya kembali. Terlihat beberapa pesan terakhir yang sempat mereka kirimkan satu sama lain sebelum ruang obrolan itu ditinggalkan selama berhari-hari.

Arga ingin mencoba memperbaiki. Namun sepertinya Rafka masih memilih tetap menghindari. Ah, dia jadi bingung sendiri. Akhirnya yang dilakukan si surai biru itu hanyalah mematikan layar ponselnya dan menyimpan benda itu di atas meja.

Sesampainya pesanan mereka diantar setelah menunggu selama beberapa menit, Arga mulai meneguk es kopi hitam pekat itu hingga menyisakan setengahnya.

“Buset, haus banget lo?” Tanya Yoga setelah melihat gelas milik Arga yang sudah berkurang banyak dari volume semula.

“Hm.” Jawabnya singkat.

“Santai Ga, gak usah buru-buru ... Baru juga nyampe sini...”

Di sisi lain, terlihat beberapa anggota UKM seni yang mulai berbenah-benah karena acara sudah usai. Beberapa di antaranya ada yang berdiri dan menghampiri sang ketua untuk berpamitan sebelum pergi dari sana. Ada juga yang masih memilih bertahan pada posisinya untuk tetap tinggal lebih lama menikmati malam hari itu.

“Balik yuk Ra!” Ajak Rafka karena merasa kalau agendanya sudah selesai sehingga tidak ada alasan lagi ia harus bertahan di tempat itu lebih lama. Lebih tepatnya, Rafka hanya sedang tidak ingin bertemu dan melihat lelaki bersurai biru yang juga sedang berada di tempat ini.

Ara mengangguk mengiyakan ajakan Rafka tersebut.

“Bang Arsen, gue sama Ara balik duluan ya?”

“Oh iya Raf, thanks ya udah dateng. Hati-hati pulangnya!”

“Iya Bang. Gue balik dulu.”

“Duluan Bang.” Ara ikut berpamitan pada pemuda Arsenio itu, lalu berjalan berdampingan di sebelah Rafka keluar dari cafe tempat janjian.

Sedangkan dari tempatnya duduk sekarang, Argantara sudah dibuat menggertakkan rahangnya saat melihat dua bayang yang dikenalnya itu terlihat makin dekat tiap kali ada kesempatan bersama.

'Cewek itu mulu perasaan...'

Arga kembali menyeruput sisa esnya sampai habis dan hanya menyisakan beberapa es kristal yang masih sedikit utuh sampai suara dari sedotan itu nyaring terdengar.

“Berisik anjir! Kalo udah habis yaudah kek biarin, atau lo pesen lagi sana! Jangan kayak gitu anjir malu-maluin aja lo! Diliatin orang noh!” Seru Yoga sedikit berbisik lalu diarahkan mata itu melirik ke sekitar.

Arga mengikuti arah pandang pemuda di hadapannya itu dan benar kalau pengunjung di samping mejanya kini tengah melihat ke arahnya. Baru setelah dilihat balik oleh dirinya, orang tadi sudah tidak lagi memandanginya.

Atas dorongan hati dan juga rasa keingintahuannya, sekali lagi Arga melihat ke arah tempat terakhir kali ia tadi melihat Rafka. Namun ternyata si surai merah muda sudah tidak berada di sana. Arga menghela nafas lelah dan kini punggungnya disandarkan pada kursi di belakangnya.

Tidak bisa hanya seperti ini terus. Mungkin, Arga akan menjadi orang pertama yang memilih meruntuhkan dinding pembatas di antara dirinya dan Rafka nantinya. Ia hanya butuh sedikit menenangkan pikirannya kini.


“Lo yakin mau ke club?” Tanya Ara sekali lagi ingin memastikan.

“Iya.” Singkat. Rafka kembali memfokuskan kedua matanya lurus pada arah jalanan di depannya. Tinggal satu belokan lagi dan tempat tujuannya akan terlihat tak jauh setelah itu.

Ara hanya bisa mengiyakan permintaan pemuda itu. Kalau Rafka sudah berkata satu hal dan membuatnya sulit untuk menolaknya, maka yang dilakukan gadis itu hanyalah menuruti apa keinginan si surai merah muda saja.

•••

Satu jam lebih terlewati, namun muda mudi itu masih betah tinggal di tempat tanpa ada sedikitpun niatan mau pergi.

Rafka mengangkat gelasnya, kemudian didekatkan pada milik gadis di sebelahnya hingga berbunyi tubrukan dua benda kaca yang cukup keras setelahnya.

“Jam berapa?” Tanya Rafka.

Ara menyalakan layar ponselnya sebentar untuk melihat jam yang tertera di sana. “Sebelas.”

“Lanjut~” Sebelah tangannya diangkat ke atas. Rafka lalu bangkit dari kursinya menuju area dansa. Dan otomatis Ara mengikutinya dari belakang.

Dua remaja itu lalu menghabiskan waktu bersama. Mereka tampak bersenang-senang, bahkan tak jarang kerap mengambil beberapa foto untuk disimpan pada ponsel.

Rafka jadi yang paling sering bolak balik menghampiri tempat bartender untuk meminum seteguk demi seteguk Martini pesanannya. Lalu setelah itu ia akan kembali lagi ke lantai dansa dan melanjutkan kegiatannya.

Cukup lama mereka menghabiskan waktu untuk berdansa, sampai ketika keseimbangan Rafka mulai sedikit goyah. Kakinya memang menapak pada lantai namun kerap kali terlihat seperti akan jatuh jika membiarkannya tetap seperti itu lebih lama lagi.

Ara menghampirinya dan memegang salah satu lengan sang lelaki. “Lo kalau gak kuat, kita pulang aja.”

“Enggak, bentar lagi...” Rafka masih kekeh ingin bertahan di club itu lebih lama. Tapi kesadarannya seperti tidak mau bekerja sama. Sekali lagi, tubuhnya linglung ke samping meski tangannya kini masih dipegang oleh Ara.

“Tuh, udah yok balik. Kapan kapan lagi kesini.”

“Tapi Ra...”

“Lo udah mabuk berat Rafka!”

Akhirnya Rafka mengalah. Dengan memegangi kepalanya yang kini mulai terasa sakit, ia berjalan tertatih dengan bantuan Ara memapah tubuhnya menuju ke mobil.

Saat sudah sampai di dalam mobil, yang dilakukan Rafka hanya mengistirahatkan tubuhnya bersandar pada kursi di belakangnya. Kepalanya terasa semakin berat dan kelopak matanya juga berkedut sakit.

“Tidur aja kalo lo gak kuat.”

Rafka mengalah pada rasa sakitnya. Akhirnya ia memilih mengistirahatkan tubuhnya selagi teman gadisnya itu menyetir mobil miliknya dan mengantarnya pulang.


Arga bergerak gelisah di atas motornya. Entah ini pilihan yang tepat atau bukan dirinya menunggu di depan apartemen tempat Rafka tinggal pada malam yang sangat larut begini.

Setelah melihat lihat beranda twitternya, ada satu postingan lewat yang membuatnya berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel itu. Arga memastikan pemilik akun tersebut adalah seseorang yang dikenalnya cukup baik hingga sekarang. Sebuah akun berinisial R yang memperlihatkan foto suasana di tengah ramainya tempat yang terlihat seperti club malam.

'Ngapain dia ke sana?!' Batinnya.

Arga tidak berpikir dua kali saat tiba-tiba saja dirinya beranjak duluan dan pergi meninggalkan Yoga sendirian di cafe itu. Namun saat helm sudah dipakainya melindungi kepala, Arga baru tersadar ia tidak tahu di mana lokasi tempat tersebut berada.

“Bego kan lo! Lo aja gak tau persis itu club mana, sok sok mau nyamperin lagi!” Monolognya sendirian masih dengan Miko yang belum sempat dia nyalakan.

Akhirnya Arga kembali masuk ke dalam dan melangkah ke tempat semula.

“Kok lo balik lagi?” Tanya Yoga merasa bingung mendapati lelaki di hadapannya yang sesaat lalu berpamitan dan terburu meninggalkan kursinya, kini dapat dilihatnya lagi menempati kursi tersebut.

“Lo tau ini di mana gak?” Arga mengabaikan pertanyaan dari Yoga dan malah melayangkan sebuah tanya pada tetangganya itu. Ia langsung menyodorkan layar ponselnya sesampainya tiba di sana.

Yoga mengamati foto yang diperlihatkan Arga. Dia tidak mengetahui tentang club atau apapun itu. “Mana gue tau...?” Saat masih memikirkan kemungkinan di mana tempat semacam itu berada, ia tersadar satu hal. “—Ngapain lo ke club hah?! Lo mau mabok-mabokan?!” Yoga memicing ke arah lelaki di depannya dan menduga yang tidak-tidak.

“Temen,” Arga mengarahkan arah pandangnya turun melihat meja di depannya saat teringat akan Rafka dan situasi yang terjadi di antara mereka berdua. “Temen gue ada di sana ... gue mau jemput ... “

Untuk kesekian kalinya lagi, Arga mengerang tidak karuan. Cukup lama waktu yang sudah dilaluinya menunggu di luar gedung apartemen tersebut. Dia khawatir pada lelaki yang tinggal di lantai 23 pada bangunan di depannya. Mau menyusul ke tempat di mana Rafka berada, tapi ia tidak mungkin harus mengunjungi satu per satu club di Jakarta kan?

Ponselnya sama sekali tidak membantu. Arga berulang kali dibuat mengumpat karenanya. Kalau ia tidak ingat masih membutuhkan benda tersebut, sudah dibantingnya persegi panjang elektronik itu ke jalanan di depannya. Arga butuh pelampiasan, dan yang dilakukannya sebagai ganti adalah memukul jok motornya keras-keras. Dia kesal setengah mati, tapi Rafka sama sekali tidak bisa dihubungi. Lalu Arga harus apa?

Akhirnya setelah berpikir harus melakukan apa selain mondar mandir tidak jelas di sekitar motornya, ia memilih masuk ke dalam. Memarkirkan motornya di basement lalu berjalan ingin menuju lobby.

Arga baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama, ketika dari arah depan datanglah sebuah mobil berwarna putih yang terlihat tidak asing. Matanya menyipit karena diterpa sorot cahaya mobil tersebut ketika melewati ke arahnya. Saat sudah berlalu dan terlihat bagian belakangnya, Arga baru bisa melihat plat nomornya dengan jelas. Nomor plat mobil milik Rafka.

Tanpa berpikir dua kali, Arga mengejar mobil itu dari belakang. Dia mengikuti mobil Rafka sampai berhenti di area basement.

Arga menghela nafasnya lelah dan mulai berjalan perlahan menghampiri ke depan sana. Baru saja dapat beberapa langkah, Arga harus dibuat berhenti ketika melihat Rafka dibantu oleh seorang gadis turun dari mobil itu. Air mukanya datar saat melihatnya.

“Cih.”

Panas.

Area basement memang panas. Tapi malam ini sepertinya suhunya jauh lebih panas daripada biasanya.

Kakinya tanpa sadar melangkah mendekat tanpa diperintah. Dengan tergesa Arga memindahkan lengan Rafka melingkar memeluk lehernya, membuat gadis yang ada di sana terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Arga?!” Ara terkesiap dengan kehadiran baru di sekitarnya. Lelaki yang baru saja tiba itu menginterupsi apa yang sedang dilakukannya dengan sedikit paksa. Dan itu membuatnya sedikit tidak suka. “Lo apa-apaan sih?! Dateng dateng main langsung rebut aja!”

Arga perhatikan gadis berambut panjang itu. “Biar gue aja. Lo cewek, gue yakin lo gak akan sanggup bawa Rafka nyampe ke atas.” Sergapnya tanpa mengiharukan keterkejutan gadis tersebut. Arga hanya mengunci fokusnya pada seorang pemuda dalam rengkuhannya. Rafka sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda akan bangun. Dan Arga tidak bisa membiarkan gadis bernama Ara itu membantu Rafka menuju ke unit apartemennya dengan cara seperti tadi.

“Jangan mentang-mentang gue cewek dan lo bisa ngeremehin gue kayak gitu...” Ujar sang gadis yang emosinya kini mulai sedikit terpancing karena seorang Argantara. Ara berdecih pada lelaki itu. “Lo pikir Rafka jadi gini juga karena siapa? Karena lo! Asal lo tau itu!” Telunjuknya mengarah tepat di hadapan wajah Arga. “Masih berani lo nemuin Rafka setelah apa yang udah lo lakuin ke dia? Hah? Lo gak malu, apa?”

Arga menggertakkan gigi-giginya ketika mendengar perkataan sang gadis. Dia ingin marah, namun seketika tersadar kalau bisa saja emosinya hanya akan memperburuk keadaan. “Makannya gue mau memperbaiki semuanya sekarang ... Gue, mau minta maaf sama Rafka kalo misalnya gue punya salah. Gue gak tau salah gue di mana kalo dia terus-terusan ngehindar dari gue kayak gini!”

Ara menghela napasnya kasar. “Ternyata lo emang cowok ter-enggak peka yang pernah gue temui. Pantes Rafka ngehindar.” Ujarnya dengan perasaan kesal, padahal bukan dia sendiri yang mengalaminya. “Serahin Rafka sama gue! Gue bisa jaga dia lebih baik daripada lo!”

Ara ingin merebut kembali kuasa tubuh Rafka, namun Arga berhasil menghalangi gadis itu dan mempertahankan raga sang pemuda tetap berada pada rengkuhannya.

“Lo sendiri? Masih punya malu gak?”

“Maksud lo?” Tanya Ara balik karena pertanyaan tidak jelas dari Arga.

“Nganterin cowok lagi mabuk ke apartnya berdua doang ... Lo pikir bakal lebih dicuragi mana antara cewek yang nganter, atau cowok yang nganter?” Ujar Arga dengan raut muka yang terlihat serius. “Ini udah tengah malem. Kalo lo masih punya rasa malu sebagai cewek, mending lo pulang sekarang. Lo gak mau di cap aneh-aneh sama orang lain kan?”

“Tapi gue mau mastiin Rafka nyampe ke apartnya dalam keadaan baik-baik aja!”

Arga menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. Samar tersenyum sinis. “Lo gak usah khawatir. Karena gue pasti bakal ngejaga Rafka dengan baik.”

Arga memindahkan posisi Rafka yang kini menjadi digendongnya semacam bridal. Tak lupa memastikan Rafka merasa nyaman dalam gendongannya.

“Makasih udah nganterin dia balik. Lo... hati-hati di jalan.”

Arga meninggalkan satu-satunya gadis di sana yang kini wajahnya berubah menjadi sedikit merah. Antara kesal dan pasrah, akhirnya Ara ikut meninggalkan area basement tak lama setelahnya.