Naraversal


Rafka pikir hari ini akan menjadi hari yang sempurna untuknya. Dia bahkan telah menyiapkan dari kemarin hari untuk hari ini.

Pria mungil itu bahkan sudah membuat daftar hal-hal yang akan dia lakukan hari ini. Menjemput orangtuanya bersama Arga─orang yang dia cintai.

Rafka sangat senang tentu saja─awalnya, siapa sih yang tidak senang ketika kedua orangtua mu yang tidak lama berjumpa akan pulang? Tentu saja pasti kita sangat amat merindukannya kan?

Orangtuanya selama ini sibuk bahkan sudah hampir satu tahun mereka tidak bertemu, walau dibeberapa kesempatan tertentu mereka akan mengabari Rafka dan menanyakan kabarnya Rafka tak sabar dengan hal itu.

Tapi semua harapan itu harus pupus ketika sebuah bubble chat dari mamanya yang menunjukkan bahwa mereka tidak bisa pulang karena ada urusan kantor yang mendadak harus diurus.

Rafka marah, tentu saja. Selama ini dia selalu mengharapkan keluarganya selalu berkumpul bersama dan ketika papa dan mamanya bilang akan pulang Rafka kelewat senang tapi hari ini mereka membuatnya kecewa, lagi.

Pesan dari sang mama tak ia balas, ia kelewat marah dan memutuskan keluar dari apartemen setelah mengirim pesan pada Arga bahwa hari ini rencana mereka tidak jadi.

Rafka mengambil kunci yang berada di atas nakas, dan turun ke parkiran lalu membuka pintu mobil dan masuk kesana serta menyalakan mesin. Rafka hanya butuh udara segar, dia pergi untuk mengalihkan amarahnya dan juga kesedihannya.

Rafka butuh waktu sendiri, sekarang.


Berakhirlah Rafka disini, ditengah keramaian pasar malam. Suasananya ramai, ini akan membantunya mengalihkan pikirannya untuk sesaat.

Matanya menjelajahi setiap sudut wahana, ingatannya kembali pada masa kecilnya, Rafka rindu jadinya.

Saat sedang menikmati suasana handphonenya berdering tanda panggilan masuk. Ternyata itu Arga, alis Rafka mengkerut untuk apa Arga meneleponnya, bukankah dia sudah mengabari bahwa hari ini tidak jadi? Tapi segera saja ia angkat telepon tersebut.

“Halo?”

“Lo dimana?” suara lelaki berkelahiran Agustus itu terdengar panik di seberang sana.

“Kan udah gue bilang gak perlu disusul”

“Tapi tanya dulu, lo dimana?”

“Mau ngapain emangnya? Ujung-ujungnya pasti lo susul juga kan?” Rafka sudah tahu tabiat Argantara, bahkan jika dia melarang pemuda itu pasti akan mencarinya hingga ketemu.

“Engga, tapi gue perlu tahu lo dimana Ravian. Gue cuma mau memastikan lo baik-baik aja”ucap Arga terdengar meyakinkan

“Gue lagi dipasar malem di deket apart”jawab Rafka pada akhirnya.

“Sharelock”

“Kan udah gue bilang lagi pengen sendiri, Natrasani!!!”

“Iya gue tau Ravian Rafka. Gue cuma pengen tau lo dimana gituloh”

Rafka merotasikan matanya malas mendengar nada bicara Arga. Sudah dia duga, lelaki ini tidak akan menyerah begitu saja.

“Iya iya entar gue sharelock. Tapi jangan nyusul.“pinta Rafka yang segera diiyakan oleh Arga.

Rafka memutus sambungan teleponnya dan mengirim lokasinya kepada Arga. Setelah selesai mengirim lokasinya, Rafka kembali menyimpan handphonenya disaku jaket yang dia kenakan malam ini.

Rafka memilih duduk disalah satu cafe outdoor disana. Setidaknya seperti ini lebih tenang bagi pria berkelahiran Maret itu.

Rafka memejamkan matanya dan memilih menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya sebelum sebuah panggilan memasuki indra pendengarnya-

“Kak...”

Rafka sontak membuka matanya dan mendapati seorang anak lelaki kecil berada dihadapannya.

“Loh? Kenapa dek?”

“Liat mama acha gak? Tadi disini, trus acha disuruh tungguin soalnya mau beli es krim. Tapi sekarang gak ada”

“Nama kamu acha?“tanya Rafka pada anak yang dia perkirakan berusia ¾ tahun itu

“Rasya. Tapi mama sering manggil acha”

“Oke, Rasya nama kakak Rafka. Kamu tau alamat rumah kamu dimana?”

Anak kecil bernama Rasya itu menggeleng, lalu berkata “Acha dari tempat yang jauh dari sini, tapi mama bilang mau bawa jalan-jalan makanya kesini. Tapi sekarang mama hilang.“ucap anak malang itu.

Rafka mulai merasa ada yang aneh. “Mama kamu udah lama perginya?” tanya Rafka yang dijawab anggukan oleh Rasya

Jika ibu dari anak ini sadar anaknya hilang, bukankah daritadi pihak pusat informasi sudah mengumumkan pemberitahuan? Oh tolong jangan bilang bahwa orangtuanya membuang anak selucu ini?

“Kakak, sekolah dimana? Gak dicariin yah sama mamanya? Kalau anak-anak katanya gak boleh keluar malam-malam sendiri”ucap Rasya tiba-tiba membuat rahang Rafka jatuh.

Anak-anak? Dia?

“Haha gak dicariin kok. Kakak udah besar, sekarang tinggal sendiri”ucap pemuda mungil itu menjelaskan. “Gak tinggal sama mamanya?”

Rafka menggeleng.

“Yah sedih banget”ucap anak kecil itu membuat Rafka memandangnya sedih. Setidaknya dia masih tahu dimana orangtuanya berada. Tapi anak kecil ini? Orangtuanya bahkan tega meninggalkannya ditempat ramai seperti ini.

“Raf?” panggilan itu membuat Rafka berbalik kearah asal suara.

Itu Arga. Sudah Rafka bilang bukan? Lelaki ini tidak bisa dipercaya?

“Anak siapa?“bisik Arga dan duduk dikursi yang ada disamping Rafka. Rafka menggeleng pertanda tidak tahu.

“Om temennya kak Rafka ya?“celetuk Rasya membuat kedua orang dewasa itu menatapnya dengan reaksi yang berbeda.

Arga yang tidak percaya apa yang didengarnya dan Rafka yang bisa kapan saja menyemburkan tawanya.

“O-om?”

“Eum bener banget~ Namanya Om Arga. Panggil aja begitu”ujar Rafka menambah kerutan diwajah sang Argantara.

“Raf? Jangan diajarin kek gitu ngomongnya~ Panggil kak, kak Arga”protes Arga membuat Rafka tidak sanggup lagi menahan tawanya.

Malam itu, seharusnya Rafka sendiri. Rafka yang awalnya sedih dan kecewa perlahan melupakan semuanya karena kehadiran dua orang yang tidak dia sangka akan datang menghiburnya secara tidak sengaja. Malam itu, Rafka kembali merasa dia tidak sendiri.

Rafka punya orang-orang yang menyayanginya.


Jam telah menunjukkan pukul lima sore dimana hari telah beranjak petang. Rafka yang tadinya sibuk berkutat di kampus untuk menyelesaikan mata kuliah dan beberapa kegiatan pun memutuskan untuk beranjak pulang.

Rafka dengan menaiki mobilnya menyusuri jalan menuju apartemenennya sembari melihat jalanan yang cukup padat akibat dari banyaknya pedagang yang mulai membuka lapak di pinggir jalan.

Sesampainya Rafka didepan unit apartemennya Rafka mulai memasukkan pin apartemennya.

Saat pertama kali masuk yang pertama kali Rafka lihat adalah sosok lelaki manis yang duduk disofa dan melempar senyum kepadanya. Rafka terkejut tentu saja, lelaki itu adalah Wira─sepupunya.

“Lah lo kapan dateng?” Rafka langsung mengarah pada Wira yang sedang duduk disofa “Udah dari jam 3 tadi gue disini ternyata lo belum pulang, sini peluk kasih gue pelukan”

Rafka pun segera masuk ke pelukan Wira, sejujurnya dia sangat rindu dengan sepupunya ini.

“Lo sebulan gak nengokin gue koh, dateng-dateng malah gak ngabarin. Lo pikir gue nih apaan hah?!“omel Rafka membuat Wira menyemburkan tawanya mendengar ucapannya.

“Koh lo disini mau nginep apa langsung pulang?”tanya Rafka.

“Tega banget masa gue baru dateng udah ditanyain kapan pulang? Nggak suka banget lo gue kesini?”ucap Wira dengan wajah memelas yang dibuat-buat.

“Ish bukan gitu koh, aduhh jadi salah ngomong. Gue seneng kok lo disini cuma memastikan aja sih pulang apa enggak”ucap Rafka. Wira tersenyum mendengar ucapan sepupunya itu. Dia tahu Rafka merasa kesepian, tapi mau bagaimana lagi. Dia sudah mendapat pekerjaan tetap, jadi agak susah jika ingin rutin mengunjungi Rafka.


Mereka berdua baru saja selesai makan dan duduk menonton tv berdua.

“Eh gue tadi ngecek lemari makanan lo, tumben banget ada bahan makanan, dan lagi sayuran??“tanya Wira begitu mengingat hal yang membuatnya begitu penasaran daritadi.

“Kemarin gue habis masak bareng temen, terus sebelum masak kita belanja tapi karena yah belanjanya bareng nyokap temen gue. Lo tau lah yah gimana.”Wira mengangguk menanggapi apa yang diucapkan oleh Rafka. Terbesit ucapan syukur dalam hati wira bahwa Rafka punya teman yang baik dan juga Bunda temannya yang memperhatikan Rafka.

“Nama temen lo siapa?”

Pertanyaan Wira membuat Rafka terkejut. Biasanya dia tidak menanyakan pertanyaan seperti ini, tapi dengan tenang Rafka menjawab pertanyaan yang diberikan Wira. “Arga”

Wira terlihat berpikir sebentar saat merasa nama itu tidak asing ditelinganya.

“Arga..? Ah temen baru lo itu?”

“Heh? Kok tau?” Rafka semakin terkejut, pasalnya dia belum bercerita apapun mengenai Arga pada sepupunya ini.

“Tau lah, lo pikir gue gak ngawasin sosmed lo? Crush lo kan? Yang bikin lo sampai minum terus-terusan, sok-sokan mewek lagi. Alay” Perkataan Wira itu memang singkat, padat, jelas, dan tentu saja langsung masuk dihati.

“Tega amat sama adek sendiri”

“Emang bener kan? Gue udah lama penasaran dia tuh sehebat apa sampai bikin lo, seorang Ravian Rafka Malverino bisa sebegitunya cuman karena ngerasain one-sided feeling.“ucap Wira begitu penasaran.

'Lo gak tau aja sehebat apa si Argantara, koh' Rafka berkata dalam hati. Dia tidak sebodoh itu untuk mengatakannya secara langsung jika tidak ingin diejek selama beberapa tahun kedepan.

“Heh, kok diem?”

“Ish, ngapain juga sih nanya-nanya masalah itu. Tanyain kek hal lain gitu, gue ngapain beberapa hari ini atau apa gitu” Rafka memasang wajah cemberutnya

“Iya deh iya deh. Suka banget lo ngalihin pembicaraan emang”ucap Wira sembari bersandar pada sandaran kursi.

Keduanya diam sejenak. Wira mencoba memberi ruang bagi Rafka agar tidak terkesan memaksa.

Saat ini Wira hanya ingin membangun obrolan yang santai dan tidak menyudutkan. Jadi untuk pembahasan tentang patah hati rafka dan tentang Arga nanti saja dibahasnya.

Toh Wira yakin, Rafka akan menceritakannya sendiri jika dia siap. Rafka itu tipe yang tidak bisa menyimpan segalanya sendiri. Setidaknya itu yang dia tahu.

“Oh iya Tante Cindy sama Om Yoga katanya kangen banget sama lo. Udah beberapa hari lo gak hubungin mereka?”

“Mana ada mereka kangen sama gue? Kalau kangen mah yaudah pulang terus anaknya ditengokin”

Wira menggelengkan kepalanya dan memukul lengan Rafka pelan karena berbicara seperti itu.

“Orangtua lo itu astaga. Dan lagi denger dulu gue belum selesai bicara, mereka rencananya mau pulang tapi nggak tahu mau kapannya pokoknya secepatnya”

Rafka yang mendengarnya kembali berpikir tentang orang tuanya.

“Oh mau pulang” jawab Rafka seadanya itu membuat Wira menaikan alisnya. “Lo gitu amat responnya? Tadi lo sendiri yang bilang pengen mereka pulang”

“Mau gimana emang ? Harus sambil teriak YEAYY MAMA PAPA GUE PULANG, gitu?“ucap Rafka sarkas, Wira menjadi semakin bingung dibuatnya

“Udah sering kali mereka berdua bilang mau pulang tapi pasti nggak jadi terus. Mereka pikir gue masih anak-anak? Yang kalau dijanjiin sesuatu gitu dan dikecewain bakalan mikir gak apa-apa? Haha lucu banget gue selalu dibuat seneng sebentar terus kecewa lagi” Dan cukup, Rafka sudah tidak bisa menahan cairan yang saat ini mengalir dipipinya. Dia sudah tidak bisa membendung kesedihannya.

“Gue capek, gue kangen sama mereka tapi mereka nggak pernah hadir. Gue tahu mereka sibuk dan selalu usahain buat hubungin gue. Tapi, gue pengen banget mereka ada disini. Disamping gue, nggak harus setiap hari kok gue cuma AKH! Gue kangen mereka─hik─Gue beneran kangen.”

Rafka menangis keras dan mengeluarkan semua yang sudah dia tahan. Wira langsung memeluk Rafka membawa Rafka pada pelukan hangatnya. Wira juga sedih dia merasa ikut menyakiti Rafka.


Suasana menjadi sunyi dengan hebusan angin malam yang dingin dilar seolah menyetujui akan perasaan Rafka saat ini.

Rafka yang berhenti menangis mulai melepas pelukan mereka berdua. Rafka duduk dengan mengelap air mata yang berada di pipi. Wira segera memberikan air putih di dekat nakas pada Rafka.

“Nih, lo minum air dulu” Rafka mengambil air tersebut dan meninumnya. “Thanks, koh udah mau dengerin gue, lo tahu kan, cuma sama lo gue beneran bisa ngeluarin semuanya”ucap Rafka sembari menatap Wira dan menyunggingkan senyum tanda dia sudah baik-baik saja.

“Gue disini buat jagain lo dan jadi tempat buat lo bersandar. Jadi jangan ragu buat cerita ke gue ya anytime lo bisa telfon kokoh buat cerita okay, sini peluk lagi terus lo tidur gih”

Rafka pun mengangguk dan kembali merengkuh sepupunya didalam pelukan hangat. Rafka merasa kembali.


Sesampainya mereka dirumah Arga. Bunda langsung berjalan menuju arah meja makan yang langsung terhubung dengan dapur, diikuti Arga dan Rafka yang langsung menaruh belanjaan.

Perempuan setengah baya itu melihat kedua pemuda yang sedari tadi hanya diam menatap kearahnya. “Gimana kita langsung masak aja? Arga bantuin bunda ya”ujar perempuan tersebut.

“Baik bunda sip”

Keduanya mengeluarkan barang belanjaan yang tadi dibeli. “Mau masak apa bunda?” tanya Arga.

“Kita kan beli pasta ya, mau bikin pasta aja?”

“Yaudah bun”

“Rafka mau pasta yang kayak gimana?“tanya bunda. Rafka terdiam, otak dia tidak memproses apapun pikiran dia teralihkan, dia teringat akan sesuatu.

“Bunda, Rafka mau pasta carbonara boleh?”

“Boleh dong sayang, Arga kita punya susu sama keju kan?”

“Punya”

Selanjutnya mereka dibagi tugas. Bunda yang akan memasak, Arga bagian memotong daging dan karena berhubung Rafka tidak terlalu mengerti masalah dapur dia kebagian untuk membereskan meja yang akan dipakai untuk makan.

Ketiganya mengerjakan pekerjaan masing-masing dengan serius, atau terkadang bunda akan menanyakan keadaan Rafka sehari-harinya bagaimana.

“Rafka imut, nanti kalau capek istirahat aja. Kamu pasti capek kan kuliah seharian? Nanti biar Arga aja yang ngerjain itu”ucap sang Bunda membuat protesan keluar dari mulut Arga

“Yang anak bunda siapa?” ucap Arga dengan nada cemburu. Rafka tertawa lalu ia beranjak dan berjalan kearah bunda berada.

“Rafka juga anak bunda sekarang” membalas ucapan Arga lalu Arga duduk dan langsung memotong daging dengan sedikit keras.

Rafka terdiam melihat interaksi ibu dan anak didepannya. Ah dia jadi merindukan mamanya.

Arga yang menyadari keterdiaman Rafka langsung menoleh kearah lelaki itu. Dia terlihat sedikit sedih, Arga tidak tahu kenapa tapi Rafka sepertinya memikirkan sesuatu hal.

Arga mengambil handphonenya dan melihat Rafka sepertinya sedang asik bermain Twitter. Dia tertawa melihat salah satu cuitan Rafka.

Lelaki itu ternyata merasa tidak enak karena tidak membantu begitu banyak? Imut sekali.

Arga berpikir untuk membalas cuitan Rafka dan mengajaknya bergabung.

Rafka melihat notifikasinya, itu dari Arga. Lelaki bersurai coklat itu langsung menoleh kearah Arga yang juga menatapnya.

Pipi Rafka memerah lucu. Bukan─bukan karena apa-apa tapi karena panggilan dari Arga untuknya di Twitter. Sebenarnya Rafka tidak berbohong, beberapa kali Arga sering memanggilnya dengan panggilan itu. Tapi tetap saja dia tidak bisa terbiasa dengan itu.

“Raf, sini deh entar”panggil Arga membuat Rafka langsung menghampirinya dan memandangnya dengan tanya.

“Bun, nih dia mau diajarin masak”ucap Arga yang dihadiahi cubitan pelan ditangannya oleh Rafka

“Oh Rafka mau masak? Sini sama bunda”

“Tapi Rafka gak pinter masak”

“Ya emang lo pinternya apaan sih?“celoteh Arga membuat sang Bunda menegurnya.

“Biarin aja anak itu, Rafka kamu pernah masak belum?”ucap wanita paruh baya itu dan menarik Rafka mendekat kearahnya.

“Pernah, tapi gagal hehe” Rafka tak bohong kok dia memang pernah memasak walau hanya sebatas mie instan saja, itu termasuk memasak kan ya.

“Sini coba deketan” Rafka berjalan sedikit untuk bisa dekat dengan perempuan tersebut. “Coba kamu bolak balikin pastanya biar nanti bunda mau tambahin susu sama keju”

Rafka mencoba untuk membolak-balikkan pasta tersebut, tangan dia kaku tapi seberusaha mungkin agar pasta tersebut tidak berjatuhan dari wajan.

“Nah bener kayak gitu kamu bisa kok, Rafka” bunda mengelus rambut Rafka. Ada rasa bergetar di dalam hati Rafka ketika bunda mengelus kepalanya lembut, dia ingin menangis dan memeluk perempuan itu tapi yang dilakukan dia hanya tersenyum.

“Kalian jangan mesra-mesraan tanpa Arga dong” suara Arga menghentikan kegiatan mereka berdua.

“Kamu motongnya udah belum?”tanya bunda.

“Udah, Arga gitu loh” mendengar jawaban itu Rafka menatapnya sinis dan Arga kembali tertawa.

“Itu digoreng ya Ga”

“Iya iya bunda cantik~”

Ketiganya memasak bersama, terkadang Arga akan mengeluarkan candaan walau kadang disebut aneh oleh bunda dan Rafka tertawa melihat keduanya interaksi. Dia jadi rindu suasana rumah seperti ini.

“Udah jadi”

Mereka bertiga selesai menata meja makan, dan kini hanya tinggal menunggu ayah Arga yang baru saja kembali dari luar kota.


Kegiatan makan sedari tadi sudah selesai, bunda sedang menyuci piring. Rafka tadi bilang ingin membantunya tapi ditolak oleh perempuan itu katanya tidak apa-apa biar bunda saja.

Sekarang Rafka sedang melihat foto-foto yang memperlihatkan masa kecil pemuda Argantara tersebut. Ada foto dari ia bayi, batita, balita sampai dewasa. Mukanya tidak berubah apalagi senyum diwajahnya tidak sedikitpun berubah dari lelaki itu. Senyuman itu masih sama, masih membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat.

Rafka mengambil sebuah foto masa kecil Arga, dengan senyuman, sepertinya itu foto wisuda. Manis, dia tatap foto tersebut sampai tidak menyadari jika sedari tadi Arga menatapnya.

“Hoh”

Rafka terkejut ketika ada suara lain dipendengarannya, dia bisa melihat Arga sedang tersenyum melihatnya. “Serius amat lagi liat apaan sih?”

“Mata lo buta ya Ga?”

“Basa basi” Rafka memutar matanya malas. “Eh gue disana cakep banget ya”

“Iya, lo cakep banget”

Deg

Keduanya terdiam, muka Arga memanas dia tau jika lelaki disampingnya itu menyukainya tapi kenapa di puja seperti itu dia malah salah tingkah.

'Kayaknya ada yang salah sama gue'

“Gue dari dulu pengen banget punya adek. Lo lucu sih waktu kecil, pengen jadi adek gue gak?“tanya Rafka menimbulkan tawa pada Arga.

Rafka menatap yang lebih tinggi bingung, apa yang lucu dari perkataannya?

“Lo mau jadi kakak gue? Kakak adekan nih kita? Serius?“tanya Arga jahil dan mendekatkan dirinya pada Rafka membuat lelaki itu salah tingkah.

“Y─ya emang lo gak mau?”

“Kalau lo mau sih terserah, tapi emang ada adek kakak manggil sayang-sayangan? Hm?“tanya Arga membuat Rafka menatap ke arahnya dengan wajah memerah.

Tanpa berkata apapun, Rafka pergi dari sana dan menuju ke arah bunda. Tentu saja agar Arga tidak menggodanya seperti tadi.

Arga tertawa gemas melihat tingkah Rafka. Saat tertawa, ponselnya berbunyi, notifikasi dari Rafka.

'Kalau jadian mau gak?'

Arga mematung membaca itu. Jadian? Berpacaran? Arga jadi mengingat saat dirinya berada dirumah Rafka dan mengajak lelaki mungil itu berpacaran dengannya begitu saja.

Arga tahu jelas alasan Rafka menolaknya. Rafka tidak yakin pada dirinya. Dan Arga jelas maklum akan hal itu. Dirinya sendiri pun bahkan belum yakin tentang perasaan apa yang dia miliki pada lelaki berkelahiran Maret itu, bagaimana bisa Rafka bisa yakin?

Baru selesai membalas tweetan Rafka. Arga melihat Rafka yang terburu-buru pamit ke bundanya. Dan berjalan kearahnya dengan canggung dan pipi memerah.

'Haha gemes banget. Salting anaknya'

“Kenapa?”

“G-gue balik duluan ya Ga” Rafka pun salah tingkah. Ia buru-buru pergi dari situasi canggung seperti ini. “Pamitan dulu sama bunda”

“Udah, thanks ya Ga udah merhatiin kondisi makan gue dan dibeliin, makasih juga udah ajak gue masak bareng”

“Santai Raf. Hati-hati, sayang”untuk yang terakhir Arga sedikit mengecilkan suaranya. Tapi Rafka tentu saja masih bisa mendengar.

“Ish! Dahlah, gue pulang dulu”kesal Rafka membuat tawa Argantara pecah.

“Hahaha iya, hati-hati”

“Heum”


Rafka sampai di apartemennya dengan membawa kantong berisi belanjaan yang tadi bunda belikan untuknya katanya buat persediaan dirumah.

Ia bawa kakinya ke arah kulkas lalu menyusun semua bahan makanan yang sudah Bunda Sekar pilihkan untuknya. Sembari mengisi kulkas dan lemarinya, Rafka jadi memikirkan orangtuanya.

Tidak. Tidak seperti yang kalian pikirkan, hubungan Rafka dan orangtuanya baik. Orangtuanya sering mengabari Rafka.

Hanya saja mereka terlalu sibuk. Mereka berdua beberapa kali mengajak Rafka untuk ikut pindah ke Singapura karena sudah tahu bahwa mereka akan jarang pulang.

Tetapi Rafka yang menolak. Dia suka di Jakarta. Dan itu sudah cukup menjadi alasannya.

Terkadang Rafka merasa dirinya egois. Tapi apakah salah jika seorang anak hanya ingin melihat orangtuanya rutin pulang? Hanya itu yang Rafka inginkan, apalagi setelah merasakan kehangatan dirumah Arga tadi. Rafka menjadi semakin iri, dia juga ingin bersama mama dan papanya.

Duduk bertiga dimeja makan dan saling bercanda. Apa itu salah?

“Rafka kangen.. Rindu masakan mama, rindu jahilin papa... Cepet pulang”


Arga melihat kearah Rafka yang duduk disampingnya tengah fokus pada penkelasan dosen didepan saat dia baru saja menerima pesan dari Bundanya.

Arga pernah mengajak Rafka untuk pergi kerumahnya dan makan malam bersama karena permintaan bunda.

Tapi seringkali Rafka menolak dengan berbagai macam alasan. Dan Arga rasa sekarang adalah waktu yang pas. Dia akan memastikan Rafka ikut dengannya kali ini.

“Rafka, bunda minta tolong ditemenin belanja. Lo mau ikut?”

Rafka menoleh kearah Arga dengan alis yang dinaikkan pertanda bingung “Kenapa ngajak gue?” tanya pemuda bersurai coklat itu.

“Pengen aja. Terus inget gak yang gue pernah ngajak lo kerumah waktu lo sakit tapi ditolak? Bunda pengen banget lo makan bareng dirumah. Lagian juga lo gak mau beli apa gitu makanan kek?“ucap Arga dengan ekspresi memohon membuat sudut bibir sang putra Malverino terangkat sedikit.

“Haha iya. Gue entar ikut” Jawaban Rafka membuat Arga kegirangan hingga membuatnya ditegur oleh dosen karena suara yang dia buat. Arga langsung meminta maaf dan kembali mendengar penjelasan sang dosen.


Arga dan Rafka langsung berangkat ke supermarket dimana sang Bunda berbelanja. Mereka berdua beragkat dengan kendaraan masing-masing, awalnya Arga menawari untuk satu kali jalan saja. Tetapi ditolak oleh Rafka.

Setelah menempuh kurang lebih 25 menit perjalanan sesampainya mereka di supermarket Rafka dapat melihat Bunda Sekar berdiri didepan dan melambai ke arah Arga yang baru saja melepas helmnya.

Bunda menyuruh mereka berdua untuk segera mengambil troli belanjaan dan mengikuti sang Bunda.

Saat sudah berada didalam supermarket, Rafka memisahkan diri karena ingin mencari beberapa hal yang dia memang ingin beli.

Bunda Sekar hanya mengangguk dan pergi menarik Arga untuk ikut dengannya sedangkan Rafka menuju ke rak makanan sendiri.

Rafka tersenyum senang saat berhasil menemukan lokasi mie instan yang sudah dia incar sedari tadi. Rafka sebenarnya sengaja ingin memisahkan diri. Apalagi dari Arga, lelaki yang baru saja mewarnai rambutnya kembali dengan warna hitam itu pasti akan mengomel jika tahu dia membeli banyak mie.

Rafka sibuk mengambil beberapa varian dari mie instan kesukaannya. Dia bahkan tak segan-segan mengambil banyak.

Setelah selesai di bagian mie, Rafka mendorong trolinya dan berjalan dimana snack berada. Oh Rafka, sungguh bukan hanya Arga yang akan mengomeli mu tapi juga Wira.

Saat sedang sibuk memilih-milih snack yang akan dia bawa, Rafka tidak sadar bahwa Arga sudah berada dibelakangnya.

Pemuda berkelahiran Agustus itu menggelengkan kepalanya. Dia sudah tahu ini akan terjadi apalagi setelah melihat cuitan Rafka di Twitter.

“Ekhem” Arga berdehem membuat pergerakan Rafka terhenti.

'Mampus, Rafka'

“Oh haha... lo udah belanjanya bareng bunda??“tanya Rafka begitu berbalik dan melihat Arga berdiri dengan melipat kedua tangannya.

“Belum. Gue cuman mau nyusulin lo kesini. Kan, bener dugaan gue. Belanjaan lo pasti gak jauh-jauh dari mie sama snack.“omel Arga yang disambut cengiran oleh Rafka

“Dikit doang, Arga”

“Dikit apanya isi troli lo hampir penuh sama mie dan snack doang?!”

“Ish, dikit ini~“rengek Rafka membuat Arga tak tahan untuk mencubit pipinya.

“Apaan sih?!“protes Rafka akibat tindakan tiba-tiba dari putra Natrasani itu

“Gemes soalnya”

'Gemes gemes, gak tau aja lo jantung gue masih belum terbiasa Arga!!' oceh Rafka dalam hati

“Loh kalian berdua disini? Bunda cariin daritadi astaga” ucap Bunda Sekar

Melihat keberadaan sang bunda, jiwa jahil Arga bangkit begitu saja. Dia tersenyum jahil pada Rafka membuat yang lebih mungil langsung memiliki perasaan tidak enak.

“Bunda~ Tau gak? Rafka belanjanya isinya mie sama snack doang. Padahal dia tinggal sendirian diapartnya, terus beberapa hari yang lalu juga Arga dateng dan isi lemarinya beneran mie doang. Marahin gih Bun, anaknya bandel”adu Arga membuat Rafka yang mendengarnya sontak melebarkan matanya.

Apa-apaan Arga ini? Kenapa harus sampai mengadukannya pada bunda?

“Loh Rafka? Kenapa? Gak baik makan mie terus tiap hari. Apalagi kamu sendirian juga kan? Sini trolinya biar bunda yang isiin. Gak boleh makan mie tiap hari, bisa-bisa sakit nanti”ucap sang Bunda dan mengambil alih troli dari Rafka membuat Arga tersenyum senang.

Rafka sudah menatapnya seolah mengatakan bahwa setelah ini lelaki mungil itu pasti akan membalasnya, toh Arga tidak peduli. Dia sudah menang dengan menggunakan kartu ASnya. Bunda Sekar.


Rafka kembali membasahi bibirnya yang kering. Saat ini dia sedang pusing, bagaimana tidak jika dia baru saja bangun dari tidurnya dan ingin beranjak mengambil air dikarenakan pusing yang dirasakannya; efek dari alkohol yang dia minum sebelumnya. Ia malah disuguhkan pemandangan seorang lelaki yang sedang tertidur dengan posisi terduduk di sofa yang berada di dalam kamarnya.

Lelaki yang sudah dua minggu lebih Rafka hindari. Lelaki yang membuatnya menangis hanya jika mengingat kata-kata yang dia ucapkan. Bahkan lelaki yang menjadi penyebabnya banting setir ke club semalam.

Rafka belum siap sebenarnya. Dia belum menguasai ilmu bagaimana harus bersikap di depan Arga seperti biasanya. Rasa-rasanya sekarang Rafka ingin kabur jika saja pening di kepalanya tidak ada.

'Gue harus gimana? Pergi aja kali ya? Alasan kalau ada kelas— Eh tapi dia tau jadwal kelas gue. AISHH!' Masih pagi namun pemuda bersurai merah muda itu sudah dibuat bimbang.

Rafka perlahan mendudukkan dirinya. Kepalanya masih terasa sakit ketika digerakkan. Entah berapa banyak yang dia minum semalam. Pemuda itu mengambil selimut dan bantal yang dia punya untuk diberikannya pada kehadiran lain selain dirinya di kamar itu.

Sebisa mungkin, ia melakukan segala sesuatunya sepelan mungkin agar tidak sampai menimbulkan suara apapun yang akan membangunkan lelaki yang tertidur pada sofa dengan keadaan yang menurut Rafka sangat tidak nyaman.

Setelah memposisikan sebuah bantal di bawah kepala Arga dengan senyaman mungkin dan memberinya selimut, Rafka beranjak keluar dari kamarnya menuju dapur untuk meminum segelas air. Berharap menghilangkan pening yang dia rasakan sedari dirinya bangun pagi tadi.

'Hah, gue masih harus mikirin harus bersikap gimana pas dia bangun nanti.' Gumam Rafka dalam hati.


Hal pertama yang dilakukan Argantara ketika baru saja membuka matanya adalah berkedip berulang kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya. Lelaki bersurai biru itu meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu seketika tersadar bahwa dirinya dibaluti selimut dan tidak lagi dalam posisi duduk; ditambah bantal yang ada di bawah kepalanya.

Arga seketika menoleh ke arah ranjang dimana semalam dia mengangkat seseorang ke sana. Namun saat dilihat, ternyata ranjang itu kosong. Arga mendudukkan dirinya dengan panik, takut jika seseorang yang sudah dia tunggu hingga pukul 3 pagi kembali menghindar seperti sebelum-sebelumnya.

Dirinya dibuat semakin panik saat melihat notifikasi yang muncul pada layar ponselnya. Rafka berniat untuk pergi, lagi. Arga sengaja menyalakan notifikasi akun Rafka karena merasa harus melakukan itu untuk sementara waktu.

Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Arga dengan cepat keluar dari kamar sang tuan rumah dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Namun nyatanya sosok Rafka tidak terlihat. Tetapi kemudian Arga dapat mendengar dentingan kaca dari arah dapur; membuatnya menghela napas lega yang mana artinya pemuda bersurai merah muda itu tidak benar-benar pergi ke tempat lain.

Arga melangkahkan kakinya menuju dapur dengan segera. Di sana, dia melihat sosok mungil yang membelakanginya. Kalau dilihat dari tempatnya berdiri sekarang, sepertinya Rafka sedang melakukan sesuatu di depan wastafel itu.

“Pagi~” Sapa Arga. Dapat dia lihat pemuda yang lebih kecil darinya itu sedikit tersentak. Arga tersenyum kecil saat melihatnya. Entahlah. Mungkin, dia sedikit merindukan saat-saat seperti ini.

“P-pagi, lo udah bangun? Gimana? Nyaman gak? Sorry ya, gue gak tau lo dateng, gue udah nelfon Vania buat bawain makanan. Maaf juga gue lagi gak bisa masak buat sarapan. Lo pegel gak? Atau mau gue panggilin tukang pije—”

“Rafka.” Panggilnya dengan nada suara terdengar selembut mungkin, membuat perkataan yang lebih tua terhenti dengan paksa.

“K-kenapa?”

“Bicaranya sambil ngehadep gue kan bisa?” Arga menatap lurus pada yang bersurai merah muda.

“Gue,,, gue lagi nyuci,” Ucap Rafka memberi alasan yang membuat Arga menyunggingkan sebuah seringai ketika mendengarnya.

“Cuci gelas? Tapi gue perhatiin gelasnya udah kering tuh... Dari tadi lo lap terus, entar kena gores gimana?”

Gotcha!

Rafka mengumpat dalam hati karena kebodohannya. Bisa-bisanya kinerja otaknya seperti malfungsi saat ini? Di saat dirinya berhadapan dengan Arga?

Rasa-rasanya Rafka ingin cepat-cepat kabur dari sana. Namun baru saja dirinya berbalik badan, rasa pusing kembali menyerang kepalanya dan membuatnya sedikit terhuyung.

Arga memandang Rafka khawatir. “Raf, are you okay?”

Anggukan Arga terima sebagai jawaban. Namun nyatanya hal itu tidak membuatnya puas, hingga akhirnya ia memutuskan untuk maju dan menuntun Rafka hingga pemuda itu duduk dengan nyaman.

Arga dengan cepat mengambil posisi di depan kursi Rafka. Mereka kini hanya terhalang meja makan yang ada di hadapan keduanya.

“Lo masih pusing?” Tanya Arga yang hanya dijawab anggukan seperti sebelumnya.

“Di sini ada jahe gak?”

Rafka menggeleng.

“Kalau beras?”

Rafka kembali menggeleng yang mana membuat Arga menghela napas karenanya. “Buah? Lo punya apa aja di sini?”

“Tinggal pisang doang.”

Arga mengernyitkan keningnya. “Terus selama ini lo makan apa?!”

“Mie?” Jawab Rafka ragu.

“Bego.”

Rafka melotot mendengar ucapan Arga barusan.

“KOK NGATAIN GUE?! Ugh~”

“Gak usah sok teriak, lo masih pusing. Dan lo emang bego bisa-bisanya makan mie doang. Kalo teh ada gak?”

Rafka mendengus kesal karena Putra Argantara itu. “Ada. Teh hijau doang.”

“Lebih bagus. Tunggu bentar, gue mau bikinin teh. Gue pernah searching kalau teh bisa bikin hangover cepet ilang.” Arga beranjak lalu mengambil panci dan mulai merebus air.

Di tempatnya duduk saat ini, Rafka berdoa agar air yang direbus Arga lama mendidihnya. Karena sedari tadi, Rafka harus rela menahan gugup saat berhadapan dengan lelaki yang namanya telah tersemat di hatinya itu. Untung saja Arga tidak menyinggung tentang apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari terakhir.

TUK!

Sibuk memikirkan keresahannya, nyatanya gelas berisi teh hijau sudah berada tepat di hadapannya.

“Loh kok udah jadi?”

Arga mengernyit bingung. “Emang udah jadi, apa lagi emang?”

Rafka menggelengkan kepalanya. “Gak, gak ada apa-apa”

“Minum cepet, kalo pusing lo udah hilang, gue mau ngomong sesuatu.”

Seketika Rafka merasa tenggorokannya menjadi kering, dengan cepat dia meneguk minuman di depannya, namun sayang—

“UHUKK! UHHUKK, Shhh panashhh.” Rafka lupa bahwa teh itu masih panas. Arga yang melihatnya langsung berdiri untuk mengambil air dingin dan memberikannya pada Rafka.

“Lo gapapa? Aduh, makannya minum tuh pelan-pelan, gak ada yang bakal ambil kok. Emang dasar bayi!”

Rafka memilih tidak menjawab dan masih berusaha meminum teh buatan Arga dalam diam.


“Jadi lo mau ngobrolin apa?” Rafka bertanya setelah meminum teh buatan Arga hingga tak bersisa.

“Ngapain ke club?”

Rafka arahkan arah pandangnya melirik pemuda lain selain dirinya di sana. “Seneng-seneng aja.” Ucapnya yang tentu saja adalah kebohongan dan Arga tahu itu. Terbukti dari rahangnya yang mengeras mendengar jawaban yang terlampau santai dari bibir Rafka.

“Lo bilang seneng-seneng? Mabuk-mabukan sampai jam 3 pagi, lo gak sayang diri sendiri apa gimana?!”

Arga mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlalu mengeraskan suaranya, atau mereka akan berakhir seperti terakhir kali.

“Emangnya kenapa kalau gue mabuk-mabukan? Lo juga tau kalau gue emang sering minum. Kalau gak suka ya udah abaiin aja.” Rafka berkata dengan perasaan kesal. Padahal bukan pertama kali bagi Arga tahu tentang sisi dirinya yang seperti ini. Belum lagi fakta bahwa masalah mereka yang terakhir kali belum selesai. Ditambah dengan Arga yang menyerangnya di pagi hari begini membuat amarahnya semakin memuncak.

“Gimana gue bisa mengabaikan itu Ravian Rafka?!” Geram Arga. Suaranya memberat tanda menahan emosinya yang bergejolak.

Rafka memutar bola matanya malas dan menatap sinis pada lelaki bersurai biru di depannya. “Gampang banget, lo jangan campurin apapun yang gue lakuin!” Tekannya sejurus dengan air mukanya yang menampilkan ekspresi serius.

ENGGA DISAAT LO BERDUAAN SAMA ARA, DAN GUE YANG DENGAN BODOHNYA NUNGGUIN LO SAMPAI JAM 3 PAGI KAYAK ORANG BODOH!” Arga tidak bisa lagi menahannya sekarang. Amarahnya lepas di bawah batas kendali yang sanggup dia lakukan. “...cuma buat minta maaf kalau perkataan gue waktu itu bikin lo ngejauh sampai sekarang. Gue... gue gak bisa ngabaiin hal itu gitu aja!”

Arga menunduk dan mengepalkan kedua tangannya setelah mengeluarkan apa yang memang dia ingin katakan pada Rafka—Sosok yang membuatnya uring-uringan selama hampir dua minggu ini.

Di lain sisi, Rafka terkejut. Terkejut karena Arga yang membentaknya dan kata-kata yang dikeluarkan oleh lelaki itu.

Rafka sebenarnya sudah menduga bahwa Arga datang ke apartemennya setelah melihat cuitannya di twitter semalam. Tapi ia tidak mengira bahwa Arga mempermasalahkan tentang dirinya yang berduaan dengan Ara, orang yang menjadi tempatnya mengeluarkan keluh kesahnya tentang lelaki itu sendiri.

Bolehkah Rafka sedikit berharap kali ini? Bolehkah Rafka mengira bahwa Arga sekarang tengah cemburu? Atau bolehkah Rafka bahagia karena Arga juga sama pusingnya dengan dirinya disaat mereka berdua memiliki jarak?

“Gue gak bisa kalau lo ngejauh kayak gini, entah kenapa gue gak tenang. Hari-hari gue udah terlalu sering sama lo, Raf. Jangan ngejauh lagi, gue gak suka,” Arga mengeluarkan keluhannya tepat di depan orang yang bersangkutan dan menatap lekat pada kedua bola mata berwarna coklat itu.

Rafka masih belum bereaksi apapun. Perkataan Arga benar-benar membuatnya berfikir apakah dirinya memiliki setitik harapan pada pemuda bernama Argantara itu? Apakah mungkin, Arga akan mengatakan sesuatu yang membuat kumpulan sel-sel bahagia dalam tubuhnya bekerja sebentar lagi? Pikirannya benar-benar berkelana bebas saat ini. Banyak kata 'mungkin' yang terus terngiang dalam kepalanya, sebelum—

“Karena lo sahabat gue Raf.”

Haha.

Rafka merasa benar-benar dipermainkan. Baru beberapa detik yang lalu dirinya serasa diterbangkan dengan harapan-harapan yang dia buat sendiri. Lalu di detik berikutnya dijatuhkan langsung oleh orang yang menjadi pusat harapannya.

Rafka sadar, tidak mungkin Arga memiliki perasaan khusus untuknya sekarang, atau bahkan mungkin sampai kapanpun. Seharusnya ia tidak perlu berharap lebih.

Melihat keterdiaman Rafka membuat Arga resah. Dia seperti kembali ditarik pada malam terakhir saat dia dan Rafka baik-baik saja. Suasananya membuat Arga mengingat malam itu kembali. Apa mungkin dirinya kembali mengatakan sesuatu yang salah?

Arga dibuat bingung sendiri. Detik-detik yang berlalu sibuk dihabiskannya bergelut dengan pemikiran yang bersarang di kepala. Pada detik berikutnya, dia beranikan menatap wajah Rafka untuk melihat bagaimana keadaan si surai merah muda itu. Namun hal yang tidak sekalipun ia bayangkan terjadi. Lelaki yang lebih tua darinya itu kini justru tersenyum padanya.

Arga bingung harus bersikap bagaimana. Tapi untuk sekarang, tak bisa ia pungkiri kalau setidaknya, hatinya kini merasa sedikit lega. Arga ingin membalas senyuman itu tadinya, namun urung saat tak lama setelah itu dia melihat air mata jatuh membasahi kedua pipi Rafka.

Argantara panik.

“L-lo nangis? Gue salah ngomong lagi, ya? M-maaf banget, gue gak tau harus gimana. Raf, gue salah banget ya?” Ujarnya tanpa henti. Air mukanya juga menunjukkan ekspresi merasa bersalah. Arga makin dibuat panik, tapi kelihatannya senyum Rafka justru semakin lebar. Setelahnya, pemuda bersurai merah muda itu menggelengkan kepalanya lalu mengangkat kedua tangan untuk mengusap pipinya guna menghilangkan jejak-jejak air mata di sana.

“Enggak. Lo gak salah, gue cuma kebawa perasaan aja mungkin... Efek masih di bawah pengaruh minuman kali ya? Haha...” Canda Rafka. “Gue gak akan menjauh lagi kok. Maaf ya? Udah bikin lo musingin hal yang gak penting kayak gini,”

“Maksud gue gak gitu Raf—”

“Em, jangan bicara dulu. Biarin gue yang ngomong ya sekarang?” Pinta Rafka yang akhirnya dibalas anggukan oleh Arga.

Rafka mengambil satu tarikan nafas panjang dan memantapkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu yang dia pikir memang sudah seharusnya dia katakan hari ini.

“Lo pasti bingung. Kenapa malam itu gue tiba-tiba pergi ninggalin lo, bohong sama lo, dan menghindari lo selama berhari-hari tanpa kabar? Gue saat itu emang bodoh banget karena ngelakuin hal yang sia-sia kayak gitu. Gue cuman gak siap untuk berhadapan sama lo.”

Rafka mengambil jeda sebentar untuk melihat reaksi lelaki di depannya, lantas kembali melanjutkan ucapannya saat melihat Arga tampak bingung karena dirinya.

“Inget waktu gue nanyain soal gimana kalau misalnya gue suka sama lo?”

Arga mengangguk, tanda bahwa dia mengingat pertanyaan yang dimaksud oleh Rafka.

“Itu bukan cuma misal... Gue, gue beneran suka sama lo—atau gue bisa bilang dengan yakin gue udah jatuh sama seorang cowok yang bernama Argantara. Entah sejak kapan lebih tepatnya gue ngerasain itu, tapi gue emang punya perasaan ke lo lebih dari sekedar temen.”

Jadi, ini alasannya?

Arga mematung saat mendengar pernyataan dari Rafka.

Peluang terkecil dari dugaannya terhadap sang pemuda ternyata benar adanya?

“Dan saat lo ngelarang gue buat suka sama lo, di situ pertahanan yang udah gue bangun sejak awal lo bilang gak berniat untuk berhubungan dengan hal yang namanya cinta langsung hancur. Gue gak sanggup, makanya gue langsung pergi gitu aja karena gue gak mungkin nangis di depan lo saat itu. Haha... cengeng banget ya gue?”

Arga menggeleng cepat menanggapinya.

“Raf, kenapa gak bilang dari awal?” Lirih Arga lantas mengambil sebelah tangan Rafka yang berada di atas meja untuk dia genggam.

Rafka tersenyum tipis lalu melepas genggaman Arga secara perlahan. Membuat lelaki kelahiran Agustus itu sedikit terkejut karenanya.

“Gue gak seberani itu Arga. Setelah semua usaha yang gue lakuin, gue ngasih beberapa kode yang gue pikir bakal lo sadari. Tapi ternyata hasilnya gak seperti yang gue kira. Gue gak seberani itu ngomongin sesuatu yang bahkan gue sendiri bisa bayangin hasilnya bakal kayak gimana,” Rafka merasa sedikit putus asa sekarang. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain mengatakan semuanya pada Arga. “Lo bisa bilang gue pengecut, tapi gue beneran gak siap waktu itu kalo harus dihadapin sama yang namanya patah hati. Karena itu juga, gue dengan bodohnya jadi ngelampiasin sakit hati gue dengan menghindari lo berhari-hari. Gue gak siap ketemu sama lo.”

Arga mendengarkan cerita Rafka dengan seksama. Dia benar-benar tidak mengira bahwa Rafka menyimpan luka sebesar itu karena dirinya. Hatinya mencelos saat melihat kabut pada mata Rafka yang kini mulai runtuh menjadi bulir air mata dan membasahi kedua pipi sang pemuda.

Namun masih ada satu hal yang membuat Arga penasaran.

“Tiga hari setelah malam itu, gue setiap hari dateng ke sini. Dan lo gak pernah pulang, lo kemana?” Tanyanya.

“Gue di rumah Ara.”

Nama itu lagi.

Kenapa? Kenapa rasanya Arga tidak berguna bagi Rafka sekarang? Kenapa Rafka harus menjadikan gadis itu tempat berteduh di saat Rafka merasa tersakiti karena dirinya?

Rafka melihat kepalan tangan Arga yang membuat urat-urat di lengannya semakin kentara.

“Gue drop. Gue sakit. Malem itu gue diopname. Ara pengen bawa gue ke rumah sakit, tapi gue tolak karena yakin kalau lo tahu, lo pasti bakalan temuin gue gimana pun caranya.” Ucap Rafka seolah tahu apa yang dipikirkan Arga.

“Gue minta maaf Raf. Gue bener-bener gak tahu kalau gue nyakitin lo segitu banyak. Gue bajingan, ya? Gue janjiin lo kalo gue bakalan selalu ada buat lo, tapi lo sakit aja gue gak ada.”

Arga merasa marah. Marah karena dia tidak tahu Rafka sempat diopname. Marah karena memikirkan Rafka berdua saja di rumah yang sama dengan Ara. Marah karena gadis itu selalu saja berada di sekitar Rafka.

Arga hanya... tidak ingin gadis itu menggantikannya.

“Gue... Ayo pacaran kalo gitu! Gue bakal paksain ini, gue mau lo jadiin gue sandaran lo!” Ucap Arga tergesa membuat Rafka tersentak. Namun sedetik kemudian ia mengerti kenapa Arga menjadi seperti ini. Ada yang bilang, kalau itu hanyalah bentuk perlindungan diri seperti anak-anak yang takut mainannya diambil oleh orang lain.

Arga hanya merasa tidak aman, merasa bahwa mungkin saja Rafka kembali akan menjauh dari Arga saat ini.

“No. Gue gak mau lo paksain apapun Arga. Apalagi cuma karena gue. Lo itu berharga, jangan pernah paksain sesuatu hanya karena pemikiran sesaat yang lo punya. Bukan hanya gue yang akan tersakiti, tapi lo juga. Gue gak mau hal itu terjadi. Dan soal perasaan gue, ini udah urusan gue, tanggung jawab gue. Gak usah merasa bersalah atau apapun itu.” Rafka menjeda ucapannya sejenak. “Kita bakalan tetep jadi temen. Kalau lo mau gue jadiin lo sandaran gue, gue bakalan lakuin itu. Jadi anggap aja semuanya hanya badai sesaat, ya?” Lalu tersenyum setelah mengatakannya.

“Oh, satu lagi. Gue mohon buat jangan pernah suruh gue hilangin perasaan ini. Karena gak akan segampang dan secepet itu.” Kali ini Rafka berujar serius. “We're still can be best friend right?” Ujarnya disertai sesimpul senyuman manis. Sedang Arga hanya bisa mematung di tempatnya.

Kali ini, Arga akan memperbaiki semuanya dan melakukannya dengan sebaik mungkin. Karena Arga tidak ingin menyesal untuk yang kedua kali.


Rafka menghubungkan navigasi ponsel itu pada head unit mobil miliknya dan mulai menjalankan mobil putih tersebut menuju ke tempat lokasi yang sudah Bang Arsen kirimkan di grup UKM sebelumnya.

Dalam perjalanan yang diperkirakan memakan waktu sekitar lima belas menit lamanya, Rafka habiskan sambil mendengarkan lagu dari radio mobilnya.

Jalanan malam ini tidak terlalu padat, jadi mungkin dia bisa saja sampai di tempat janjian mereka lebih cepat.

Rencana makan bersama di cafe sebagai bentuk dari sebagian hadiah kecil yang didapatkan para anggota organisasi seusai event yang diadakan mereka kala itu. Setelah mencocokkan tanggal dan waktu yang tepat, akhirnya terlaksana juga agenda tersebut hari ini.

Rafka berhenti di depan sebuah tempat dan mempersilahkan Ara masuk karena mereka mengatakan akan berangkat bersama sebelumnya. Setelah menempuh waktu belasan menit, kini mobil putih milik Rafka baru saja memasuki area parkiran pada cafe daerah Jakarta Selatan. Mereka lantas turun dari mobil dan kini melangkah masuk ke dalam cafe lalu menghampiri beberapa temannya yang telah lebih dulu tiba di sana.

Saat kursi yang sudah dipesan sebelumnya mulai terisi satu persatu yang artinya semua anggota sudah datang, mereka lalu memesan makanan dan menunggu selama beberapa saat. Beberapa dari mereka terlihat saling berbincang satu sama lain sembari menunggu sampai pesanan diantarkan ke meja.

Lantunan sebuah suara kembali terdengar dari arah tempat yang disediakan khusus untuk permainan musik live pada cafe itu. Rafka termasuk satu dari banyaknya orang yang ikut menyaksikan ke arah panggung kecil tersebut. Suaranya mengalun merdu, memasuki indra pendengarnya dan refleks membuat dia mengarahkan kepala ke arah sana.

Rafka seketika mengangkat kedua alisnya saat melihat rupa dari seseorang yang kini tengah menyanyi secara live itu. Figur yang tidak begitu asing, dia ingat pernah melihatnya di suatu tempat. Walaupun samar ia mencoba mengingat.

“Pelatih gue itu.”

Tiba-tiba dari arah samping, seorang Arsenio membuka suara. Rafka langsung menoleh ke arah kakak tingkatnya itu. Pandangannya mengarah lurus ke panggung kecil di sana. Lalu tak berapa lama kedua netra lelaki bernama lengkap Arsenio Hananta itu kini sudah melihat ke arahnya.

“Lo inget pas di CWAD kemaren gak raf? Yang di gazebo?” Tanya Arsen.

“Iya Bang gue inget, kenapa?”

“Waktu itu gue bawa undangan kan ke event kita? Iya itu dia, Bang Dean. Pelatih gue—temen latihan vokal sih lebih tepatnya ... Jago orangnya kalo masalah nyanyi nyanyi.” Jelas kakak tingkatnya tersebut.

Rafka membalasnya dengan membentuk mulutnya membulat dan mengangguk paham.

“Can't agree more. Emang enak banget sih suaranya.” Ujar Rafka jujur. Memang saat mendengarkan lagu tadi, dia memuji siapapun itu yang sedang bernyanyi di panggung sana.

Kini pramusaji cafe itu datang membawakan pesanan dalam jumlah besar tersebut. Para anggota UKM seni lantas menikmati hidangannya bersama-sama, diiringi oleh lagu yang masih tetap mengalun sebagai teman menghabiskan waktu malam itu.

Beberapa menit kemudian, saat satu persatu makanan yang tersisa pada piring tersisa sedikit. Seorang pemuda bersurai hitam menghampiri meja dekat dinding dan menyapa yang berkacamata.

“Sen, dateng lo?” Tanyanya pada Arsen.

“Haha iya Bang.” Jawabnya jenaka. “As always lo selalu keren.”

Lelaki di hadapannya itu tersenyum menanggapi. “Thanks.”

“Mau pulang lo?”

“Iya, jam gue udah selesai.” Lalu dia mengamati sekitarnya. Malam ini, seorang Arsenio tidak datang sendirian seperti biasanya. Sepertinya beberapa laki-laki dan perempuan itu merupakan teman satu organisasi pemuda yang dikenalnya baik itu. Karena yang diketahuinya, Arsen memang ikut dalam salah satu kegiatan mahasiswa di kampusnya. “Gue duluan ya kalo gitu?” Pamitnya kemudian.

“Iya Bang, hati-hati di jalan!”

Dean mengangguk. “Pesen lagi tuh kalo kurang.” Ujarnya sebagai candaan.

“Hahaha... Iyadah,”

Setelahnya, Dean beranjak dari sana menuju ke arah pintu masuk.


Setelah memakirkan motornya di tempat yang disediakan pihak cafe yang akan dikunjungi, Arga kemudian mematikan mesin motor dan turun dari kendaraan tersebut. Tungkainya dia arahkan mendekati seseorang di sampingnya dan kini mulai berjalan menuju ke pintu masuk cafe.

“Persis bocah ilang.” Komentar Arga sambil terus mengikuti seorang lelaki di depannya. Tetangga depan rumah yang tiba-tiba mengajaknya keluar di saat malam sudah hampir larut begini. Katanya ingin minum kopi.

“Yang penting bawa cuan.” Balas laki-laki itu.

Mereka bergantian masuk dengan Arga yang ada di belakang. Kakinya baru saja melangkah melewati pintu masuk dan kebetulan bertepatan dengan adanya orang lain dari arah sebaliknya ingin keluar dari cafe menggunakan bilik pintu sebelah. Seketika dirinya dibuat berhenti sejenak ketika hidungnya baru saja mencium sebuah aroma yang menguar. Arga berbalik badan untuk melihat seseorang yang ditemuinya baru saja. Namun suasana di depannya kosong tidak ada siapapun di sana.

“Ngapain lo di situ? Buruan masuk!” Seruan dari seseorang di depan sana membuyarkan prasangkanya. Arga masih akan mengingat bagaimana uapan dari parfum milik entah siapa itu tadi ketika memasuki indra penciumannya. Ia tidak mungkin salah mengenali parfum milik seseorang.

“Tapi emangnya yang bisa pake parfum tadi cuma satu orang?” Monolognya lirih pada udara. Digelengkannya kepala itu untuk tidak terlalu memikirkan kejadian baru saja.

“Kenapa lo geleng-geleng gitu?”

“Gakpapa, ayo!”

Kini mereka kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi dan mencari meja yang masih kosong untuk ditempati.

Ketika melewati pada sebuah formasi besar yang sepertinya memang sengaja dibuat karena terlihat di sana, ada beberapa orang duduk saling melingkar seperti tengah mengadakan suatu acara. Arga dapat melihatnya dengan jelas. Kalau Rafka duduk pada salah satu kursi itu dan pandangan keduanya sempat bertemu sekilas.

Dari peluang banyaknya tempat di luar sana, pertemuan itu ternyata mereka dapatkan di cafe ini tanpa sengaja. Apa jangan-jangan dunia memang berputar pada sekitaran Jakarta saja?

Arga menghela napasnya kasar. Kini pikirannya kembali terisi oleh satu nama yang kerap kali mengusiknya itu. Rafka dan kejadian sebelum mereka berjauhan antara satu sama lain nyatanya berhasil membuat Arga lagi-lagi diliputi oleh rasa tak karuan. Sebelah tangannya mengepal sebagai bentuk pelampiasan. Yang dilakukannya hanya terus memandangi si surai merah muda itu sampai dirinya kini sudah tiba di depan sebuah meja kosong. Arga duduk di sana.

Rafka jadi orang pertama yang memutus pandangan dan kini mengalihkan perhatiannya dengan mengobrol bersama teman-temannya.

Tatapan Arga sedikit melemah. Akhirnya ia mengalihkan arah pandangnya dan kini ikut memesan sebuah minuman serta makanan ringan seperti yang dilakukan laki-laki di depannya. Yoga lantas berjalan ke arah kasir dan menyerahkan selembar kertas pesanan di tangannya lalu membayar tagihan yang tertera.

Sembari menunggu pesanannya selesai, Arga mulai membuka kembali ponselnya dan menjelajah benda persegi panjang tersebut. Jemarinya tiba-tiba saja membuka sebuah aplikasi chatting dan berhenti pada sebuah ruang obrolan milik seseorang. Arga melirik ke arah pemilik kontak nama yang ada di seberang tempat sana lalu mengalihkannya ke arah ponselnya kembali. Terlihat beberapa pesan terakhir yang sempat mereka kirimkan satu sama lain sebelum ruang obrolan itu ditinggalkan selama berhari-hari.

Arga ingin mencoba memperbaiki. Namun sepertinya Rafka masih memilih tetap menghindari. Ah, dia jadi bingung sendiri. Akhirnya yang dilakukan si surai biru itu hanyalah mematikan layar ponselnya dan menyimpan benda itu di atas meja.

Sesampainya pesanan mereka diantar setelah menunggu selama beberapa menit, Arga mulai meneguk es kopi hitam pekat itu hingga menyisakan setengahnya.

“Buset, haus banget lo?” Tanya Yoga setelah melihat gelas milik Arga yang sudah berkurang banyak dari volume semula.

“Hm.” Jawabnya singkat.

“Santai Ga, gak usah buru-buru ... Baru juga nyampe sini...”

Di sisi lain, terlihat beberapa anggota UKM seni yang mulai berbenah-benah karena acara sudah usai. Beberapa di antaranya ada yang berdiri dan menghampiri sang ketua untuk berpamitan sebelum pergi dari sana. Ada juga yang masih memilih bertahan pada posisinya untuk tetap tinggal lebih lama menikmati malam hari itu.

“Balik yuk Ra!” Ajak Rafka karena merasa kalau agendanya sudah selesai sehingga tidak ada alasan lagi ia harus bertahan di tempat itu lebih lama. Lebih tepatnya, Rafka hanya sedang tidak ingin bertemu dan melihat lelaki bersurai biru yang juga sedang berada di tempat ini.

Ara mengangguk mengiyakan ajakan Rafka tersebut.

“Bang Arsen, gue sama Ara balik duluan ya?”

“Oh iya Raf, thanks ya udah dateng. Hati-hati pulangnya!”

“Iya Bang. Gue balik dulu.”

“Duluan Bang.” Ara ikut berpamitan pada pemuda Arsenio itu, lalu berjalan berdampingan di sebelah Rafka keluar dari cafe tempat janjian.

Sedangkan dari tempatnya duduk sekarang, Argantara sudah dibuat menggertakkan rahangnya saat melihat dua bayang yang dikenalnya itu terlihat makin dekat tiap kali ada kesempatan bersama.

'Cewek itu mulu perasaan...'

Arga kembali menyeruput sisa esnya sampai habis dan hanya menyisakan beberapa es kristal yang masih sedikit utuh sampai suara dari sedotan itu nyaring terdengar.

“Berisik anjir! Kalo udah habis yaudah kek biarin, atau lo pesen lagi sana! Jangan kayak gitu anjir malu-maluin aja lo! Diliatin orang noh!” Seru Yoga sedikit berbisik lalu diarahkan mata itu melirik ke sekitar.

Arga mengikuti arah pandang pemuda di hadapannya itu dan benar kalau pengunjung di samping mejanya kini tengah melihat ke arahnya. Baru setelah dilihat balik oleh dirinya, orang tadi sudah tidak lagi memandanginya.

Atas dorongan hati dan juga rasa keingintahuannya, sekali lagi Arga melihat ke arah tempat terakhir kali ia tadi melihat Rafka. Namun ternyata si surai merah muda sudah tidak berada di sana. Arga menghela nafas lelah dan kini punggungnya disandarkan pada kursi di belakangnya.

Tidak bisa hanya seperti ini terus. Mungkin, Arga akan menjadi orang pertama yang memilih meruntuhkan dinding pembatas di antara dirinya dan Rafka nantinya. Ia hanya butuh sedikit menenangkan pikirannya kini.


“Lo yakin mau ke club?” Tanya Ara sekali lagi ingin memastikan.

“Iya.” Singkat. Rafka kembali memfokuskan kedua matanya lurus pada arah jalanan di depannya. Tinggal satu belokan lagi dan tempat tujuannya akan terlihat tak jauh setelah itu.

Ara hanya bisa mengiyakan permintaan pemuda itu. Kalau Rafka sudah berkata satu hal dan membuatnya sulit untuk menolaknya, maka yang dilakukan gadis itu hanyalah menuruti apa keinginan si surai merah muda saja.

•••

Satu jam lebih terlewati, namun muda mudi itu masih betah tinggal di tempat tanpa ada sedikitpun niatan mau pergi.

Rafka mengangkat gelasnya, kemudian didekatkan pada milik gadis di sebelahnya hingga berbunyi tubrukan dua benda kaca yang cukup keras setelahnya.

“Jam berapa?” Tanya Rafka.

Ara menyalakan layar ponselnya sebentar untuk melihat jam yang tertera di sana. “Sebelas.”

“Lanjut~” Sebelah tangannya diangkat ke atas. Rafka lalu bangkit dari kursinya menuju area dansa. Dan otomatis Ara mengikutinya dari belakang.

Dua remaja itu lalu menghabiskan waktu bersama. Mereka tampak bersenang-senang, bahkan tak jarang kerap mengambil beberapa foto untuk disimpan pada ponsel.

Rafka jadi yang paling sering bolak balik menghampiri tempat bartender untuk meminum seteguk demi seteguk Martini pesanannya. Lalu setelah itu ia akan kembali lagi ke lantai dansa dan melanjutkan kegiatannya.

Cukup lama mereka menghabiskan waktu untuk berdansa, sampai ketika keseimbangan Rafka mulai sedikit goyah. Kakinya memang menapak pada lantai namun kerap kali terlihat seperti akan jatuh jika membiarkannya tetap seperti itu lebih lama lagi.

Ara menghampirinya dan memegang salah satu lengan sang lelaki. “Lo kalau gak kuat, kita pulang aja.”

“Enggak, bentar lagi...” Rafka masih kekeh ingin bertahan di club itu lebih lama. Tapi kesadarannya seperti tidak mau bekerja sama. Sekali lagi, tubuhnya linglung ke samping meski tangannya kini masih dipegang oleh Ara.

“Tuh, udah yok balik. Kapan kapan lagi kesini.”

“Tapi Ra...”

“Lo udah mabuk berat Rafka!”

Akhirnya Rafka mengalah. Dengan memegangi kepalanya yang kini mulai terasa sakit, ia berjalan tertatih dengan bantuan Ara memapah tubuhnya menuju ke mobil.

Saat sudah sampai di dalam mobil, yang dilakukan Rafka hanya mengistirahatkan tubuhnya bersandar pada kursi di belakangnya. Kepalanya terasa semakin berat dan kelopak matanya juga berkedut sakit.

“Tidur aja kalo lo gak kuat.”

Rafka mengalah pada rasa sakitnya. Akhirnya ia memilih mengistirahatkan tubuhnya selagi teman gadisnya itu menyetir mobil miliknya dan mengantarnya pulang.


Arga bergerak gelisah di atas motornya. Entah ini pilihan yang tepat atau bukan dirinya menunggu di depan apartemen tempat Rafka tinggal pada malam yang sangat larut begini.

Setelah melihat lihat beranda twitternya, ada satu postingan lewat yang membuatnya berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel itu. Arga memastikan pemilik akun tersebut adalah seseorang yang dikenalnya cukup baik hingga sekarang. Sebuah akun berinisial R yang memperlihatkan foto suasana di tengah ramainya tempat yang terlihat seperti club malam.

'Ngapain dia ke sana?!' Batinnya.

Arga tidak berpikir dua kali saat tiba-tiba saja dirinya beranjak duluan dan pergi meninggalkan Yoga sendirian di cafe itu. Namun saat helm sudah dipakainya melindungi kepala, Arga baru tersadar ia tidak tahu di mana lokasi tempat tersebut berada.

“Bego kan lo! Lo aja gak tau persis itu club mana, sok sok mau nyamperin lagi!” Monolognya sendirian masih dengan Miko yang belum sempat dia nyalakan.

Akhirnya Arga kembali masuk ke dalam dan melangkah ke tempat semula.

“Kok lo balik lagi?” Tanya Yoga merasa bingung mendapati lelaki di hadapannya yang sesaat lalu berpamitan dan terburu meninggalkan kursinya, kini dapat dilihatnya lagi menempati kursi tersebut.

“Lo tau ini di mana gak?” Arga mengabaikan pertanyaan dari Yoga dan malah melayangkan sebuah tanya pada tetangganya itu. Ia langsung menyodorkan layar ponselnya sesampainya tiba di sana.

Yoga mengamati foto yang diperlihatkan Arga. Dia tidak mengetahui tentang club atau apapun itu. “Mana gue tau...?” Saat masih memikirkan kemungkinan di mana tempat semacam itu berada, ia tersadar satu hal. “—Ngapain lo ke club hah?! Lo mau mabok-mabokan?!” Yoga memicing ke arah lelaki di depannya dan menduga yang tidak-tidak.

“Temen,” Arga mengarahkan arah pandangnya turun melihat meja di depannya saat teringat akan Rafka dan situasi yang terjadi di antara mereka berdua. “Temen gue ada di sana ... gue mau jemput ... “

Untuk kesekian kalinya lagi, Arga mengerang tidak karuan. Cukup lama waktu yang sudah dilaluinya menunggu di luar gedung apartemen tersebut. Dia khawatir pada lelaki yang tinggal di lantai 23 pada bangunan di depannya. Mau menyusul ke tempat di mana Rafka berada, tapi ia tidak mungkin harus mengunjungi satu per satu club di Jakarta kan?

Ponselnya sama sekali tidak membantu. Arga berulang kali dibuat mengumpat karenanya. Kalau ia tidak ingat masih membutuhkan benda tersebut, sudah dibantingnya persegi panjang elektronik itu ke jalanan di depannya. Arga butuh pelampiasan, dan yang dilakukannya sebagai ganti adalah memukul jok motornya keras-keras. Dia kesal setengah mati, tapi Rafka sama sekali tidak bisa dihubungi. Lalu Arga harus apa?

Akhirnya setelah berpikir harus melakukan apa selain mondar mandir tidak jelas di sekitar motornya, ia memilih masuk ke dalam. Memarkirkan motornya di basement lalu berjalan ingin menuju lobby.

Arga baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama, ketika dari arah depan datanglah sebuah mobil berwarna putih yang terlihat tidak asing. Matanya menyipit karena diterpa sorot cahaya mobil tersebut ketika melewati ke arahnya. Saat sudah berlalu dan terlihat bagian belakangnya, Arga baru bisa melihat plat nomornya dengan jelas. Nomor plat mobil milik Rafka.

Tanpa berpikir dua kali, Arga mengejar mobil itu dari belakang. Dia mengikuti mobil Rafka sampai berhenti di area basement.

Arga menghela nafasnya lelah dan mulai berjalan perlahan menghampiri ke depan sana. Baru saja dapat beberapa langkah, Arga harus dibuat berhenti ketika melihat Rafka dibantu oleh seorang gadis turun dari mobil itu. Air mukanya datar saat melihatnya.

“Cih.”

Panas.

Area basement memang panas. Tapi malam ini sepertinya suhunya jauh lebih panas daripada biasanya.

Kakinya tanpa sadar melangkah mendekat tanpa diperintah. Dengan tergesa Arga memindahkan lengan Rafka melingkar memeluk lehernya, membuat gadis yang ada di sana terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Arga?!” Ara terkesiap dengan kehadiran baru di sekitarnya. Lelaki yang baru saja tiba itu menginterupsi apa yang sedang dilakukannya dengan sedikit paksa. Dan itu membuatnya sedikit tidak suka. “Lo apa-apaan sih?! Dateng dateng main langsung rebut aja!”

Arga perhatikan gadis berambut panjang itu. “Biar gue aja. Lo cewek, gue yakin lo gak akan sanggup bawa Rafka nyampe ke atas.” Sergapnya tanpa mengiharukan keterkejutan gadis tersebut. Arga hanya mengunci fokusnya pada seorang pemuda dalam rengkuhannya. Rafka sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda akan bangun. Dan Arga tidak bisa membiarkan gadis bernama Ara itu membantu Rafka menuju ke unit apartemennya dengan cara seperti tadi.

“Jangan mentang-mentang gue cewek dan lo bisa ngeremehin gue kayak gitu...” Ujar sang gadis yang emosinya kini mulai sedikit terpancing karena seorang Argantara. Ara berdecih pada lelaki itu. “Lo pikir Rafka jadi gini juga karena siapa? Karena lo! Asal lo tau itu!” Telunjuknya mengarah tepat di hadapan wajah Arga. “Masih berani lo nemuin Rafka setelah apa yang udah lo lakuin ke dia? Hah? Lo gak malu, apa?”

Arga menggertakkan gigi-giginya ketika mendengar perkataan sang gadis. Dia ingin marah, namun seketika tersadar kalau bisa saja emosinya hanya akan memperburuk keadaan. “Makannya gue mau memperbaiki semuanya sekarang ... Gue, mau minta maaf sama Rafka kalo misalnya gue punya salah. Gue gak tau salah gue di mana kalo dia terus-terusan ngehindar dari gue kayak gini!”

Ara menghela napasnya kasar. “Ternyata lo emang cowok ter-enggak peka yang pernah gue temui. Pantes Rafka ngehindar.” Ujarnya dengan perasaan kesal, padahal bukan dia sendiri yang mengalaminya. “Serahin Rafka sama gue! Gue bisa jaga dia lebih baik daripada lo!”

Ara ingin merebut kembali kuasa tubuh Rafka, namun Arga berhasil menghalangi gadis itu dan mempertahankan raga sang pemuda tetap berada pada rengkuhannya.

“Lo sendiri? Masih punya malu gak?”

“Maksud lo?” Tanya Ara balik karena pertanyaan tidak jelas dari Arga.

“Nganterin cowok lagi mabuk ke apartnya berdua doang ... Lo pikir bakal lebih dicuragi mana antara cewek yang nganter, atau cowok yang nganter?” Ujar Arga dengan raut muka yang terlihat serius. “Ini udah tengah malem. Kalo lo masih punya rasa malu sebagai cewek, mending lo pulang sekarang. Lo gak mau di cap aneh-aneh sama orang lain kan?”

“Tapi gue mau mastiin Rafka nyampe ke apartnya dalam keadaan baik-baik aja!”

Arga menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. Samar tersenyum sinis. “Lo gak usah khawatir. Karena gue pasti bakal ngejaga Rafka dengan baik.”

Arga memindahkan posisi Rafka yang kini menjadi digendongnya semacam bridal. Tak lupa memastikan Rafka merasa nyaman dalam gendongannya.

“Makasih udah nganterin dia balik. Lo... hati-hati di jalan.”

Arga meninggalkan satu-satunya gadis di sana yang kini wajahnya berubah menjadi sedikit merah. Antara kesal dan pasrah, akhirnya Ara ikut meninggalkan area basement tak lama setelahnya.


Kala motor sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapi di area basement sebuah gedung apartemen daerah Jakarta Selatan, Arga lantas melepaskan helm yang melindungi kepalanya dan menyimpan benda tersebut di atas jok motornya. Pemuda kelahiran Agustus itu dengan cepat melangkahkan tungkainya menuju ke lantai satu bangunan.

Arga mau mencoba lagi. Dia akan terus berusaha mencari di mana pun keberadaan Rafka saat ini.

Pesannya satu pun tidak ada yang ditanggapi. Setelah minggu malam waktu itu, Rafka benar-benar menghindarinya tanpa repot-repot sebelumnya memberikan setidaknya satu alasan pasti. Arga dibuat bingung sendiri.

Maka dari itu, setelah urusan kuliahnya selesai hari ini, dia memutuskan kembali mengunjungi apartemen Rafka untuk memastikan. Dia akan bertanya pada lelaki yang bersurai merah muda kenapa dia meninggalkannya bahkan sampai harus berbohong masalah kepulangannya malam itu.

Jantungnya berpacu cepat seiring langkahnya menapaki pualam dasar bangunan puluhan lantai tersebut. Arga harap-harap cemas, apakah kali ini dia akan kembali mendapatkan udara kosong sepanjang dia menunggu di depan pintu apartemen Rafka, berharap kalau pemuda itu akan menjawab dan membukakan pintu untuknya seperti yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya?

Arga tidak bisa berpikir jernih. Dia masih saja menemui jalan buntu. 'Apa yang salah?' Pikirnya.

Tanpa terasa kini posisinya sudah berada tepat di depan lift yang biasanya dia gunakan setiap kali akan berkunjung ke unit apartemen Rafka. Dipencetnya tombol itu sekali, dan dia hanya perlu menunggu beberapa saat hingga pintu baja itu terbuka.

Dari yang pertama kali dilakukannya sembari menunggu pada pijakan kakinya yang dia buat sedikit menghentak permukaan lantai, sampai ketika pintu lift baru saja berbunyi; tanda akan segera terbuka, Arga selalu mengambil nafasnya dalam-dalam. Dan tepat ketika pintu baja itu sudah terbuka lebar, Arga yang tadinya sudah mantap akan melangkahkan tungkainya masuk, kini harus dibuat berhenti lantaran melihat sebuah kejadian di depan sana.

Tubuhnya terasa kaku tanpa sedikitpun niatan akan digerakkan. Matanya terpaku pada gambaran dua insan yang saling berhadapan. Bibirnya tercekat dengan tangan mengepal seiring detik kian berjalan dalam sebuah atmosfir yang menyesakkan.

Arga mau mengelak, tapi rambut berwarna merah muda itu meruntuhkannya telak.

Yang dilakukannya hanya berdiam diri seperti pajangan patung lilin sampai dua orang itu keluar dari lift dan menyadari kehadirannya.


“Lo mau ke mana lagi sih malem ini? Gak capek apa keluar mulu malem malem gini?” Ara bertanya dengan wajah yang terlihat cukup jengah lantaran Rafka yang terus saja mengajaknya keluar pada malam hari begini. Meski begitu, ia tidak bisa menolak lantaran Rafka yang selalu bilang akan mentraktirnya, jadi dirinya tidak usah khawatir masalah itu.

“Ke cafe lagi ... Kalo perlu explore seluruh cafe di Jakarta deh. Gue mau coba satu-satu!” jawab Rafka bersemangat karena menemukan teman yang bisa diajaknya hangout bareng ketika teman-temannya yang lain saat ini tengah disibukkan dengan jadwalnya masing-masing.

Ara ikut tersenyum saat Rafka mengatakannya disertai wajahnya yang terlihat berbinar. “Seneng banget lo?”

Rafka menoleh, dilihatnya gadis berambut panjang yang kini tengah menatapnya. “Ya jelas lah, self healing itu perlu, biar gak stress.” Ujarnya.

“Lo liat topeng monyet juga entar gak bakalan stress.” Ara mencoba sedikit bercanda dengan lelaki berwajah manis itu. Mungkin saja Rafka dapat terhibur? Karena ia lebih suka ketika si surai merah muda sedang dalam suasana hati yang ceria. Bukan seperti yang dia lihat seusai acara yang diadakan UKM mereka pada malam hari yang lalu.

“Hahaha apaan sih Ra?”

“Serius Raf, kan lucu tuh, pasti lo ketawa pas ngeliatnya—” “Atau lo mau liat ondel-ondel?”

“Hahaha apaan sih? Gak ah, jangan macem-macem Ara,”

Ara mau membalasnya, namun suara yang terdengar seperti benda jatuh itu terlebih dulu menginterupsinya. Saat dia melihat ke bawah, ternyata ponsel yang ia simpan pada saku jaketnya kini sudah tergeletak di sana. Diambilnya benda persegi itu lantas ketika akan bangkit, sesuatu yang keras tiba-tiba mengenai kepalanya. Suara kesakitan dari Rafka adalah apa yang ia dengar setelahnya.

“Aww!”

“Aduh!”

Ara dengan cepat mendongak. “Sorry sorry Raf, gue gak liat tadi! Duh, maaf maaf!” Sesalnya saat ternyata dirinya tadi tak sengaja menghantam dagu Rafka; terlihat saat pemuda itu memegangi bagian rahang bawahnya dengan kedua tangannya.

“Gak papa haha...“— “Gue cuma kaget aja lo gercep banget bangunnya. Tadi gue niatnya mau bantu ambilin.” Jelas Rafka yang kini sudah menurunkan kembali tangannya.

“Oohh ya ampun, gue gak tau... Sumpah maaf Raf!”

“Gak papa selow Ra, kayak sama siapa aja sih?” Untuk meyakinkan Ara kalau dirinya baik-baik saja, Rafka terus saja mengeluarkan suara tawa kecilnya.

“Ada yang luka gak?” Tanyanya.

Rafka menggeleng, “Enggak ada, lo gak usah khawatir elah. B aja juga...”

Entah kenapa, dua manusia yang memiliki perbedaan jelas pada status gender itu semakin menaikkan frekuensi suara tawanya. Mereka sama-sama menertawai kejadian baru saja yang menimpa keduanya.

Rafka masih belum sadar, sampai Ara menggeser posisi yang tadinya ada di hadapannya, menjadi beralih di sampingnya. Ternyata pintu lift sudah terbuka. Mereka lantas beranjak keluar dari sana, yang langsung disambut oleh kehadiran seseorang di depan pintu masuk lift tak jauh dari tempatnya.

Rafka membulatkan matanya; tanda dirinya terkejut mendapati seorang Argantara berada di depan sana. Pemuda bersurai biru itu sama sekali tak berkutik persis seperti dirinya yang saat ini juga menghentikan langkahnya. Dan hal tersebut tentu saja disadari oleh Ara. Gadis itu melihat bergantian ke arah Arga juga Rafka yang saling berpandangan, namun memilih bertahan dalam keterdiaman.

Saat sadar akan situasi, Arga adalah orang pertama yang mengeluarkan suaranya. Dengan langkah berat dan nafas yang sudah seperti tercekat, dia hampiri si surai merah muda. Arga mengeluarkan sesuatu dari balik saku hoodienya. Refleks karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya saat ini. Kinerja otaknya seperti malfungsi.

“Gue cuma mau ngembaliin ini... Ketinggalan hari itu...” Arga berujar dengan lirih, tangan kanannya menyerahkan ID card milik Rafka yang tertinggal pada hari dimana lelaki yang lebih kecil darinya itu meninggalkannya begitu saja.

Rafka menerima ID card itu lalu menyimpannya pada tas kecil yang dibawanya. “Makasih.” Ujarnya lantas menyunggingkan senyum secepat kilat. Rafka bingung karena harus terjebak dalam situasi seperti sekarang.

“Lo... Baik?” Tanya Arga sedikit ragu. Memecah fokus Rafka yang sekali lagi, dia sunggingkan senyumannya yang hanya bertahan selama sepersekian detik. “Hm.” Jawabnya singkat.

“Oohh... Oke...?” Arga mengangguk mengerti. Dilihatnya Rafka yang masih betah memandang ke arah lain tapi hanya sebentar saja saat bertatap muka dengannya. Arga menarik sudut bibirnya kecil ketika melihat itu. “Kalo gitu gue pulang dulu. Have fun buat lo berdua. Bagus deh kalo ternyata lo baik-baik aja sekarang ... Semoga yang gue lihat malem itu salah...”

Segera setelah mengatakan itu, Arga membalikkan badannya dan melangkah menjauh dari tempat Rafka masih bertahan di tempatnya. Sedangkan pemuda bersurai merah muda itu sudah dibuat terkejut dengan kalimat yang diucapkan Arga sebelum meninggalkan tempatnya tadi. Rafka menoleh cepat melihat ke depan sana. Punggung lebar itu semakin jauh seiring dengan keadaan hatinya yang kini berdenyut nyeri saat melihatnya. Rafka meremat bagian dada kirinya. Harusnya tidak begini...

“Raf? Lo gapapa?” Tanya Ara hati-hati. Dia takut kembali terjadi sesuatu pada Rafka setelah laki-laki itu dipertemukan lagi dengan penyebab yang sama mengapa Rafka menangis malam itu.

“Sakit... Lagi...” Akunya. Bibir itu sudah digigit dari dalam guna menyalurkan apa yang saat ini dia rasakan. Namun Rafka kali ini tidak membiarkan hatinya jatuh terlalu dalam dan berakhir dengan air mata seperti waktu itu. Dia mencoba bertahan.

“Gak jadi aja ya perginya?”

“Justru jadi!” Elak Rafka cepat. “Gue mau lupain kejadian barusan. Ayo pergi!”

Rafka melangkah meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju area basement dengan Ara di sampingnya.

“Tapi gue aja yang nyetir, gue takut terjadi apa-apa sama lo!”

Saat Rafka baru saja membuka mulutnya, Ara dengan cepat memotongnya. “Gak ada penolakan! Atau gak jadi pergi!”

Rafka mengiyakan gadis itu akhirnya.


Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Arga berulang kali membunyikan klakson yang ditujukannya pada pengendara lain di sekitarnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan orang-orang itu, kecuali mungkin kesalahan kecil saat tak sengaja berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya. Namun Arga tetap saja menekan tombol klakson itu lalu bergerak mendahului mereka dengan kecepatan penuh.

Luapan emosinya sudah menguasai pikiran dan hatinya. Malam itu dia benar-benar seperti orang yang sedikit hilang akal dan melampiaskannya saat itu juga. Arga bahkan tidak memikirkan akan kemungkinan bisa saja terjadi sesuatu dengan caranya berkendara yang jauh dari kata biasa itu.

Ternyata orang yang selama ini dikhawatirkannya terlihat baik-baik saja, bahkan sedang bersama teman perempuannya. Memang apa yang seharusnya diharapkan lelaki itu? Arga seperti orang bodoh dengan mengharapkan hal yang tidak seharusnya dia harapkan.

Lagi-lagi klakson itu terus saja dia bunyikan dan membuat suara nyaring pada jalanan malam kala itu. Hatinya kini sedang dipermainkan oleh perasaan yang tak menentu.

“Sialan!”


cw // harshword


Arga terus saja bergerak gelisah di kursinya. Dia terus mengedarkan pandangan ke sekitar, berulang kali memastikan kursi bagian depan dan belakang di dalam kelas mata kuliah fotografi yang sedang berlangsung. Dan harus kembali puas dengan decakan pelan yang keluar tak hanya sekali dari bibir itu.

Dari pertama kali dosen yang mengajar kelasnya memasuki pintu berwarna putih itu sampai ketika dua puluh menit sudah waktu berjalan dihabiskan dengan mendengarkan penjelasan dari pria paruh baya di depan sana, Arga belum juga menemukan kehadiran Rafka di antara para mahasiswa yang hadir dalam kelas.

Apa laki-laki itu memang memutuskan untuk tidak hadir dalam kelas siang ini?

Karena sekeras apapun dia mencoba mencari, Arga belum bisa menemukan apa yang salah dari tindakannya pada hari ketika Rafka menangis malam itu. Atau mungkin memang ada? Tapi lelaki itu saja yang kebetulannya tidak peka?

“Napa sih lo? Cak cek cak cek mulu dari tadi?” Tegur Surya yang berada tepat di kursi samping kanannya. Sudah sejak tadi pemuda Adilansah itu mendengar semua decakan yang keluar dari seseorang di samping tempat duduknya. Awalnya hanya dia lihat saja Argantara dengan kesibukan yang dilakukannya itu, tapi lama kelamaan telinganya merasa terganggu. Surya putuskan untuk membuka suaranya tanpa ragu.

Sedangkan pemuda yang diberi pertanyaan itu sekarang tengah memikirkan sesuatu. Haruskah Arga memberitahu Surya?

“Rafka gak masuk.” Jawabnya akhirnya.

“Terus?” Timpal Surya lagi.

Arga menoleh ke arah Surya. Kedua alisnya kini sudah terlihat mengkerut dalam. “Heran, gak biasanya.”

“Terus hubungannya sama lo apaan? Suka suka dia mau masuk atau gak. Palingan juga mau ngambil jatah absen?” Tukas Surya yang membuat Arga lantas diam. Argantara itu terpaku pada kalimat pertama yang Surya ucapkan. Hubungannya sama lo apaan?

Surya itu... Kenapa terkadang ucapannya dapat membuat seseorang kalah telak? Kenapa dia bisa menjelma jadi manusia paling apa adanya yang mengeluarkan suaranya sesuai dengan yang ada di isi kepala? Arga hanya dapat meringis dalam hati tanpa bisa mengelak.

Nafasnya berat ketika udara itu kembali dikeluarkan lewat hidung sang Argantara. Apa ia mencoba jujur saja?

“Salah gue, mungkin?” Akunya. “Rafka tiba-tiba ngejauhin gue pas malem itu.” Lanjut Arga.

“Malem yang mana?” Tanya Surya karena sama sekali tidak mengetahui malam mana yang dimaksud Arga.

“Habis event UKM seninya.”

“Lah kenapa? Lo lagi berantem?”

“Gue... Gak tau... Awalnya kita cuma makan, habistu ngobrol dan dia tanya-tanya—” Arga menjeda ucapannya sejenak ketika terlihat di depan sana, dosennya sedang melihat ke arah para mahasiswa.

Setelah beberapa menit berlalu dan memastikan keadaannya dirasa sedikit aman, Arga mulai kembali menceritakan perihal malam ketika semua bermula. Malam yang menjadi perawalan Ravian Rafka yang tiba-tiba menghindar dan sulit ditemuinya hingga saat ini.

“Ternyata gue punya temen yang agak goblok,” Ujar Surya

“Kenapa jadi gue?!” protes Arga yang tidak terima ketika Surya menyebutnya seperti itu.

“Ya! Karena lo emang goblok, ngapain coba tiba-tiba pake bilang 'jangan suke gue ya, Raf'. Gunanya apa coba?” Surya dibuat emosi, tapi dia harus menahan kekesalan itu lantaran masih teringat akan situasinya sekarang. Mereka masih berada di dalam kelas yang sedang berlangsung.

“Emangnya apa yang salah? Itu aja keluar langsung dari mulut gue, mana ada gue rencanain buat ngomong kayak gitu. Lagian juga bukan itu masalahnya, gue mau cari tau kenapa dia ngilang beberapa hari ini.” ucap Arga menjelaskan untuk membuat Surya mengerti dari sudut pandangnya.

Sedangkan Surya hanya menghela nafasnya berat. Temannya ini benar-benar, entah memang tidak peka atau menolak untuk mengerti?

“Dahlah, capek gue.”

Dia menyerah dulu, saat ini. Enggak tahu kalau nanti.


Arga menatap Rafka yang saat ini masih sibuk berbicara dengan teman satu UKM-nya. Terlalu sibuk memperhatikan Rafka sepertinya membuat Arga bahkan tidak sadar jika sosok yang dia perhatikan sedang berjalan ke arahnya.

“Arga!” panggil Rafka. Si Agustus tersenyum ketika melihat pemuda bersurai merah muda itu telah berada di hadapannya. “Udah selesai?” tanyanya yang dibalas gelengan oleh Rafka.

“Masih harus beres-beres tapi kata Bang Arsen gue bisa istirahat aja takut entar lo marah lagi haha...” Arga meringis mengingat bagaimana kemarin dia yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang rapat dan menginterupsi keadaan. “Sorry,” sesalnya.

“Gakpapa. Btw lo udah makan? Seharian di sini gak bosen apa?” tanya Rafka. Arga menunjuk ke arah kursi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Gue udah beli makanan. Cuman nungguin lo doang daritadi.”

Mereka berdua berjalan menuju tempat duduk tersebut, membuka makanan yang dibawa oleh Arga, lalu berbincang-bincang kecil sembari menikmati makanannya.

“Eh, Raf. Lo tau gak sih?” tanya Arga.

“Biasanya kalo udah ada kata—lo tau gak sih lo tau gak sih, udah masuk sesi gibah.”

Arga terkekeh, “Kagak juga ah.”

“Tau apaan emang?”

“Kucing, kalo jalan pasti pake kaki. Tau gak?”

Rafka menarik nafas dalam-dalam ketika mendengarnya. “Anak kecil juga tau itu kali!” Lalu diliriknya sinis Putra Argantara itu. “Lanjutin makannya ah!”


Saat mereka berdua telah menghabiskan makanan yang dipesan Arga. Rafka mencuri pandang pada sosok Arga yang sedang bermain ponsel genggamnya serius. Pemuda yang lebih kecil di antara mereka berdua itu memikirkan sesuatu yang seharusnya terjadi kemarin, tetapi harus tertunda lantaran kedatangan Vania secara tiba-tiba.

Rafka menyukai sosok di depannya, tidak, lebih tepatnya Rafka telah jatuh hati pada pemuda yang menjadi sahabatnya itu. Sebenarnya dia bukanlah tipe yang akan memberikan kode terlebih dahulu jika menyukai seseorang. Dia lebih suka spontanitas; lebih baik mengutarakan secara langsung.

Namun entah kenapa, hal itu tidak terjadi saat dirinya sadar dia memiliki perasaan lebih pada Arga. Sosok Argantara ini terasa berbeda. Ada rasa ragu di dalam hatinya, dan dia tidak berani jika harus mengatakan secara langsung tentang perasaan yang dia miliki.

Meskipun begitu, Rafka berfikir dia juga tidak bisa terus-terusan menahan perasaannya. Apalagi melihat respon yang diberikan Arga pada semua kode yang telah dia berikan.

“Raf, lo mikirin apa?” sergap Arga ketika melihat sosok di hadapannya yang mana hal tersebut membuat lamunan Rafka sesaat lalu buyar akibat pertanyaan tiba-tiba dari Argantara itu.

'Gue harus mastiin dulu kali, ya?'

“Ga, gue penasaran satu hal. Gue boleh nanya?” ujar Rafka hati-hati dan berusaha setenang mungkin seperti biasanya, meski tidak bisa ia bohongi kalau detak jantungnya kini mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Arga hanya mengangguk sebagai balasan.

“Tweetan lo kemarin ... yang bilang gak bisa tuh maksudnya lo gak bisa punya pacar?” Arga menegang mendengar pertanyaan tak terduga dari lawan bicaranya itu. Tapi sedetik kemudian ia memilih untuk menjawab dengan terlebih dulu menormalkan kembali persendian pada tubuhnya.

“Dalam waktu dekat ini, iya. Dan mungkin akan berlangsung lama...”

Rafka mengerutkan keningnya pertanda bingung. “Kenapa?”

Arga mengambil nafasnya sedikit berat. “Cuz ... I just think that it's not important tho.” balas Arga setenang mungkin.

“Lo pernah dapat sesuatu yang buruk dari pacaran?” tebak Rafka.

“Ya.”

Mendengar jawaban dari Arga, membuat Rafka menjadi sedikit was-was.

“Gue pernah kenal seseorang yang bikin gue jadi punya pemikiran kayak gitu. Gue sekarang menganggap kalo cinta itu gak lebih dari sekedar hal yang nyusahin. Dan emang terbukti, love only makes everything hard.”

Nafas Rafka seakan tertahan mendengar lanjutan kalimat dari lelaki yang lebih muda. “But do you know, it's not that hard? Cinta gak seburuk itu kok, Ga. Dia juga punya sisi lain yang bisa bikin orang bahagia.” Rafka berusaha mematahkan opini Arga yang menurutnya salah.

Ada jeda sejenak sebelum jawaban keluar dari Argantara, “Maybe, apa yang lo bilang emang bener. Tapi hal itu bukan buat gue...”

“Gimana kalo seseorang ngaku sama lo kalo dia suk— eh, cinta sama lo?”

Arga tidak langsung menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Rafka. Lelaki itu terlihat berpikir sebentar yang mana membuat detak jantung Rafka sudah menyerupai dengan orang yang sedang berlari lomba maraton.

“They give me love. But I unsure can give that love back for them or not.” Jelas Arga dengan pandangannya yang lurus ke depan. “Dan juga... karena gue gak yakin bisa terima perasaan orang itu atau enggak. Mungkin buat saat ini gue bakal nolak, and give them some times supaya hapus perasaan yang ada buat gue...?” — “I won't hurt someone by loving me, but I didn't love them back...”

DEG!

Rasa-rasanya Rafka ingin mengulang waktu dan memilih untuk tidak menanyakan hal itu jika harus mendengar jawaban menyakitkan seperti ini.

'Secara gak langsung lo nyuruh gue buat mundur?' lirihnya dalam hati.

“Gimana kalo orangnya tuh deket sama lo? Atau anggap aja gue, lo bakalan tetep nyuruh gue ngejauh?” pertanyaan spontan itu dikeluarkan Rafka yang membuat pergerakan Arga berhenti dan menatap terkejut pada yang lebih tua.

“Maksud lo—”

“Gue bilang anggap aja.”

“Em... gue gak pernah kepikiran hal itu. Tapi kalo misalkan emang kejadian, gue gak bakalan bedain entah dia temen deket gue ataupun bukan. Tapi juga gak bakalan kejadian, kan? Soalnya lo sahabat gue.” — “Jangan suka sama gue ya Raf? Karena itu cuma bakal jadi hal yang bahkan gak pengen gue bayangin.”

Dua pemuda itu kemudian terlarut pada masing-masing pikiran yang bersarang dalam kepala. Untaian kalimat yang bahkan tidak akan bisa keluar lewat mulut karena batas keberanian yang tidak sebesar semesta raya.

Rafka rasa dia sudah tidak sanggup lagi. Kata-kata tadi... Jadi bagaimana dengan perasaannya sekarang? Siapa yang akan bertanggungjawab?

Apa yang sebenarnya Rafka bayangkan? Arga akan mengatakan bahwa dia juga memiliki perasaan padanya? Bahwa mereka berdua akan menjadi pasangan? Seharusnya Rafka sadar dari awal bahwa perasaannya memang salah. Seharusnya memang di antara mereka tidak ada yang namanya cinta. Dan Rafka menyesali ini.

Rafka, pemuda itu sudah berkaca-kaca namun dia tahan di depan Arga. “S-Sorry Ga. Kayaknya gue harus pergi dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Arga, Rafka langsung berdiri dan menjauh dari sana meninggalkan Arga yang menatap punggungnya bingung.

“Raf? Kemana?” Tanya Arga begitu didapati Rafka sudah berlari mendahuluinya dan menghilang saat dia berusaha mengejar lelaki itu.

Arga mencari di mana pun keberadaan Rafka bermaksud mengembalikan ID card yang tertinggal saat pemuda itu dengan tergesa mengemasi barang-barangnya setelah mereka makan bersama tadi.

Sesaat setelah melihat ponselnya dan mengantongi kembali benda persegi panjang itu ke dalam tas selempangnya, Arga perhatikan ID card yang ada di tangannya itu. “Besok aja deh ngembaliinnya, anaknya udah pulang.” Lalu memastikan benda itu aman tersimpan dalam saku jaketnya.

Cukup lama bagi Arga sampai akhirnya dia menapakkan kakinya di area parkiran. Pemuda itu harus berjalan melewati deretan parkir untuk mobil terlebih dahulu sebelum bisa bertemu dengan motor kesayangannya di parkiran ujung. Namun saat melewati area itu, sepertinya Arga mendengar sesuatu dari arah jam dua. Dia semakin mendekat ke arah sumber suara untuk memastikan kalau pendengarannya tidak salah mengira.

Bersembunyi di balik salah satu mobil yang terparkir, Arga dapat melihat kalau ada seorang lelaki yang sedang duduk berjongkok ditemani seorang gadis di sampingnya. Lelaki itu menangis dan gadis tadi mengusap punggungnya berusaha menenangkan; berusaha meredakan tangisnya.

Arga gertakkan buku-buku giginya ketika melihat kejadian itu. Rahangnya tampak mengeras menahan segala bentuk rasa yang kini datang menghampiri.

'Kenapa?' 'Kenapa dia nangis?' 'Kenapa cewek itu selalu ada deket dia?' 'Dan kenapa dia bohong bilang kalo udah pulang?'

Nyatanya Rafka belum pulang. Nyatanya Rafka masih di sana. Di samping mobil putihnya dan kini tengah menangis dengan Ara yang berusaha menenangkan laki-laki itu.

“Sakit Ra, sakit ... Hati gue sakit...”

Samar suara itu terdengar daun telinganya. Dan ia masih betah berdiam sedikit lebih lama untuk mendengar suara-suara rancu itu.

Entah kenapa saat melihatnya, Arga merasakan rongga dadanya seperti terhimpit akan sesuatu yang tak kasat. Arga meremas tasnya kencang. Ada banyak hal yang dipikirkannya sekarang.

“Maaf.” Lirihnya tanpa sadar kini pandangannya sedikit berkabut, dan hatinya yang terasa mulai sesak seiring langkah itu menjauh dari sana.


Di tengah fokusnya menjalankan tugas sebagai panitia event yang diadakan UKM tempatnya bergabung, Rafka sudah akan kembali seusai menuntaskan urusannya di kamar mandi sesaat lalu. Namun netranya telah lebih dulu menangkap satu kehadiran yang sangat dikenalnya ketika menyusuri jalanan ke arah tempatnya semula.

Seorang pemuda dengan ciri khas rambut birunya yang tampak sedikit pudar itu terlihat sedang duduk bersantai di area gazebo menikmati segelas kopi dingin.

Dia hampiri Argantara dengan kepala yang penuh akan tanda tanya.

“Lo kok ada di sini?” Tanya Rafka ketika sudah berada tepat di hadapan Arga.

Arga menoleh ke samping, dilihatnya Rafka dengan menampilkan sedikit sunggingan senyum. “Mantau lo.”

“Hah?” Rafka mengerjap ketika mendengarnya. Dia merasa sedikit bingung dengan ucapan Arga baru saja. “Maksudnya?”

“Duduk dulu sih!” Serunya pada Rafka yang masih betah berdiri tanpa ada sedikitpun tanda-tanda pemuda itu akan duduk di samping tempatnya kini singgah.

Rafka kemudian mengambil tempat duduk di samping si surai biru yang kini mulai menggeser sedikit posisinya agar bangku itu muat diduduki mereka berdua.

“Gue cuma mau liat aja lo udah baikan apa engga ... Inget, lo kemaren habis sakit! Sekarang malah harus jadi panitia event.” Tutur Arga.

'Ah, gitu rupanya.' paham Rafka dalam hati. Pemuda itu meringis kecil seraya mengingat kembali perihal kejadian tadi malam. “Gue udah baikan Ga, kalo lo lupa, lo sendiri yang ngobatin kemaren.”

Arga mengangguk pelan kemudian. “Kalo capek nanti langsung ke medis aja, jangan dipaksain!”

“Iya iya!”

“Lo udah sarapan kan tadi?”

“Udah.”

“Obatnya?”

“Iya, gue udah minum.”

“Terus?” Jeda Arga sejenak. Dia amati Rafka dengan seksama. Lelaki bersurai merah muda itu sesekali melihat ke arah arlojinya lalu bergantian mengamati sebuah berkas yang ada dalam dekapan kedua tangannya. “Lo lagi sibuk? Jadi panitia bagian apa?”

“Panitia acara. Enggak juga, soalnya masih jam jam pesertanya ngedesain kalo sekarang. Palingan cuma disuruh ngawasin aja, tapi bukan bagian gue. Ada anak lain.” Jawab Rafka.

Arga membulatkan bibirnya sebagai isyarat tanda dia mengerti dengan penuturan Rafka barusan.

Ketika akan mengeluarkan suara kembali, sayang bibir yang sudah terbuka itu harus menutup lagi lantaran ada suara lain yang menginterupsi dari arah depan. Arga ikut memperhatikan seseorang yang disapa Rafka ramah sesaat yang lalu itu dalam diamnya.

Hingga ketika pasang netra mereka bertemu, Arga ikut tersenyum sebagai bentuk balasan saat kakak tingkat yang berada dalam satu UKM yang sama dengan Rafka itu menyapanya dengan senyuman hangat.

Rafka dan lelaki itu lalu berbincang-bincang setelahnya. Lantas, Arsen teringat akan tujuannya tadi datang menghampiri Rafka. “Oh iya Raf, tadi Ara bilang ke gue kalo ketemu lo, disuruh cepetan balik ke lab.”

“Iya Bang, bentar lagi gue juga ke sana. Makasih udah bilang ke gue.”

Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu mengangguk. “Kalo gitu gue duluan ya? Soalnya lagi bawa undangan.” Ujarnya dan kini mulai mengarahkan kepalanya pada seseorang di dekat lampu taman tak jauh dari gazebo tempatnya saat ini.

Rafka ikut melihat ke arah depan sana. Dengan jelas dapat dia lihat seorang lelaki bersurai hitam pekat berdiri menyandar tiang lampu di sebelahnya. Wajahnya tidak terlihat terlalu jelas karena posisinya saat ini yang sedang menunduk ke bawah.

“Siapa Bang?” Tanyanya karena didorong rasa penasaran.

“Kenalan gue, namanya Bang Dean.”

Tak lama setelah itu Bang Arsen menepuk sebelah bahu Rafka lalu berpamitan pergi untuk menghampiri lelaki di dekat lampu taman tersebut. Mereka berbincang singkat lantas mulai melangkah pergi meninggalkan area taman menuju ke arah gedung fakultas.

Saat menoleh ke samping, ternyata dia dapati seorang Argantara yang terfokus pada arah depan. Setelah dia telusuri, arah pandang Arga tepat mengarah pada dua orang pemuda yang sesaat lalu dia perhatikan sebelum teringat kalau Arga masih berada di sampingnya. Kedua alis Putra Argantara itu sedikit mengerut ketika dia amati dengan seksama.

Rafka perhatikan bergantian antara Argantara dan Bang Arsen beserta temannya tadi sampai dua orang laki-laki itu menghilang di tikungan gedung kampus.

“Arga!” Panggil Rafka membuat fokus Arga kini teralih ke arah dirinya. Dia penasaran. “Lo kenapa deh liat sampe segitunya?” Tanyanya.

Dengan cepat Arga lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil, “Bukan apa-apa.” Jawabnya. “Gih sana lo kan masih jadi panitia sekarang.” Lanjut Arga ketika teringat keadaan Rafka saat ini.

“Gak usah mikirin gue, lagian sebenernya gue emang mau mampir sini ... sama kepo hehe,” Lanjut Arga lagi. “Lo kalo capek nanti langsung ke medis aja! Awas lo kalo sampe ada apa-apa!”

Rafka berdecak. “Iya iya bawel amat sih lo!” Ujarnya disertai perasaan agak jengkel. “Yaudah gue mau balik ke lab. kalo gitu.” Pamit Rafka setelah itu.

Arga menjawabnya dengan deheman singkat, lalu dia perhatikan punggung Rafka yang mulai berjalan menjauh dari tempatnya sekarang. Argantara jadi teringat sesuatu yang lalu. Dia merasa tidak begitu asing. Namun dia juga tidak terlalu paham betul apa yang dirasakannya sesaat tadi. Atau mungkin hanya perasaannya saja?

'Tau ah.'