Naraversal


Sesuai janji yang dia ucapkan pada sang Bunda tadi untuk menemaninya berbelanja, sekarang Arga dan bunda Sekar sedang berada di salah satu restoran kesukaan sang bunda.

Mereka berencana makan setelah menyelesaikan sesi pertama belanja, katanya sih setelah makan akan dilanjutkan lagi. Arga sebagai anak yang berbakti tentu saja menuruti apa kata bundanya.

Sepasang ibu dan anak itu lalu memakan menu utama mereka dengan tenang. Tak lama setelah itu, seorang pramusaji yang membawakan es krim pesanan bundanya tadi mulai berjalan menghampiri ke arah meja mereka.

Arga lantas mengambil ponselnya berniat untuk menghubungi seseorang dan bertanya bagaimana keadaannya sekarang. “Jangan main hp mulu dong sayang. Bunda suapin ice creamnya ya?” ucap bunda Sekar mengalihkan perhatikan Arga kini.

“Gak usah bunda, Arga udah kenyang” Jawaban Arga sontak membuat sang bunda tidak puas. “Es krim doang ini nak, sedikit.” Sadar bahwa dirinya tidak akan menang jika ini dilanjut, Arga membuka mulutnya untuk menerima suapan dari sang Bunda.

Lalu bertepatan dengan itu, netranya kemudian melihat postingan Rafka yang mengatakan bahwa dia ke kampus hari ini, membuatnya hampir tersedak jika bunda tidak cepat-cepat memberikan air padanya.

'Beneran kepala batu nih anak. Kalo dia makin sakit gimana? Emangnya apaan sih sampai gak bisa ninggalin rapat segitunya? Palingan modus aja gak mau ketinggalan ketemu sama si Ara itu, bener-bener Rafka!'

“Arga kenapa? Bunda kebanyakan ya nyuapinnya?” tanya sang bunda khawatir. Arga sontak saja menggeleng. “Ini, Rafka hari ini ke kampus Bund.”

“Loh, memangnya kenapa?” Bunda Sekar bingung, memangnya kenapa jika salah satu teman Arga yang dia kenal sangat menggemaskan itu berada di kampus? “Dia sakit, semalem Arga ke apartnya buat ngurusin. Padahal masih lemes tapi malah ke kampus, emang bandel banget” jelas Argantara pada bundanya yang kini mengangguk mengerti.

“Mungkin dia punya kepentingan yang gak bisa ditunda, kan? Tenang aja nak. Temen kamu itu pasti baik-baik saja.” ucap bunda menenangkan sang anak tetapi sepertinya itu tidak berhasil. “Kamu bilang Rafka tinggal sendiri, kan? Gimana kalo besok ajak dia ke rumah? Bunda bikinin sup khusus buat dia. Siapa tau sup ajaibnya bunda bisa bikin Rafka sembuh, kan?” Arga lalu mengangguk mengiyakan. Dia berharap apa yang dikatakan bunda nya itu benar-benar terjadi.

“Oh iya, Arga sekarang gak deket sama seseorang?” tanya sang bunda tiba-tiba membuat Arga hanya memikirkan satu nama di kepalanya. Tapi tak mungkin dia sebutkan. “Kenapa Bund?” Tanyanya.

“Kamu gak pernah cerita kalo deket sama perempuan manapun. Bunda kan juga pengen denger anak bungsunya bunda yang paling kecil ini curhat masalah pacarnya sama Bunda.”

Arga tertegun mendengar perkataan sang bunda. Sudah sejak lama dirinya tidak memikirkan percintaan dengan begitu serius, apalagi memikirkan tentang memiliki seorang kekasih... Arga rasa-rasanya mungkin tidak akan bisa. Tidak setelah kejadian dahulu masih menghantuinya sampai saat ini.

“Gak ada Bunda.” Hanya itu yang bisa Arga jawab. Bundanya menghela napas pelan saat lagi-lagi mendengar jawaban yang sama dari sang anak.

“Emangnya Bunda rela nanti Arga berduaan terus sama pacarnya Arga? Nanti jarang loh bisa main-main sama Arga lagi. Emang gak bakalan kangen sama Arga? Kalo Arga sih masih belum mau, masih pengen sama Bunda hehe.” Menyadari perubahan mood sang ibunda, Arga berusaha mengubah suasananya menjadi seperti biasa kembali.

“Kamu gak punya pacar pun ya sama aja. Jarang di rumah. Sama kayak Ayah kamu.” protes wanita paruh baya itu pada anak bungsunya. Arga tertawa melihat ekspresi bunda kesayangannya itu. “Ya maaf Bunda. Namanya juga anak muda kan?banyak nongkrongnya hehe.”

“Bunda bahkan bisa bilang kalo kamu tuh udah lebih sibuk daripada Ayah. Bunda lebih sering ngeliat ayah di rumah daripada kamu. Kan bunda kangen, kalo Arga lagi keluar sering-sering.” Arga menyadari bahwa memang akhir-akhir ini dia sering bermain dengan teman-temannya. Dia tidak menyangka hal itu berefek pada bundanya.

“Bunda kangen sama Arga yang sering manja-manja ke Bunda. Bunda kangen masak bareng sama Arga lagi. Bosen sama ayah terus. Si ayah jahilnya gak ketulungan. Katanya suka liat bunda ngomel.”

Arga menggenggam jari sang bunda yang sedang memainkan sendok es krimnya. “Maafin Arga yah Bund? Janji deh bakalan kurangin jadwal keluarnya hehe. Nanti Arga bakalan sering di rumah bareng Bunda, oke? Jangan sedih lagi, Arga gak suka kalo bunda sedih. Apalagi karena Arga, Arga bakalan selalu pastiin kalo Bunda bakalan terus bahagia. Arga janji.” Perkataan anaknya itu membuat dirinya berkaca-kaca. Anaknya benar-benar sudah tumbuh dewasa.

“Ih kamu mah, bikin Bunda mau nangis. Siapa yang mau tanggung jawab kalo maskara Bunda luntur?” Ucapan polos sang bunda membuat Arga tak bisa lagi menahan tawanya.

“Hahahaha maaf.”


Arga memasuki apartemen Rafka setelah membeli obat penurun panas dan Bye Bye Fever untuk lelaki yang tengah dirundung sakit demam itu. Memikirkan Rafka yang kesal karena dipanggil Bayi saja membuat Arga merasa akan sangat menyenangkan menjahilinya dengan panggilan yang tiba-tiba melintas dalam isi kepalanya sesaat lalu.

Tungkainya dia bawa menuju ke arah dapur untuk mengambil air dan langsung membawanya masuk ke dalam kamar sang pemilik rumah.

Tapi tidak disangka, pemandangan yang menyambutnya adalah Rafka yang sedang tertidur dengan setengah tubuh yang tertutupi selimut. Benar-benar seperti bayi.

Arga menaruh gelas berisi air dan kantong yang berisi obat itu di nakas sebelah ranjang pemuda bersurai merah muda tersebut. Raganya perlahan dia buat semakin merendah untuk menyesuaikan posisinya dengan ukuran ranjang milik Rafka. Tangannya lantas bergerak memperbaiki posisi selimut yang terlihat acak itu untuk menutupi tubuh Rafka sampai sebatas leher yang lebih tua.

Diperhatikannya wajah pemuda yang sedang tertidur itu dengan seksama selama beberapa menit. Rafka begitu menggemaskan saat ini. Arga tidak mengerti, kenapa lelaki yang sedang tertidur lelap itu kesal jika dipanggil dengan sebutan bayi disaat dia memang benar-benar mirip dengan sebutan yang dia sematkan untuk pemuda itu?

Wajah di hadapannya itu terlihat damai dengan nafas teraturnya, pipi yang pernah tidak sengaja dia sentuh yang terlihat sedikit membulat, mata tertutup yang membuat bulu matanya terlihat jelas, hidung mancung, dan juga bibir yang sedikit beri—

“Eungh~” lenguhan dari Rafka membuat Arga tersadar akan apa yang sudah dia pikirkan.

'Kenapa juga gue jadi analisis mukanya Rafka?!' keluh sang Argantara dalam hati lalu tanpa sengaja matanya menangkap kening Rafka yang mengkerut dalam tidurnya.

'Dia gak nyaman? Atau mimpi? Apa perlu di puk-puk beneran?' Refleks Arga langsung membawa tangannya untuk menepuk-nepuk pelan bahu Rafka untuk menenangkan pemuda itu. Dapat Arga lihat, perlahan kerutan itu menghilang.

Arga tersenyum kecil. Dia merasa seperti sedang merawat bayi yang sedang sakit. Suasana seperti ini harus diabadikan dalam sebuah momen yang nantinya dapat dia kenang.

Dengan cepat tangannya mengambil ponsel di dalam saku lantas memotret beberapa gambar Rafka yang sedang tertidur.

'Gemes banget, pengen gue cubit tapi lagi tidur.'

Saat melihat-lihat hasil jepretannya, tiba-tiba notifikasi dari sang Bunda muncul dan menanyakan kenapa dirinya belum pulang? Dilihatnya jam yang terpampang pada layar ponsel genggam itu, Arga lalu menyadari kalau ternyata memang sudah sangat malam.

Dia lantas berdiri setelah memastikan bahwa Rafka benar-benar sudah nyaman di dalam selimut yang dia buat senyaman mungkin melingkupi tubuh yang lebih kecil dari miliknya itu. Kemudian mengeluarkan obat yang sudah dibelinya tadi, serta mengambil notes di meja belajar Rafka dan menuliskan beberapa kalimat di atasnya.

Setelah selesai dengan semua itu, Arga bersiap untuk pulang. “Raf, gue pulang, ya? Maaf gak bangunin lo ... Cepet sembuh bayi! Gue gak suka liat lo sakit gini...” ucap Arga lalu mengambil jaket yang berada di meja belajar Rafka dan keluar dari kamar pemuda tersebut.

Tepat setelah pintu kamar Rafka ditutup, sang pemilik kamar perlahan membuka matanya dengan pipi yang memerah malu.

“Anjir! Arga! Lo kalo mau ngebunuh gue tuh caranya gak gini anjir! Bisa-bisanya lo bikin gue deg-degan sampe rasanya mau meledak?!” lirih Rafka dan tak lama setelah itu menarik selimut untuk menutupi seluruh wajahnya yang kini sudah mengeluarkan berbagai macam ekspresi akibat salah tingkah karena seorang pemuda bernama Argantara.


cw // harshwords


| Arga, bunda ada urusan di luar | Pulangnya mungkin agak malaman | Kuncinya bunda taroh di pot bunga mawar

Setelah membaca sederet pesan dari sang Bunda yang berkata kalau hari ini beliau sedang ada acara di luar rumah, Arga kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas ranselnya.

“Sur, gue mampir ke kos lo ya?” Ujarnya pada seorang Surya Adilansah yang ada di samping kirinya.

“Kenapa lo gak balik?” Tanya Surya.

“Rumah sepi. Ayah gue lagi keluar kota. Bunda barusan bilang lagi ada acara di luar.” Jelas Arga.

Surya mengangguk paham. “Ya udah.”

Dua pemuda berambut warna serupa itu lantas berjalan menuju kendaraannya masing-masing dan pergi meninggalkan area parkiran untuk menuju Kos Surya yang letaknya tidak seberapa jauh dari gedung kampus tersebut.

Sesaat setelah sampai, Arga dan Surya turun dari motornya lalu berjalan ke lantai dua. Menghampiri sepetak kamar yang terletak paling ujung di mana tempat Surya berada.

Setelah membuka pintu bercat putih tersebut, mereka langsung masuk ke dalam sana. Arga meletakkan tasnya di samping meja belajar. Sedangkan Surya meletakkan tasnya di tempat biasanya, gantungan di balik pintu masuk kamarnya.

“Lo mau makan dulu gak?” Tanya Surya begitu mendudukkan dirinya pada kursi yang terletak di dekat meja belajarnya. “Mang Ujang biasanya lewat bentar lagi.”

Arga mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel pada genggamannya. Dia lirik sekilas temannya itu. “Iya, gue mau.”

Tepat setelah itu, terdengar samar suara lonceng khas orang berjualan dari arah bawah. Arga merogoh saku bajunya untuk mencari selembar uang lalu menyerahkannya pada Surya.

Argantara kembali memainkan ponsel miliknya sambil bersandar pada kepala ranjang di belakangnya ketika sang putra Adilansah baru saja menghilang di balik pintu kamar yang terbuka lebar itu.

Setelah menunggu beberapa saat, barulah Surya kembali dengan dua bungkusan di tangan kanannya. Dia lalu mengambil dua buah sendok yang salah satunya diberikan kepada Arga. Mereka kemudian duduk di lantai dan mulai memakan nasi goreng itu bersama.

Menghabiskan beberapa menit menghabiskan makanan tadi. Arga teringat akan sebuah pemikiran yang sesaat lalu melintas ketika dia tengah menyantap nasi goreng miliknya. Dia lantas suarakan itu kepada Surya. “Btw, gue aslinya mau interogasi lo!” Ujarnya setelah Surya kembali dari luar kamar untuk membuang sisa bungkus makanan mereka.

“Apaan dah?” Tanya Surya merasa kebingungan dengan yang diucapkan Arga barusan.

“Lo lagi deket ya sama seseorang?” Argantara langsung saja memberi Surya pertanyaan inti tanpa sedikitpun basa-basi. Dia penasaran akan sebuah tanya yang kerap kali mampir dalam kepalanya seolah menuntut agar segera tahu jawabnya. Arga tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama.

“Kok lo tahu?” Surya sedikit terkejut ketika mendengarnya. Pasalnya saja, dia tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan kalau dia sedang dekat dengan orang lain selain Arga dan temannya yang lainnya.

Arga mendengus menanggapi itu. Apa jangan-jangan yang dipikirkannya saat ini benar? Kalau Surya memang sedang dekat dengan serangkai nama yang kini terus-terusan dielukan oleh isi kepalanya? Dekat dalam artian, dekat lebih dari sekedar teman?

“Lo gak usah pdkt lagi deh, gue bilangin, dia cuma main-main sama lo Sur. Gue gak mau entar lo sakit hati karena dia.”

“Lo tau darimana? Gak usah bilang ini itu kalo lo sendiri aja gak tau gimana aslinya dia.” Surya merasa sedikit terbawa emosi. Alisnya sudah berkerut tanda tidak terima dengan ucapan Arga baru saja.

“Dia sering bilang bercanda. Sering gak terlalu serius sama perasaannya sendiri. Sur ... Gue cuma gak mau temen temen gue jadi ajang main-main gitu. Gue bilang juga demi kebaikan lo.” Jelas Arga dengan raut muka serius. Ada perasaan tidak nyaman yang tersemat dalam hatinya saat mengatakan itu. Rasa gelisah yang cukup mengganggu hanya karena membayangkannya saja. Arga menyayangi semua temannya, tidak peduli mau dia sedekat apapun itu kalau menurutnya salah, dia akan berusaha meluruskan apa yang seharusnya perlu dia lakukan.

“Apa ini? Sejak kapan juga lo jadi deket sama dia? Lo main di belakang gue?” Surya bertanya memastikan. Batinnya saat ini berkeluh prasangka prasangka yang tiba-tiba muncul secara tak terduga.

“Dia juga temen gue? Gak masalah lah kalo deket.”

“Oh ... Karena temen, jadinya gapapa kalo nikung gitu?”

Arga terkesiap. “Apaan sih? Kok jadi nikung?”

“Lo kan yang barusan bilang kalo juga lagi deket sama Kayla! Bahkan gue aja gak tahu dan lo gak pernah ngasih tahu ke gue!”

Lagi, Arga terkesiap untuk yang kedua kali. “HAH?!” Nada suaranya sama sekali tidak bisa dibilang pelan. “Apa lo bilang? Kayla?” Tanyanya. “Bangsat ... Kok jadi Kayla anjing?!”

“Lah emang Kayla sat! Lo pikir siapa?!”

Arga sudah tidak tahu lagi harus bereaksi yang bagaimana. Emosi yang tadinya meluap-luap, tiba-tiba saja jatuh pada titik terendah sehingga dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Perkiraannya jelas berbeda jauh dengan yang Surya ucapkan baru saja.

“Gue ... Gue pikir lo—sama Rafka — lo berdua enggak ... ??” Ujar Argantara terbata-bata. Nadanya sangat lirih ketika mulut itu mengeluarkan suara.

“Apaan anjing? Lo kalo ngomong yang jelas!”

“Gue kira lo lagi deket sama Rafka bangsat!” Ujarnya kembali dengan sedikit meninggikan suara.

“Haha lucu lo! Mana ada gue lagi pdkt sama Rafka! Gue sama dia ya cuma temenan biasa!” Surya hanya bisa tertawa mengejek lelaki di depannya itu. Sudah dibuat emosi tinggi-tinggi, ternyata hanya sebuah kesalahpahaman saja yang didapati. Surya rasa-rasanya mau menghias wajah datar di hadapannya itu dengan pukulan-pukulan yang sangat ingin dia layangkan ke arah sang teman saat ini.

“Gak lebih?”

“Gak lah!”

Arga menjeda sesaat. Kasar nafas itu dia hembuskan setelahnya. “Jangan mainin perasaan anak orang Sur. Rafka ... pernah bilang kalo dia suka lo. Tapi nyatanya lo bilang sendiri kalo sekarang lagi deket sama Kayla, yang mana temen dia.”

Buku-buku tangannya mengepal. Putra Adilansah itu benar dibuat kesal. “Rafka emang baik, tapi gue sama dia emang cuma temenan biasa. Gue gak pernah mainin perasaan dia anjir!” Ujarnya dengan luapan emosi yang menggebu-nggebu. “Lo kalo gak percaya gue tanyain anaknya langsung lah besok! Anjing emosi gue!”

Cukup lama mereka bertahan dalam keterdiaman. Cukup lama juga Argantara memikirkan kembali pasal yang baru saja terjadi. Apa dia sedikit keterlaluan? Entah bagaimana bisa mereka berakhir pada luapan emosi yang sama-sama tidak mau kalah. Arga sama sekali tidak menduga kalau mereka akan saling melempar berbagai amarah.

Arga akhirnya meruntuhkan sedikit egonya dan menjadi yang pertama kali membuka bibirnya dengan kalimat permintaan maaf. “Gue tahu gue salah. Maaf udah emosi. Maaf juga udah salah paham ... Tapi lo gak pernah cerita ke gue, ya mana gue tau lah bego!”

Surya merorasikan bola matanya menanggapai itu. “Males. Lo bikin males duluan sebelum gue cerita.”

“Anjir! Gue kan udah minta maaf barusan!”

“Asalnya gue mau cerita ke lo, tapi gak sekarang. Buat apa gue koar-koar cerita lagi deket sama seseorang tapi endingnya malah gak jadi.” Jelas Surya masih dengan perasaan dongkol yang tersisa. “Mending gue diem-diem aja ... tapi pasti.”

Surya memilih mengambil tempat di pojok kasur dan membaringkan tubuhnya yang lelah akibat hari yang cukup padat dengan jadwal perkuliahan, belum lagi ditambah dengan amarah yang datangnya tanpa diduga karena seorang Argantara yang menyulut api barusan.

“Dari yang gue liat aja, si Rafka kayanya lagi suka orang lain ... Gak mungkin lah gue deket sama dia hahaha ngaco!”

“Rafka suka orang lain? Siapa?” Tanya Arga penasaran dengan apa yang Surya ucapkan baru saja.

“Lah mana gue tau?! Lo kan yang lebih deket sama dia! Harusnya lo yang lebih tau dong?!”

“Ck ... Ya itu tadi! Gue kira lo orangnya yang dia suka. Gue kira lo lagi deket sama dia!”

“Ya lo tanya lah kalo gitu sama orangnya langsung!”

Surya perhatikan apa yang dilakukan Putra Argantara itu. Dia perhatikan bagaimana raut muka yang dihias semu merah itu menjadi semakin tertekuk seperti tidak puas akan sesuatu.

Surya sebenarnya masih belum yakin. Mungkin saja dugaannya bisa benar atau salah dalam mengira suatu hal. Namun menilik dari yang pernah netranya tangkap dan dia ingat betul kejadian saat di rumah Arga waktu itu. Saat hari dimana Argantara bertambah usianya menjadi genap dua puluh satu tahun. Sepertinya ada kemungkinan dugannya benar meskipun hanya sepersekian persentase yang didapat.

“Lo orangnya Ga, kayaknya...” Gumam Surya lirih, nyaris tak terdengar.

“Lo ngomong sesuatu?” Tanya Arga begitu mendengar suara namun tak jelas kalimat itu tertangkap daun telinganya.

Surya yang penasaran akan satu hal. Dia mencoba mengalihkan itu dengan bertanya pada Arga. “Kenapa lo kayak marah gitu tadi? Lo kayak gak mau kalo Rafka deket sama orang lain, kenapa? Apa lo suka?”

Argantara mau mengeluarkan suara, tapi entah kenapa dia malah membungkam kembali bibirnya. Lidahnya terasa kelu ketika mau mengucap berbagai kata. Akhirnya dia hanya bisa menelan kembali dan memilih menghembuskan nafasnya kasar ke udara.

Ada perasaan tidak nyaman ketika Surya melontarkan pertanyaan barusan. Hatinya seperti bergemuruh tanpa alasan. Arga takut. Takut kalau semuanya menjadi salah karena ketidakyakinan yang masih belum jelas dari dirinya.

Dia takut ... akan ketakutan itu sendiri.

“Gak kenapa napa.” Pada akhirnya Arga hanya mampu mengucapkan kalimat pengakhir seperti itu.

Surya diam, tapi bibirnya seperti bergerak abstrak. 'Lo bahkan gak jujur sama perasaan lo sendiri.'

“Basi ah, gue mau tidur. Bangunin gue kalo mau pulang.”


FYI: Porma (Pekan Olahraga Mahasiswa) yang diadakan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa itu sendiri, dalam rangka merayakan hari kemerdekaan. Lomba yang diikuti oleh setiap program studi yang nantinya akan bermain melawan program studi lain.


“Bund, Arga berangkat dulu, ya?” Arga mencium tangan Bundanya setelah berpamitan.

“Iya, hati-hati,” balas Bunda Sekar. Saat sepasang matanya melihat ke arah tangan kiri sang putra, wanita cantik itu lantas bertanya, “Kok bawa helm-nya Bunda? Kamu nggak pakai helm-mu sendiri?”

Arga mengalihkan pandangannya ke arah helm di tangannya. Helm cokelat yang biasa digunakan bundanya tiap kali bepergian ke luar rumah. Lalu digoyangkannya pelan benda tersebut di hadapan sang Bunda. “Buat Rafka ... Arga pinjam dulu bentar ya, Bund?” Putra Argantata itu meminta izin kepada bundanya terlebih dahulu sebelum helm tersebut nantinya dia pinjamkan kepada Rafka.

“Ooohhh, ya udah kalau gitu kamu hati-hati di jalan.” Peringat Bunda Sekar kepada anak laki-lakinya itu kemudian. Tak lupa senyuman kini sudah terbit pada parasnya yang masih tampak cantik di umur yang kesekian.

“Iya, Bund.”

Setelah berpamitan, Arga lalu beranjak dari ruang tamu menuju ke arah garasi rumahnya. Putra Argantara itu lalu mengeluarkan motor berwarna hitam tersebut sampai ke depan pagar rumahnya. Ditutupnya pintu pagar itu, lalu tak lama setelahnya Miko mulai berbaur pada jalanan yang terlihat sedikit ramai kala petang beranjak malam seperti sekarang.

Argantara menghentikan motornya tak jauh dari area pintu masuk ketika dia baru saja tiba di depan kawasan salah satu apartemen mewah bagian Jakarta Selatan. Setelahnya, pemuda itu ketikkan satu pesan untuk seseorang di seberang. Kini dia hanya perlu menunggu orang tersebut.

Selang beberapa menit kemudian, terlihat Rafka keluar melewati pembatas pintu masuk di depan sana dan berjalan ke arahnya. Lelaki dengan surai merah muda itu lalu berhenti tepat saat sampai di sebelahnya.

“Kok cuma pake denim? Kata lo takut masuk angin?” Tanya Arga ketika tertangkap dalam pandang, Rafka mengenakan luaran jaket denim berwarna navy yang dibiarkan terbuka begitu saja tanpa ada satupun kancing yang dikaitkan.

“Sweater gue udah tebel lagian ... Kalo pake jaket yang tebel juga entar malah gue yang kegerahan.” Ujarnya menjelaskan.

Arga membiarkannya saja lalu bergerak menyerahkan satu helm yang dibawanya pada tangki bensin itu ke hadapan Rafka.

“Lo tau cara pakainya, kan?” Arga bertanya saat Rafka baru saja menerima helm dari tangannya dan terlihat mulai memasangkan benda berbentuk bulat itu melingkupi kepalanya sendiri.

“Tau...”

Arga perhatikan gerakan si surai merah muda. Tangannya berulang kali berusaha mengaitkan tali pada bagian bawah helm agar melingkar melindungi kepalanya seutuhnya. Kekehan seorang Argantara terdengar lirih tak lama setelah itu. “Iya deh yang tau...” Sindirnya yang berhasil mengalihkan perhatian si kecil itu menatapnya.

“Susah tau ... gak keliatan talinya.” Ungkap Rafka.

“Deketan sini.” Pinta Arga dengan tangan kirinya dia lambaikan di depan Rafka. Meminta lelaki itu untuk lebih mendekat. Dengan telaten dirinya membantu Rafka memasang kaitan helm tersebut.

“Dah selesai.” Ucap Arga kemudian.

Rafka kembali pada kesadarannya semula yang sesaat lalu seperti direnggut oleh angin malam. Lekat kedua netra itu memandang paras yang tadinya hanya berjarak sekitar beberapa senti dari wajahnya yang kini terasa sedikit memanas. Rafka berdehem nyaris tak terdengar untuk menetralkan suasana kala itu.

“Naik gih!” Arga meminta Rafka untuk lekas menaiki jok bagian belakang yang terlihat sedikit menanjak dari jok bagian depan itu. Rafka hanya menanggapinya dengan gumaman singkat. Arga lalu menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat. “Lo bisa naiknya gak?” Tanyanya saat dilihat Rafka sudah tampak bersiap menaiki motornya.

“Bisa lah,”

“Nyampe gak?”

Rafka melipat kedua alisnya. Memandang Putra Argantara itu sedikit tidak terima. “Heh! Gue tinggi ya btw! Enak aja lo kalo ngomong!”

Arga terkekeh. “Tapi masih tinggian gue—aduh!” Si surai biru itu seketika mengaduh lantaran Rafka baru saja memukul punggungnya. Pukulannya lumayan kencang ngomong-ngomong. Masih dapat dirasakan oleh Putra Argantara itu di permukaan tubuh bagian belakang tersebut. “Kok gue dipukul?!”

“Lo ngeselin!” Protes Rafka. “Gue gak jadi aja deh ikut lo!” Ancam si surai merah muda itu kepada pemuda di hadapannya.

“Eh, jangan dong.” Arga sudah was-was kalau Rafka akan membatalkan ajakannya tiba-tiba. “Iya ya udah gue diem ... Tapi ini gue tanya serius, lo bisa gak naiknya?”

“Bisa! Lo balik badan sana!” Lalu tak lama setelah itu, Arga menuruti kemauan Rafka dan segera membalikkan badannya ke depan seperti semula. Rafka memegang kedua pundak yang berhoodie hitam, dia berpegangan dan bertumpu pada pundak kokoh itu untuk membantu mengangkat berat tubuhnya sendiri ketika sebelah kaki miliknya sudah berpijak pada footstep motor hitam tersebut.

Kini lelaki yang bersurai merah muda itu sudah duduk dengan tenang di jok bagian belakang motornya. “Pegangan...” Ujar Arga setelahnya.

“Udah.”

Kemudian Arga dapati ada sepasang tangan yang menggenggam sisi-sisi samping hoodienya ketika dia merunduk ke bawah. Tangan-tangan itu nyaris tak terlihat di balik jaket denim yang menutup permukaannya. Entah kenapa hawa di sekitar wajahnya semakin lama semakin memanas saat dia arahkan kepalanya kembali seperti semula. Arga buka kaca depan helm full-face miliknya.

Sepertinya ia harus terus membuka kaca itu guna meredakan panas yang dirasakannya sepanjang perjalan menuju tempat tujuan mereka.


Setelah memarkirkan motornya di tempat parkir yang sudah tersedia, Arga lalu mematikan mesin itu dan mengunci motornya. Dia lepas helm miliknya lalu segera beranjak dari motor hitam tersebut menemui Rafka yang terlebih dulu turun dan kini sudah menunggunya di dekat salah satu tiang lampu di sana.

Dua pemuda itu lalu berjalan ke tempat penitipan barang dan menitipkan helm yang mereka bawa pada tangan. Rafka menerima kartu nomor penitipan barang tersebut lantas menyimpannya di dalam tas selempang kecil yang dia bawa.

“Lo mau beli minum dulu gak?” Tanya Arga saat keduanya sampai di depan sebuah mesin penjual minuman otomatis yang ada di area depan sebelum pintu masuk gedung.

“Boleh.”

“Minum apa?”

“Fruit tea blackcurrant aja.”

“Oke.”

Arga lalu berkutat dengan mesin itu untuk membeli dua minuman untuk dirinya dan Rafka. Setelah selesai, dia menyerahkan botol kemasan ungu tersebut kepada pemuda yang bersurai merah muda. Sedang satu botol lainnya yang bewarna hijau pada tangan kirinya dengan segera dibuka, lantas meneguk minuman bersoda itu masuk melewati kerongkongannya.

Rafka menyerahkan selembar uang kertas di hadapan Arga. Bermaksud mengganti uang yang sesaat lalu dikeluarkan oleh pemuda bersurai biru itu untuk membeli minuman titipannya.

“Apa?” Arga bertanya setelah selesai meminum minumannya.

“Uang fruit tea.” Jawab Rafka.

“Gak usah Raf, simpen aja ... kan tadi gue bilang mau traktir.”

“Ih tapi—”

“Udah gak papa, yuk masuk!” Potong Arga sebelum Rafka sempat menyelesaikan kalimatnya. Mereka lalu berjalan beriringan memasuki gymnasium itu dan menuju ke area tribun yang terlihat sudah banyak mahasiswa lainnya di sana. Arga menghampiri salah satu kerumunan disusul Rafka mengekor di belakang dia. Ternyata pemuda bersurai biru itu menghampiri kelasnya sendiri. Terlihat dari sebuah banner yang diangkat tinggi pada area tribun paling atas tersebut.

Mereka duduk pada salah satu kursi tribun kosong, dengan Rafka yang memilih duduk di kursi paling ujung dekat dengan jalan tempat berlalu lalang para mahasiswa di sana.

“Woi Ga! Udah dateng lo?” Sapa pemuda berbaju putih, salah seorang teman satu progam studi dengan yang bernama Argantara.

“Iya.”

“Temen lo?” Tanyanya sambil menoleh menatap pada seseorang di sampingnya. Arga hanya menjawabnya dengan gumaman. “Mainnya kapan?” Lalu dia bertanya memastikan tentang kapan kiranya pertandingan malam hari itu akan segera bermula.

“Bentar lagi keknya ... Katanya tadi jam 8 mulai.”

Arga membulatkan mulutnya seperti berbicara OH tanpa suara. Setelahnya, dia menoleh ke samping kiri menatap ke arah Rafka. “Lo nanti mau makan di mana?” Tanyanya pada lelaki yang terlihat mengedarkan pandangannya ke sekitar.

“Terserah lo aja deh.” Jawab Rafka sekenanya. “Kan lo yang traktir, gue cuma ngikut aja.” Lanjut laki-laki itu.

Tepat saat jam menunjukkan pukul delapan lewat beberapa menit, pertandingan akhirnya dimulai.

Terlihat suasana gymnasium juga mulai ramai akibat sorakan para mahasiswa yang saling bersahutan menyemangati teamnya masing-masing. Tak terkecuali teman kelas Arga. Mereka kompak meneriakkan yel yel kelasnya untuk menyemangati team futsal yang saat ini sedang bertanding melawan kelas lain di bawah sana.

Rafka dapat melihat Surya dari tempat duduknya saat ini. Jelas, karena warna rambut pemuda itu yang tampak sedikit mencolok seperti seseorang yang duduk di sampingnya sekarang. Dia beberapa kali dibuat terkejut ketika Arga dengan suara beratnya ikut berteriak bersama teman-teman satu kelasnya.

Ada yang bagian menari di barisan depan. Ada juga yang berperan sebagai pemandu sorak dan membawa benda berkilauan di tangannya. Juga ada yang seperti instruktur pemandu gerakan yang nantinya akan diikuti teman satu kelas untuk lebih memeriahkan suasana kala itu.

Rafka mengikuti semuanya. Dia ikut bersenang-senang dengan teman kelas Arga yang lain meski tak bisa ia pungkiri kalau hatinya juga dibuat berdebar kencang melihat pertandingan itu.

Arga sedang fokus melihat ke bawah sana, ketika Rafka tiba-tiba menyita perhatiannya dengan suara teriakannya. Dia lihat pemuda bersurai merah muda itu yang tampak sangat menikmati suasananya. Arga tersenyum kecil karena hal tersebut. Lantas fokusnya kembali terarah pada lapangan utama dan kembali mengikuti apa yang dilakukan teman kelasnya yang lain.


“Woy Raf!” Panggil Farezi dari arah seberang. Kini pemuda blasteran itu mulai berjalan menghampiri tempatnya sekarang.

“Tadi lo bilang mager nonton pas gue ajak, eh malah udah ada di sini aja sekarang.”

Sedikit sinis tatapan mata itu terlihat dari sudut pandang Rafka. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue emang mager Rez, males nyetirnya. Ini aja kalo gak disupirin nih anak, gue juga males sebenernya hehe...” Tunjuk Rafka dengan arahan dagunya pada Arga yang ada di samping kirinya. Kekehannya kemudian lolos dari bibir tipis yang berwarna kemerahan itu.

Saat ini mereka sedang berada di dalam lapangan karena Arga yang berkata sesaat lalu ingin memberi ucapan selamat kepada Surya—serta ingin berbincang ringan.

“Ohh, lo yang anak kembar di Ancol waktu itu ya?” Tanya Fahrezi kepada dua orang di depannya yang memiliki tampilan rambut serupa. Dia ingat kejadian saat liburan ke salah satu pantai di daerah Jakarta Utara waktu itu.

“Gak kembar juga njir, orang jelas jelas pabriknya beda.” Jawab Arga sedikit tidak terima.

“Haha... Iya iya kaga kembar, gue bercanda doang tadi...” Canda pemuda berambut ungu tersebut. Lalu dia mengarahkan tangan sebelah kanannya di hadapan yang berbaju pemain team futsal. “Selamat bro, kelas lo masuk final.”

Surya lalu menerima jabatan tangan itu yang ternyata lantas digoyangkan sedikit oleh lelaki di hadapannya.

“Lo mainnya tadi keren btw.” Puji Fahrezi sesaat setelah melepaskan jabatan tangan itu dan mengacungkan kedua ibu jarinya di depan Surya.

“Kelas lo juga keren.” Surya mengembalikan pujian itu. Karena sejujurnya memang permainan anak kelas tari tadi juga sangat piawai ketika bertanding melawan kelasnya.

“Gue pulang duluan ya, biar gak kemaleman entar.” Arga menengahi perbincangan yang sedang terjadi ketika baru saja dia lihat jarum pendek pada jam di tangannya semakin berputar mendekati angka sepuluh.

“Eh iya Ga ... Lo berdua hati-hati ya, awas lo lagi bawa anak orang.” Balas Surya sekaligus memberi sedikit peringatan pada Putra Argantara itu.

“Eh bareng dong ke depannya.” Fahrezi ikut berujar setelahnya. Pemuda berambut ungu itu lantas berpamitan pada Surya. “Gue juga pamit duluan kalo gitu.”

“Eits, iya bro. Hati-hati!” Balas Surya yang kemudian melihat punggung ketiga lelaki tadi mulai berjalan menjauh dari tempatnya. Dia lantas berbalik dan berjalan ke arah pemain futsal lainnya.

•••

Arga membunyikan klaksonnya ketika berpapasan dengan Fahrezi yang terlihat baru saja mengeluarkan sepeda motor milik pemuda tersebut dari tempatnya parkir.

Motor sport berwarna hitam yang dia beri nama Miko itu membelah jalanan malam Kota Jakarta yang tampak cantik dengan gemerlap lampu di sepanjang pinggiran jalan raya.

“Ini terserah gue ya tempat makannya di mana?” Argantara mengeluarkan suara. Bertanya pada seorang pemuda di belakangnya perihal apa yang sebentar lagi akan mereka lakukan sesuai permintaan Rafka sendiri tadi.

Rafka mendekatkan kepalanya sedikit ke depan supaya Arga dapat mendengar suaranya. “Iyaaa.”

Tak berapa lama setelahnya, ternyata Arga membawa mereka berdua berhenti pada salah satu pedagang di pinggir jalan yang menjual berbagai macam makanan yang kebanyakannya ditusuk menggunakan tusuk sate.

Tempatnya tidak begitu ramai, jadi mereka langsung saja memesan beberapa makanan serta minuman, lantas duduk pada kursi yang sudah tersedia.

Selama menunggu pesanannya diantarkan, Rafka memotret suasana sekitar tempat itu yang jarang sekali dia rasakan. Usai dengan urusan ponselnya, dia lalu meletakkan benda pipih tersebut dan bertanya pada Arga. “Enak gak Ga?”

“Enak enak, lo gak pernah cobain?”

“Belom pernah sih hehe...” Jawab Rafka.

Pesanan mereka lalu diantarkan ke meja. Rafka menikmati makanan itu, dan benar kata Arga, rasanya enak. Pemuda bersurai merah muda itu terus melahap makanannya sampai tidak sadar kalau saus dari sosis yang baru saja dia makan mengenai sudut bibirnya.

Arga sedang meminum es tehnya ketika dilihatnya Rafka yang seperti tengah dilingkupi perasaan bahagia sambil mengunyah makanan di mulutnya, sepertinya tidak menyadari kalau ada noda saus yang mengenai sekitar bibirnya.

Arga beranjak dari duduknya menuju tempat pedagang itu dan meminta selembar tissue. Ternyata saat dia berbalik badan berniat kembali ke tempatnya, Rafka di sana melihat ke arahnya. Lelaki itu memperhatikan dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan. Arga melangkah sampai berhenti tepat di hadapan Rafka, lalu mengarahkan tissue di tangannya mengelap sekitar permukaan noda pada wajah si surai merah muda.

“Lain kali kalo makan pelan-pelan. Belepotan kan jadinya?” Arga berbicara sambil membersihkan noda tersebut sampai bersih, lalu membuang tissue kotor di tangannya pada tempat sampah yang tersedia.

Rafka terkejut ketika mendapati gerakan tiba-tiba yang tanpa aba-aba sebelumnya tadi. Fungsi kerja otaknya seperti dipaksa begitu saja berhenti. Serta jangan lupakan rongga dadanya yang terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Sebisa mungkin dia menutupi perasaan gugup itu dengan bersikap seperti biasa.

“Gue bisa bersihin sendiri...” Ucap Rafka saat Arga sudah kembali duduk di bangku depannya.

Arga mendengar kalimat itu meski lirih suara Rafka ketika mengatakannya. Lalu dia tersadar dengan perbuatannya barusan. Arga berdeham pelan.

“Lo aja bahkan gak sadar sebelum gue gerak tadi.”

Setelahnya hanya terdengar suara yang berasal dari masing-masing. Rafka melanjutkan makannya dengan hati-hati agar tidak lagi terjadi seperti yang sudah lewat. Dan Arga yang sedang memikirkan sesuatu dalam diamnya. Dalam perasaan yang entah apa itu, dia terus memainkan tangan kirinya di bawah meja. Meremas, mengepal, meregangkan, serta apa saja akan dilakukan Putra Argantara itu yang menyadari perbuatannya sesaat lalu.

Bahwa tangan kiri yang dia sembunyikan di bawah meja itu adalah yang tadinya bergerak membersihkan noda saus pada satu titik bagian wajah Rafka. Yang secara tidak langsung tangan itu juga bersentuhan dengan permukaan pipi yang sedikit berisi sang pemuda.

Arga menguraikan perasaannya dengan menatap permukaan meja di hadapannya sembari tetap menyantap makanannya meski fokusnya tidak berada pada tempatnya. Dia alihkan pandangan itu ketika Rafka membuka suara.

“Makasih udah traktir gue.” Ucapnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman di akhir.

Arga membalas senyum itu dan berusaha menanggapinya seperti biasa. “Iya sama-sama.”


Rafka menghela nafasnya bebas ketika rapat hari ini sudah berakhir. Diliriknya jam analog yang melingkari tangan kirinya. Dia lantas pamit undur diri terlebih dahulu pada teman-temannya dan menuju ke arah parkiran mengampiri mobil putih di sana.

Setelah tiba di kawasan apartemennya, Rafka membuka pintu masuk dan meletakkan tasnya di atas sofa ruang tamu. Raga itu dibawanya langsung menuju arah dapur. Kemudian tangannya membuka kulkas di sana untuk mengeluarkan sebuah kue yang sudah disiapkannya siang tadi. Ia lalu memasukkan kue itu ke dalam kardus dan diberi selotip pada pinggir-pinggirnya.

Tungkainya mulai berjalan kembali menuju basement gedung tersebut dan masuk ke dalam mobilnya. Sebuah tas yang berisi kue diletakkan pada kursi penumpang di samping kirinya. Kendaraan beroda empat itu mulai berjalan meninggalkan area apartemennya menuju ke tempat yang sudah Arga bagikan lewat aplikasi chatting satu jam yang lalu.

Saat akan sampai ke rumah Arga, pemuda itu menghubungi Surya terlebih dahulu. Bertanya tentang bagaimana kondisi di rumah Arga sekarang.

Surya balas tak lama kemudian. Lelaki itu bilang kalau saat ini mereka sedang makan bersama. Tapi pesan selanjutnya yang dikirim Surya seketika mampu menyita perhatian Rafka.

Surya | anaknya ngamuk tadi

Rafka | hah kok bisa?

Surya | tau tuh mara-mara mulu | bete | aneh dasar, lagi ulang tahun malah betmut

Rafka | gue otw kesana sekarang

Surya | lo udah selesai rapat emangnya?

Rafka | udah barusan

Surya | kalo gitu hati-hati kesininya | jangan ngebut

Setelah mengetikkan pesan singkat lagi untuk Surya, Rafka lalu kembali fokus menyetir. Ia beberapa kali bergantian memperhatikan antara jalan raya dan sebuah maps yang tampak pada headunit mobilnya.

Lima menit sudah perjalanan yang dilewati Putra Malverino. Kini ia sudah sampai di dekat rumah Arga. Tepatnya di depan taman kompleks perumahan itu yang juga sudah terparkir mobil milik Azka.

Rafka turun dari mobilnya tidak lupa dengan membawa kue buatannya. Dia ketikkan kembali pesan kepada Surya.

Rafka | sur, gue mau masuk ke dalem | bantuin gue gimana caranya biar arga ga liat pintu masuk

Tak lama ponselnya bergetar dan ada notifikasi masuk dari Surya.

Surya | oke raf

Setelah menyimpan ponselnya di dalam saku celana, Rafka lalu menyiapkan kue ulang tahun itu yang di atasnya diberi lilin angka dua dan satu.

Tungkainya kini mulai melangkah menuju rumah yang halaman depan untuk tempat parkir itu sudah dipenuhi oleh beberapa motor. Rafka melepas alas kakinya dan mulai berjalan ke arah pintu depan yang terbuka lebar. Disertai lagu ucapan selamat ulang tahun dan kue yang dibawanya pada tangan, Putra Malverino itu masuk yang kemudian disambut oleh tatapan semua orang di sana.

Tak terkecuali Arga.

Lelaki bersurai biru itu sedikit terkejut ketika mendengar suara yang dikenalnya. Dengan segera badannya ia arahkan ke belakang melihat di ambang pintu masuk sana, ternyata Rafka datang dengan sebuah kue ulang tahun di tangannya.

Dia datang, meruntuhkan dinding kecewa yang sempat dibangun oleh egonya. Meloloskan perasaan mengganjal yang sempat dirasakannya. Dan meredakan emosi yang sempat menguasai dirinya seperti waktu yang sudah.

Semua orang yang ada di sana lantas ikut menyanyikan lagu ucapan selamat ulang tahun untuk Arga bersama-sama. Kala yang bersurai merah muda sudah tiba dan menyejajarkan tingginya di depan Arga, Rafka lalu tersenyum cerah. “Make a wish dong!” Pintanya.

Arga menuruti lelaki di depannya itu dan mulai memejamkan mata untuk merapalkan sebuah permintaan yang diinginkan relung hati terdalamnya. Kelopaknya dibuka tak lama kemudian. Arga meniup lilin tersebut dalam sekali hembusan.

“Makasih...” Ucapnya, tersenyum cerah. “Lo ambil makan dulu di dapur, ayo gue anterin.”

“Loh eh, kuenya mau dibawa ke mana itu? Kok gak dipotong dulu?” Harsa sudah heboh sendiri saat Arga dan Rafka terlihat mulai beranjak dari tempatnya semula untuk menuju ke dapur. Padahal dia sudah berandai-andai akan mencicipi rasa dari kue yang kelihatannya enak dari tampilan luarnya itu.

“Itu pinggir lo juga kue.” Tunjuk Arga dengan dagunya ke arah sebuah kue di atas meja ruang tamu.

Saat keduanya sudah ada di dapur, ternyata di sana ada seorang wanita cantik yang terlihat sedang merapikan makanan di atas meja makan. Dapat Rafka pastikan kalau wanita tersebut adalah Bunda Arga. Karena saat melihat sepasang matanya setelah netra keduanya bersitatap, wanita itu seketika tersenyum yang mana tampak sedikit mirip dengan seseorang di sampingnya.

Rafka balas tersenyum lalu kemudian bergerak menyalami sebelah tangan wanita di hadapannya. Tangannya terasa halus saat permukaan itu bertemu dengan tangan kanan dan pipi kirinya. “Malam tante.” Sapanya.

“Malam juga ... Kamu baru datang? Soalnya tante enggak lihat kamu tadi,” Tanya wanita itu.

Arga dengan cepat membalas, “Namanya Rafka Bund, anaknya baru dateng soalnya ada rapat dulu di kampus.” Ucap Arga memperkenalkan Rafka kepada bundanya.

“Iya tante,” Rafka sedikit terkekeh saat membenarkan perkataan Arga barusan.

“Ohh ... Ya sudah kalau gitu Rafka ambil makan juga ya? Makanannya ada di meja makan.” Ujar sang Bunda ramah.

Arga bergerak meletakkan kue itu di atas meja makan dan memberi kode pada Rafka untuk segera mengambil makanan yang ada di atas meja itu. Tentu saja hal tersebut tak luput dari pandangan sang Bunda.

“Eh? Itu kue dari siapa Kak?” Tanya Bundanya.

Arga melirik sekilas kue itu, lalu kembali menatap Bundanya. “Ini? Dari Rafka Bund.” Balasnya.

“Aduh jadi ngerepotin ... Makasih ya Rafka.” Ucap Bunda Sekar tulus.

“Iya sama-sama tante.” Rafka membalasnya sambil menunjukkan senyumannya.

Rafka sedang menyendok seporsi nasi goreng ke piring di tangannya itu dalam diam, ketika Arga baru saja mengaduh karena mendapat sebuah pukulan di lengan sebelah kanannya setelah menyuapkan satu sendok kue pemberian Rafka ke dalam mulut. “Dipotong dulu kuenya, kok langsung kamu sendok gitu aja?!” Seru Bunda Sekar. Perhatian Rafka sepenuhnya tersita oleh suasana di depan dia.

“Hehe... Bunda mau nyicip juga nggak?” Lalu Arga mencakup kembali kue pemberian Rafka itu dan diarahkan ke hadapan Bundanya.

Sepasang netranya tidak bisa berbohong, kalau pemandangan di seberang tempatnya berdiri saat ini nyatanya dapat membuat dia tiba-tiba menghangat. Rafka tersenyum tipis nyaris hampir tak terlihat.

“Kamu nggak mau bagi juga ke yang buat kuenya?” Tanya Bunda setelah menghabiskan sesuap kue tiramisu dari Arga sebelumnya.

Rafka kembali menatap ke tempat ibu dan anak itu tepat saat dia baru saja selesai dengan urusan piring di tangannya. “Gapapa, gak usah tante ... Rafka emang bikin kuenya buat Arga.” Pemuda itu tersenyum manis setelahnya.

“Eh? Ini kamu bikin sendiri kuenya?”

“Hehe ... Iya tan,”

Arga mendengarkan percakapan itu. Ternyata Rafka yang membuat sendiri kue ini untuknya? Disaat mungkin bisa saja si surai merah muda itu membeli yang sudah jadi di toko kue manapun, tapi Rafka memilih melakukannya dengan usaha yang dia punya. Hatinya benar-benar tersentuh, yang mana menjadi alasan segaris senyuman mulai terbit menghiasi bibir si Agustus yang saat ini tengah merayakan hari istimewanya.

“Ga,” panggil Rafka.

“Kenapa Raf?”

Rafka menunjukkan piring di tangannya itu dengan sedikit pergerakan. “Udah selesai ambil makannya.”

Arga lalu paham. “Ohh ... Ya udah ayo,” Ajaknya kepada Rafka untuk kembali bergabung dengan yang lainnya di ruang tamu. “Duluan aja Raf.”

Rafka mengangguk, tak lupa memberi senyum untuk Bundanya Arga sebelum melenggang pergi dari area dapur tersebut.

“Temen kamu barusan... lucu, manis, rambutnya mirip permen kapas yang di pasar malem itu...” Bunda berkata setelah sebelumnya menyimpan kue dari anak laki-laki bersurai merah muda tadi ke dalam kulkas.

“Anaknya emang lucu Bund...” Setelah berkata demikian, Arga lalu ikut menyusul Rafka di belakangnya.


Saat ini mereka semua sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Rafka yang juga sudah menyelesaikan acara makannya, ikut menumpukkan piringnya seperti yang lainnya lakukan di bagian sudut ruang tamu tersebut.

Mereka lalu mengobrol santai dan memulai sebuah permainan. Anak laki-laki memilih bermain Play Station atas usulan Surya. Sedang dua anak perempuan di sana memilih memainkan ponselnya saja atau sesekali mengobrol bersama.

Rafka lama kelamaan merasa bosan melihat teman-temannya yang sedang bermain melawan Arga dan temannya. Dia hanya bisa memantau saja karena tidak terlalu mengerti bagaimana cara memainkan benda-benda yang sedang dipegang Arga itu. Rafka menarik nafas sekali, dia pikir sepertinya dia membutuhkan udara segar sekarang ini.

“Arga, gue mau ke kamar mandi ya?” Rafka berujar pada lelaki yang sedang sibuk dengan sebuah konsol game di tangannya itu.

Arga menjawabnya dengan sebuah gumaman. Pandangannya masih terfokus pada layar televisi di depannya. “Kamar mandinya ada di deket dapur Raf, pintu yang depannya ada kesetnya.” Tambah Arga, karena mungkin saja Rafka belum tahu letak kamar mandinya ada di mana.

Rafka beranjak dari ruang tamu itu tak lama setelahnya. Tungkainya berjalan ke arah kamar mandi sesuai arahan Arga tadi.

Saat baru saja keluar dari kamar mandi, niat Rafka tadi mau kembali ke tempat semula dan bergabung dengan teman-teman perempuannya saja. Tapi sepertinya, pandangannya menangkap sesuatu yang menarik di balik pintu kaca yang ada di dapur tersebut. Sebuah pencahayaan minim yang berhasil menyita perhatiannya.

Rafka berjalan pelan ke sana. Ternyata pintu itu tidak dikunci saat dia mencoba membukanya tadi. Kakinya melangkah menuju tempat yang baru saja dia ketahui adalah taman belakang rumah Arga. Tampilannya sederhana dengan beberapa tanaman hias di sana. Lalu ada juga sebuah ayunan yang terbuat dari kayu dan muat untuk diduduki dua orang. Rafka lantas berjalan pelan ke arah ayunan itu dan duduk di sana, sesekali mengayunkannya pelan.

Pandangan si surai merah muda otomatis menghadap ke langit malam yang terlihat bertabur banyak bintang. “Cantik.” gumamnya.

Rafka tersenyum melihat suasana di sekitarnya. Lalu ia teringat akan rencananya untuk memberikan kejutan pada Arga tadi yang dapat dikatakan berhasil meskipun sedikit terlambat.

Lama dia berada di sana. Sampai akhirnya dibuat sedikit terkejut karena suara seorang Argantara yang tiba-tiba tertangkap daun telinganya.

“Pantesan gue cari-carin ke mana ... Ternyata lo ada di sini. Ngapain Raf? Di sini dingin, ntar lo bisa sakit.” Arga mengomel, kini ia sudah sampai di depan Rafka dan memilih ikut mendudukkan dirinya di sebelah pemuda tersebut.

“Gak papa, gue cuma butuh angin dikit kok ... Yang lain masih main?”

“Iya.”

Rafka lalu menyandarkan punggungnya ke belakang. “Bosen banget, enaknya ngapain ya?”

“Makan.”

“Males.”

“Main.”

“Gue aja gak tau cara main PS.”

“Ya udah liatin aja.”

“Ish ... Gue aja bosen liat lo sama yang lain PS-an tadi.” Ungkapnya. “Lo buka kado dong.” Rafka berucap sembarang. Namun saat sadar ucapannya barusan, Rafka seketika menegakkan punggungnya. “Btw, gue udah kasih lo kado belum sih?” Tanyanya pada lelaki di sampingnya.

Arga menggelengkan kepala lantas meringis pelan. “Lo nyiapin kado buat gue?”

“Iya...” Rafka meletakkan telapak kanannya di atas dahi ketika mengingat sesuatu. “Kayaknya ketinggalan di dalem mobil deh...”

“Ya udah bisa nanti aja. Sekarang masuk yuk! Kumpul sama yang lain.” Ajak Arga setelahnya.

“Gak ah, mager.” Tolak Rafka.

“Tapi lo sendirian di sini, gelap lagi.”

“Kan ada lampu tamannya itu.” Dagunya lalu dia gunakan menunjuk tiang lampu yang ada di sudut-sudut taman.

Arga menghela nafasnya. Dia seperti memandang tak suka pada pemuda di hadapannya. Dia khawatir. “Masuk yuk Raf, di dalem aja sama yang lain,”

Namun Rafka terlebih dahulu memotong perkataan yang akan diucapkan Arga selanjutnya. “Ga...” Panggilnya.

“Apa?”

“Gue barusan liat di hp, katanya sekarang lagi ada hujan meteor ... Keliatan gak ya kira-kira kalo dari sini?” Tanya Rafka yang seperti lebih kepada dirinya sendiri.

“Ya gatau...?” Arga menjawab dengan sebelah alis yang terangkat, pertanda kalau dirinya memang tidak mengetahui apa-apa perihal yang baru saja disebutkan Rafka. “Emangnya mau ngapain, sih?”

“Mau make a wish banyak-banyak. Nanti kita taruhan siapa yang paling banyak minta permohonan tiap ada bintang jatuh.”

“Gak mau.” Tolak Arga cepat.

“Kok gitu?” Rafka tidak terima usulannya ditolak.

“Lo gak mau masuk ke dalem.”

“Iya ntar aja sih, gue masih mau di sini.”

Arga tidak punya pilihan. Semoga saja ancaman main-mainnya berhasil membuat Rafka mau masuk lagi ke dalam rumahnya. “Raf, mending masuk aja yuk! Gue takutnya lo ketempelan penunggu sini...”

“HEH! LO KALO NGOMONG JANGAN SEMBARANGAN, ARGANTARA!”

•••

“Diem diem bae... Ayo lah akustik-an!” Ajak Harsa pada semua orang yang ada di sana.

“Ayo, lo yang nyanyi ya?” Balas Surya.

Harsa berpikir sejenak saat mendengar kalimat dari Surya itu. Lantas tangannya bergerak menyentuh bagian perutnya. “Duh, kayaknya perut gue sakit deh gegara kebanyakan makan tadi ... yang lain lah jangan gue...” Alasan yang bersurai ungu tersebut. Yang sebenarnya Putra Lakhsa itu sedang tidak ingin mengeluarkan tenaga untuk bernyanyi sekarang.

“Lo pengisi acara gimana sih? Udah dibayar pake makan sepuasnya juga...” Protes seorang Surya Adilansah. Dia kemudian melemparkan bantal yang diambil dari sofa di belakangnya ke arah Harsa di seberang sana.

“Yang lain lah yang lain ... Azka tuh,” Tunjuknya kepada Azka yang diketahui juga mengambil jurusan yang sama dengan dirinya.

“Gak ah, gue lagi batuk.” Elak Azka. Kemudian tak lama setelah itu dilihatnya Rafka baru saja kembali dari arah belakang, yang juga disusul oleh sang tuan rumah—Arga—di belakang lelaki yang bersurai merah muda. “Noh si Rafka aja, suara dia bagus.”

Rafka yang baru saja akan duduk berbaur dengan yang lain itu sedikit bingung ketika Azka tiba-tiba menyebut namanya. “Apaan nih? Kenapa panggil panggil nama gue?”

“Akustik-an ayo Raf, lo yang nyanyi.” Ujar Harsa akrab. Lalu pandanganya ia alihkan melihat Arga yang memilih duduk terlebih dahulu di samping Rafka yang masih berdiri itu. “Ga, ambilin alat-alat musik lo dong.” Pintanya kemudian.

“Njir, gue baru duduk...?” Protes si surai biru. Alisnya menukik tanda tak terima.

“Tinggal berdiri lagi aja sih, ribet.”

“Enak aja lo kalo ngomong! Lo aja coba yang berdiri!”

“Lah ngapain? Yang tuan rumah kan elo ... gue sebagai tamu yang terhormat menikmati aja.”

Arga berdecih setelahnya.

“Cepetan sih ... mau dinyanyiin Rafka tuh!” Harsa kembali menyuarakan permintaannya.

“Tapi kan gue belom iyain?” Suara Rafka akhirnya, karena dia tadinya mau berbicara tapi kedua orang di dekatnya tersebut masih terlibat dalam sebuah percakapan.

“Iya aja udah ... Soalnya lo cakep,” Ujar Harsa lalu menunjukkan satu ibu jarinya ke arah Rafka.

“Gak nyambung bego.” Arga menimpali dibarengi dengan sebuah bantal sofa yang melayang ke arah Putra Lakhsa itu. Dia kemudian bangkit hendak menuju kamarnya, ingin mengambil alat musik sesuai permintaan Harsa tadi.

“Biasanya kalo orangnya cakep, suaranya juga ikutan cakep ... Kayak gue.” Ucap Harsa percaya diri.

“Gue lempar gitar lo ntar!”

“Anjir galak banget lo...” Sinisnya. Tangannya lalu bergerak mengambil air minum dalam gelas kemasan di atas meja itu lantas diteguknya untuk meredakan dahaganya.

Setelah beberapa saat menunggu, Arga lalu kembali dengan sebuah gitar dan kajon pada masing-masing tangan kanan dan kiri. “Siapa yang main?”

Harsa lalu menunjuk ke arah Jerico dan Surya seperti yang sudah menjadi kebiasaan ketika mereka sedang main bersama.

“Liat dulu, udah bersih belom?” Tanya Arga ketika menyerahkan gitar di tangan kirinya pada Jerico dan kajon di tangannya yang lain pada Surya.

“Udah/Yoit.” Ucap Surya dan Jeje bersamaan.

“Ih gak pernah lo bersihin ya?” Tanya Rafka yang kini ada di seberang tempat duduknya.

“Bukan punya gue Raf, gue cuma simpen aja,”

Rafka mengangguk paham. Lalu dipandanginya satu persatu orang-orang di sana. “Mau nyanyi lagu apa ini? Indo apa barat?”

Harsa jadi orang pertama yang menimpali pemuda itu. “Indo lah, lebih ngefeel.”

Rafka meringis mendengar jawaban Harsa, “Tapi gue gak terlalu tau lagu indo sih...”

“April tau gak?” Tanya Arga saat mengingat sebuah kejadian yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

Rafka terlihat berpikir sebentar, kemudian mulai mengingat sesuatu. “Oh, lagu yang pernah diputer pas di café waktu itu?”

“Iya.”

“Gue inget lagunya.”

“Yaudah itu aja.” Ucap Arga.

“Agustus aja ada gak sih?” Harsa tiba-tiba berceletuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya.

“Maksud lo?”

“Ya kan sekarang bulan Agustus, April mah udah lewat.”

Hening kemudian. Semua orang di sana masih sama-sama memandang ke arah Harsa. “Anjir kok gak ada yang ketawa sih? Gak asik lo semua.” Ujarnya. Air muka pemuda bersurai ungu itu menekuk dibuatnya.

“Hahahahaha...” Suara mereka kompak setelah itu. Sebenarnya hanya untuk menghibur Harsa saja yang sudah berusaha melucu, meski akhirnya harus menerima balasan berupa perasaan malu.

“Sa, lo udah cocok ikut ILC.” Ucap Jinan yang ada di sebelah kanannya.

“Gak makasih. Lo aja.” Balas Harsa ketus.

Rafka hanya geleng-geleng kepala melihatnya. “Gue mulai ya?” Tanyanya kepada mereka. Saat mendapat balasan berupa persetujuan, Rafka lalu menoleh ke arah dua pemuda yang sudah siap dengan alat musik di tangan itu lantas memberi sebuah kode untuk segera memulai permainan musiknya.

Rafka bersiap dengan mengetukkan kuku-kuku jarinya pada penyangga meja yang terbuat dari kayu di depannya. Saat ketukan itu sampai di angka tiga, ia mulai menyenandungkan suaranya dibarengi dengan lantunan alat musik yang juga mulai menginvasi udara.

Arga diam-diam sudah merekam suasana tersebut pada ponsel genggamnya. Seperti teman-temannya yang lain, dia menikmati permainan Rafka dan kedua temannya di seberang sana. Sudut bibir si Agustus itu sudah tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang menawan.

Ada sebuah perasaan nyaman yang hadir ketika suara si surai merah muda menyapa indra pendengarnya. Arga hanya terlalu menikmati suasana malam kala itu, tepat di mana hari istimewanya sedang berlangsung.


Satu persatu tamu undangannya mulai pergi meninggalkan pelataran halaman depan. Garasi yang tadinya penuh, berangsur-angsur mulai lenggang kembali. Kini Arga berjalan berdampingan dengan Rafka ke arah mobil putih yang terparkir di depan taman dekat rumahnya.

Rafka bergerak membuka salah satu pintu di dekat kemudi lantas kembali menutup pintu mobil bagian depan tersebut setelah sebelumnya mengambil sesuatu yang dia letakkan di atas dashboard mobilnya.

“Nih.” Sebelah tangannya ia arahkan ke depan Putra Argantara. Menyerahkan sebuah paperbag kecil yang di dalamnya terdapat hadiah untuk seorang lelaki bersurai biru di dekatnya.

Arga menerimanya. “Makasih,” Ujarnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman. “Makasih juga udah dateng.”

“Sama-sama, maaf kalo gue telat.” Ada perasaan sesal saat Rafka mengucapkan kalimat tersebut.

“Gapapa, bukan salah lo.” Tenang Arga yang kini mulai menyunggingkan senyumannya ke arah si surai merah muda. “Btw, makasih juga buat kuenya.”

“Ga,” Panggil yang bertubuh lebih kecil.

“Iya, kenapa?”

Rafka menggigit bibirnya kecil sebelum berbicara, “Kuenya enak gak menurut lo?” Tanyanya dengan harap harap cemas. Ya, tahu sendiri bagaimana proses pembuatannya tadi sebelum akhirnya kue tersebut dapat diberikan pada seseorang di depannya saat ini dengan kepercayaan diri yang ia punya.

“Enak kok.”

“Beneran?”

Arga tersenyum kecil, “Iya...” Lalu saat dipikir-pikir lagi, tidak heran kalau kue tadi memang benar Rafka sendiri yang membuatnya. “Sebenernya waktu gue liat tadi, sempet mikir itu buatan lo sendiri apa bukan...”

“Kenapa emangnya?” Rafka penasaran tentang apa yang berusaha Arga ucapkan sekarang.

“Gak papa,” Arga menggelengkan kepalanya.

Rafka dibuat berpikir, lalu tiba-tiba saja sebuah kemungkinan melintas dalam benaknya. “Ih, lo jangan menghina dari covernya gitu dong!”

“Lah? Gue gak bilang apa-apa...?” Arga berkata dengan sebelah alis yang dia naikkan ke atas, pertanda bingung.

“Terus?”

Arga menghela napasnya sebentar sebelum menjawab si surai merah muda. “Kayaknya gue belum pernah liat kue kek gitu di bakery manapun ... Bisa jadi buatan lo sendiri, soalnya tampilan kuenya lucu ... kayak yang bikin.”

Rafka tidak menjawab lagi perkataan Putra Argantara itu. Kosa katanya seperti tertahan di ujung lidah tanpa bisa dikeluarkan. Harusnya Arga tahu kalau ucapannya baru saja menyebabkan detak jantung Rafka berpacu lebih cepat dari biasa. Rafka sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba fungsi tubuhnya seperti hilang kendali. Yang dilakukannya hanyalah memandang lurus si surai biru itu dengan air muka tanpa ekspresi.

“Katanya sih, personality seseorang bisa mempengaruhi tindakan apa saja yang dilakuin orang itu...” Arga masih berbicara. Sesaat kemudian, dia menyadari adanya perubahan pada pemuda di hadapannya. “Raf, jangan ngelamun, udah malem ... Entar lo kesambet gimana?” Ujarnya dengan tangan kanan yang dilambai-lambaikan di depan wajah Rafka. Kan enggak lucu kalau pemikirannya itu beneran kejadian?

Saat nalarnya mulai terkumpul kembali, Rafka lalu berdeham singkat setelah itu. “Enggak, gue gak kenapa-napa.”

“Oh...”

“Kalo gitu gue pulang dulu, ya?” Pamit Rafka kemudian.

“Iya ... lo hati-hati pulangnya. Soalnya gue gak bisa ngikutin dari belakang.”

“Iya iya, lagian gak jauh jauh amat kan dari rumah lo.” Ujarnya mencoba terlihat santai seperti biasanya. Rafka kemudian tersenyum setelah itu, “Gue pulang.”

Lelaki bersurai biru itu mengangguk menanggapinya. Setelahnya, Rafka bergerak membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam sana. Mesin mobil itu dinyalakan lantas mulai berjalan pelan meninggalkan area depan rumah Arga. Dapat dia lihat lewat spion atas, kalau Arga masih berdiri di belakang sana mengawasinya, sampai akhirnya rupa bayang itu tak terlihat lagi ketika dia belokkan mobilnya ke arah kiri pada jalanan di depannya.


Rafka terburu meninggalkan ruang kelas itu tak lama setelah dosen mata kuliah fotografi praktikum yang sesaat lalu mengajarnya sudah menghilang di balik pintu masuk berwarna putih.

Arga yang baru saja akan berdiri dari tempatnya duduk, dia melihat pemuda berperawakan kecil tersebut hampir melangkahkan tungkainya keluar dari pintu di depan sana segera saja disusulnya cepat.

“Rafka!” Panggilnya.

Rafka menoleh ke asal sumber suara tadi. Dilihatnya Arga di belakang sana yang kini dalam perjalanan menuju ke arahnya. Dua lelaki itu saling berhadapan kemudian.

“Kenapa?” Tanya Rafka pada seseorang di hadapannya saat ini.

“Lo mau ke mana? Kok keliatan buru-buru amat?”

“Mau ada kumpul ukm dulu bentar.”

Arga ketika mendengar itu, suaranya seperti tertahan pada pangkal lidah. Dia pandangi lelaki di depannya dengan sorot mata yang kian melemah. Hatinya pada saat ini entah kenapa menjadi sedikit goyah.

“Oh...” Suaranya akhirnya. Arga mengambil nafas sekali. Berat udara itu ketika dihembuskan keluar dari hidungnya. “Raf, lo nggak lupa kan kalo kemarin gue ngajak lo ke rumah sekarang?”

“Gue nggak lupa kok Ga...” Jelasnya. “Tapi gue kumpul ukm dulu sekarang, maaf ya... Soalnya tadi gue juga dikabarin dadakan sama Ara. Entar gue nyusul deh ke rumah lo, sharelock aja nanti.” Pinta Rafka kemudian. Matanya melirik pada jam yang melingkar di tangan kirinya dan kembali memandang lelaki berhoodie biru di depannya itu. “Gue duluan ya, biar cepet juga selesainya.”

Putra Argantara itu mengangguk menanggapinya. “Iya, hati-hati. Entar gue sharelock.”

“Thanks Ga.” ujar Rafka disertai senyuman kecil yang terbit dari bibir tipisnya. Kini pemuda bersurai merah muda itu mulai melangkah meninggalkan Arga di belakang sana.

Tak lama setelah kepergian Rafka, Arga seperti merasakan adanya sebuah kehadiran lain di dekatnya. Saat dia menoleh ke samping, ternyata Surya Adilansah sudah melabuhkan lengan sebelah kanannya bertumpu pada bahu kiri dia. Pandangan temannya itu tertuju lurus ke depan sana, tempat di mana Rafka yang masih terlihat bayang punggungnya semakin menjauhi area kelas praktikum dan menghilang di balik tikungan arah menuju tangga.

“Lo gak ngundang Rafka? Kok dia pergi duluan?” tanya Surya setelah menoleh ke arah Arga yang ada di samping kanannya.

“Ngundang... tapi dia kumpul ukm dulu, entar nyusul.”

Surya hanya menanggapinya dengan mulut yang membentuk vokal O.H. tanpa suara.

“Yaudah ayo berangkat.” Ajak Arga lalu segera pergi meninggalkan Putra Adilansah itu terlebih dahulu yang tak lama disusul oleh sang empu yang kini sedikit menggerutu.

“Weh tungguin gue.”


Rafka baru saja sampai pada sebuah ruangan sesuai dengan yang sudah dijanjikan. Terlihat di sana sudah ada panitia inti dari sebagian anggota UKM-nya yang kini tengah menyelenggarakan event tentang pameran seni untuk beberapa hari ke depan.

“Maaf bang terlambat, baru kelar kelas soalnya.”

“Iya gapapa Raf.” Jawab ketua pelaksana acara itu. Arsenio namanya. Kakak tingkat yang berada satu tahun lebih tua diatasnya.

“Bang.” Panggil Rafka

“Iya, kenapa Raf?”

“Lama gak kira-kira rapatnya?”

“Waduh... gue kurang tau juga, tergantung kitanya aja sih nanti... Kenapa emang?”

“Gue mau ada acara soalnya...” Jelas Rafka dengan nada suara yang dia buat sedikit melemah.

Pemuda bernama Arsen itu mengangguk paham setelahnya. “Oke deh, kalo gitu, ini udah dateng semua kan? Kita mulai aja biar cepet selesai.”


cw // harsh word


Pagi yang cukup cerah kala kelopak mata sang pemuda baru saja terbuka. Rafka mematikan alarm pada jam analog di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia menguap sebentar lalu beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi. Setelah membersihkan wajahnya, Rafka kemudian berjalan keluar kamar dan menghampiri area dapur untuk memulai sarapan paginya.

Pemuda dalam setelan baju tidur itu mengingat sesuatu ketika sedang menyantap roti selainya. “Oh iya...” monolognya. Dalam kepala yang bersurai merah muda itu sudah berkelebatan tentang rencana yang sudah disiapkannya kemarin malam. Rencana tentang membuat kue untuk sang Putra Argantara yang tepat hari ini bertambah usia satu tahun lebih tua. Yang artinya mereka sekarang berada pada angka yang sama, dua puluh satu tahun.

Dengan cepat dihabiskannya sarapan pagi itu, lantas sisa piringnya ia taruh di wastafel. Rafka lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil sebuah cardigan beserta ponsel dan dompet miliknya. Ia lantas berjalan ke arah lift yang kini menuntunnya turun.

Setelah sampai pada lantai paling bawah, pemuda itu berjalan keluar kawasan apartemen dan mencari sebuah pengendara sesuai dengan apa yang ditampilkan sebuah informasi pada layar ponselnya. Karena tempat yang akan ditujunya berjarak dekat, Rafka memutuskan memesan ojek online saja kali ini. Selain itu, sebenarnya pemuda berperawakan kecil itu juga sedang malas mengeluarkan mobilnya di pagi hari seperti sekarang.

“Mas Rafka ya?” Tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di hadapannya.

“Iya pak.” Jawab Rafka.

Pria itu lalu menyerahkan helm yang diletakkan di depannya pada Rafka. “Ini mas helmnya.”

Rafka menerima helm tersebut lantas segera duduk pada bagian jok belakang motor.

“Sesuai aplikasi ya mas?”

“Iya pak.”

Setelah melewati kurang lebih tiga menit perjalanan, akhirnya motor matic itu kini sudah berhenti di depan suatu tempat yang menjadi tujuan. Sebuah swalayan yang jaraknya tak jauh dari apartemen tempat tinggalnya.

Rafka turun dari motor berwarna dominasi hitam dan merah itu lalu mengembalikan helmnya pada sang pengendara. “Pakai ovo ya pak!?”

Setelah pria itu mengiyakan ucapannya, Rafka mulai berjalan memasuki gedung swalayan itu dan mencari bahan-bahan apa saja yang dibutuhkannya untuk membuat kue.

Arga menyukai kopi. Dia ingat ketika lelaki yang berada pada satu kelas fotografi yang sama dengannya itu kerap kali membawa satu kotak maupun satu kaleng kopi instan dingin di tangannya.

Karena itu, Rafka jadi mendapat sebuah ide untuk membuat kue tiramisu untuk Arga saat ini. Setelah selesai dengan semua yang dibutuhkan, ia lalu membayarnya ke kasir.

Dua kantong plastik berukuran besar sudah diangkatnya pada masing-masing telapak tangan. Plat nomor dari driver tadi sudah diingatnya, sehingga pemuda itu hanya tinggal menunggu saja sekarang.

Tak lama kemudian, seorang pengendara ojek online tiba di dekatnya lantas kendaraan beroda dua tersebut mengantarnya kembali ke area apartemennya.

Pintu depannya sudah dibuka. Rafka lalu masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya dengan sedikit susah payah. Tungkainya lalu dia arahkan langsung menuju dapur untuk meletakkan barang belanjaannya dan menyusunnya rapi di atas meja pantry. Tak lupa ia juga mengeluarkan semua peralatan untuk membuat kue satu persatu.

Jemarinya kini mulai lincah bermain di atas layar ponselnya, mencari sebuah resep untuk membantunya membuat kue tersebut.

Setelah membaca singkat tulisan yang tertera di sana, Rafka kemudian meletakkan ponselnya menyandar pada apapun yang bisa menyangga benda elektronik itu agar tetap berdiri dan menampilkan layar tersebut menghadap ke arahnya.

“Wish me luck!” semangatnya lebih kepada diri sendiri. Rafka lalu bergerak mengambil sebuah apron dan dipasangkan pada badannya. Pemuda itu lantas mengikuti satu persatu langkah-langkah yang sudah tertulis.

Pertama yang dilakukannya adalah menyiapkan empat butir telur, lalu dipecahkannya telur tersebut pada sebuah wadah yang sudah dia siapkan bersama mixer duduk miliknya. Sembari menunggu telur itu mengembang setelah ia menyalakan tombol on pada mixernya, Rafka lalu menyiapkan mentega dengan takaran sesuai seperti yang terlihat di layar ponselnya. Ia lantas meletakkan mangkuk stainless itu pada microwave agar menteganya menjadi cair.

Masuk ke bagian selanjutnya, Rafka menambahkan sedikit demi sedikit tepung instan untuk membuat kue berperisa vanilla itu ke dalam adonan telur yang kini sudah mengembang. Setelah selesai, langkah terakhir yaitu menuang mentega cair ke dalam adonan kue.

“Loh loh loh, kok cair banget jadinya?” Panik Rafka ketika melihat adonan dalam wadah itu yang terlihat sedikit encer setelah dia menuangkan semua bahan mentega cair tadi. “Eh? Gimana ini?” Tangan kanannya sudah bergerak menggaruk bagian rambutnya. Pemuda itu terserang perasaan bingung akibatnya.

Akhirnya Rafka memilih mematikan mixernya terlebih dulu. Sekali lagi ia pastikan sudah mengikuti langkah-langkah yang tertulis di dalam resep tersebut. Saat mencocokkan takaran tepungnya, ternyata yang tercetak dalam kemasan instan yang dia pakai tadi dan yang tertulis dalam layar ponselnya berbeda. “Yah pantes... gue cuma pake setengahnya...”

Pemuda itu berdecak ketika menyadari perihal tersebut. “Aduh gimana ini woy? Gue harus apa?”

Namun semakin banyak tanya yang dilontarkannya pada udara itu nyatanya tidak akan ada seorang pun yang membalasnya. Rafka sendirian di dalam apartemen tersebut kalau dia lupa.

“Apa gue buang aja? Tapi sayang ih,”

“Bisa gak sih ini diundo aja? Arght...”

Saat sedang gelisah memikirkan nasib adonan ini kedepannya, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala dia. “Kalo ditambahin tepung bisa padet lagi gak sih?” Rafka berpikir keras memecahkan teori dugaannya. “Gue punya terigu kayaknya, dimana ya...?”

Dicarinya tepung dalam kemasan plastik berwarna biru yang diingatnya tersebut. Setelah menggeledah beberapa cabinet di atasnya, akhirnya Rafka temukan di lemari penyimpanan paling pojok di sana. “Yah sisa dikit...”

“Gapapa lah,”

Rafka kemudian kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda sesaat lalu. Sampai ketika dia baru saja menuang adonan kue tadi ke dalam loyang yang sebelumnya sudah dialasi kertas roti, Rafka lalu masukkan loyang tersebut ke dalam oven dan menunggunya sampai matang.

“Pliss jadi...”

Pemuda bersurai merah muda itu menunggu beberapa menit sambil merapal sebuah harapan. Namun kegiatannya harus terinterupsi oleh notifikasi getar yang berasal dari ponselnya. Rafka meraih benda di atas meja pantry itu lantas membuka layarnya yang terkunci.

“Hah?!” Teriaknya lantaran usai membaca isi pesan yang tertulis di sana.

Ara Wakil Sekre CWAD | Raf, nanti jam 4 ada kumpul panitia inti kata bang Arsen

Rafka | yang bener ra? | dadakan bgt kayak tahu bulat

Ara Wakil Sekre CWAD | Iya gue juga baru dikabarin tadi pagi

Rafka | ANJIR | KOK GITU SIH

Ara Wakil Sekre CWAD | Gue juga gatau Raf

Rafka menggerutu sepanjang membalas pesan itu. Ia berdecak beberapa kali menyuarakan protesnya, dan menghela nafas berat di akhir percakapan keduanya.

Rafka | yaudah makasih ra.

'Anjg apa-apan?!', batin Rafka yang sesungguhnya.

Bisa-bisanya ingin mengadakan pertemuan tetapi diberitahu secara mendadak seperti sekarang? Kalau memang sebelumnya berniat mengadakan rapat, harusnya direncanakan jauh-jauh hari saja! Benar-benar menyusahkan!

'ASDFGHJKL'

“ARGHT!” keluhnya pada udara hampa di sekitar dia. Rafka benar-benar dibuat kesal saja karenanya.

Lalu, bagaimana dengan ajakan Arga semalam? Bagaimana dengan rencana yang dia punya? Dan juga, bagaimana dengan kue kejutan yang sudah dia siapkan untuk lelaki bersurai biru itu?

Makin lama Rafka memikirkan semuanya, makin banyak juga umpatan-umpatan yang keluar dari bibir tipis itu. Moodnya dihancurkan begitu saja lewat kalimat sederhana sesaat lalu. Dia beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air minum di dalam kulkas, tenggorokannya kering dan butuh diredakan segera.

Saat kembali ke tempatnya semula, Rafka melebarkan diameter netranya saat melihat oven di sana. Kepalanya dengan cepat menoleh ke arah jam dinding yang ada di dapur, lantas kembali mengumpat setelah melihat jarum panjang yang kini sudah berada di angka dua. 'Kelewatan sepuluh menit!'

Rafka dengan cepat mematikan benda tersebut lalu mengeluarkan isi di dalamnya. Terlihat sedikit kecokelatan terutama bagian pinggirnya yang berwarna sedikit gelap. Apa itu artinya kalau kuenya sedikit gosong?

'Fakk... Kacau, kacau...' 'Hhhh... Makasih, mood gue makin hancur sekarang,”

Meski begitu, bagaimanapun juga, dia masih punya tanggung jawab atas kegiatan yang sudah dimulainya sejak pagi tadi, bukan? Otaknya mencari ide bagaimana menyelamatkan nasib kue yang lupa dia keluarkan tepat waktu karena masih asik mengumpat soal rapat dadakan yang akan dilaksanakan sore nanti.

Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama untuknya menghias kue tadi, akhirnya selesai juga Putra Malverino itu menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas.

Rafka tidak berharap banyak, tapi semoga saja Arga menyukai kue buatannya sendiri yang sudah ia buat susah payah itu.


cw // hangover


Arga terbangun saat kisi kisi cahaya mulai mengusik kelopak matanya. Mulutnya menguap sekali. Dia berniat menutupinya dengan tangan kiri, namun urung ketika terdapat sesuatu pada permukaan telapaknya. Sebuah sticky note berwarna merah muda menyala. Arga baca tulisan yang tertera di sana.

gue cuma bisa kasih selimut sama bantal, habisnya gue gak kuat kalo harus gotong lo ke kasur lo kan bongsor :P

Arga lalu perhatikan sekelilingnya. Benar bahwa ada sebuah bantal yang sesaat lalu menjadi tumpuan kepalanya. Juga ada sebuah selimut yang menutupi raganya, yang seingatnya malam lalu dia berikan selimut itu kepada Rafka.

Senyuman tipis tercipta pada kedua belah bibirnya. Dia pindahkan note tadi ke atas nakas di belakangnya dan berniat ingin merapikan selimut serta bantal itu ke tempatnya semula.

Namun dengan cepat, pemuda itu lantas berdiri dan segera masuk kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut ketika merasa sesuatu dalam perutnya seperti tengah bergejolak. Argantara terduduk di depan kloset, memuntahkan cairan dari dalam tubuhnya sambil tangan kanan memegangi bagian perut, sedangkan yang kiri bertumpu pada pinggiran kloset. Kepalanya ikut dibuat pening akibatnya.

Selang beberapa menit kemudian, saat dirasa sakit pada perut serta kepalanya sudah sedikit mereda, Arga bersihkan semuanya. Dia lalu berdiri dan menuju ke arah wastafel untuk membersihkan sisa sisa kegiatan tadi serta mencuci wajahnya yang terlihat kusut karena baru saja bangun dari tidur.

Setelah selesai, tungkainya dia langkahkan kembali ke arah samping kasur, tempat di mana dia meninggalkan selimut dan bantal tadi begitu saja. Arga lalu mengambil benda benda tersebut dan segera dirapikan di atas kasur itu.

Indra penciumnya menghirup aroma harum yang sepertinya berasal dari roti yang sedang dipanggang. Dengan rasa sakit yang masih tersisa sedikit pada bagian kepalanya, Arga lalu arahkan tungkainya menuju dapur. Pasti aroma ini berasal dari sana.

Dan benar saja, figur belakang dari seorang pemuda yang dikenalnya adalah hal pertama yang dilihat sepasang netranya kala area dapur sudah berhasil dipijakinya kini. Rambutnya bersinar diterpa cahaya sang surya yang berasal dari kaca kaca jendela besar di sana.

Arga lalu mengambil duduk pada salah satu kursi yang ada di meja makan. Suara gaduh dari decitan kaki kursi tersebut ternyata berhasil membuat Rafka menoleh ke arahnya.

“Oh, udah bangun?” tanyanya.

“Hm...” Arga hanya menjawabnya dengan gumaman singkat, karena sejujurnya keadaan kepalanya saat ini belum juga sepenuhnya pulih seperti sedia kala. Laki-laki itu mengernyit, dan pemandangan tersebut tak luput dari pandangan Rafka.

“Lo kenapa?” tanya Rafka sedikit khawatir saat melihat Arga yang kini mulai memegangi bagian kepalanya dengan sebelah tangan.

“Kepala gue... masih sakit...” Akunya.

Rafka dengan cepat mengambil obat pada kotak yang letaknya ada di samping kulkas. Diambilnya satu gelas air putih lantas menyerahkannya beserta dua bungkus kemasan obat berwarna biru di tangannya kepada Arga.

“Obatnya dilarutin dulu ke air putih, terus lo minum.” tukas Rafka.

Arga lakukan perintah Rafka tadi. Setelah larutan pada gelas itu sudah habis tak bersisa, Rafka kembali menghampirinya dengan membawa dua piring pada kedua tangannya. Satu diletakkan di depannya dan satu lagi untuk Rafka sendiri.

Rafka sudah memulai dengan suapan pertama, sedangkan Arga masih betah terus memandangi makanan di depannya tanpa berniat ikut menyuapkan roti panggang tersebut ke mulutnya.

“Makan Arga!” serunya. “Biar lo cepet sembuh.”

Namun Arga belum juga terlihat menyentuh pisau makan dan garpu itu. Pandangannya masih menatap ke arahnya.

“Enak?” tanya Arga.

“Enak, enak.... Cobain,”

Setelahnya Arga menyuap sepotong kecil roti panggang itu ke mulutnya. Sebenarnya dia sedikit merasakan asing, karena waktu di rumah Arga biasanya sarapan dengan nasi dan lauk masakan Bunda. Tapi rasanya tidak buruk juga untuk sarapan diluar konteks nasi pada jam segini. Pikirnya.

“Kepala lo gimana? Udah sembuh? Apa masih sakit?”

Arga arahkan pandangan itu ke depan sang lawan bicara. “Udah mendingan, gak kayak tadi pagi.”

Rafka membulatkan mulutnya menanggapi itu, serta mengangguk paham. “Terus lo pulangnya jam berapa?”

“Lo ngusir nih ceritanya?” tanya Arga main-main.

“Enggak ish... cuma tanya aja.”

Arga terkekeh ringan, “Kalo kepala gue udah gak sakit lagi, kayaknya habis makan gue pulang.”

“Nggak mandi dulu sini?”

Mungkin pertanyaannya memang sederhana, tapi Arga dibuat sedikit kikuk saat mau menjawabnya. “Gak kok, di rumah aja, gue gak bawa baju ganti.”

“Gue ada baju yang kebesaran, kayaknya di lo muat deh.”

Bukan Rafka, bukan masalah baju luar yang sebenarnya Arga masih bisa pakai jaketnya kalaupun harus. Tapi ini menyangkut pakaian terdalam yang Arga maksud. Mohon untuk mengerti sedikit.

Arga menggelengkan kepalanya pelan setelah itu. “Gapapa, gue mandi di rumah aja, lagian gak jauh jauh amat dari sini. Ngerepotin lo nantinya.” Kukuh Arga tetap pada pendiriannya.

“Beneran?”

“Iya, Rafka.”

“Emm... Yaudah kalo gitu.”

Seusai makan bersama pagi itu, Arga lalu mengambil jaketnya dan kunci motor di atas meja kaca pada area ruang televisi di sana.

Dua putra adam itu kini saling berhadapan di depan pintu masuk yang terbuka lebar.

“Gue pulang dulu.” Pamit Arga.

“Iya, hati-hati.”

Selepas itu, Arga langkahkan tungkainya ke arah pintu lift yang hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk apartemen Rafka. Ketika pintu dari baja itu terbuka, Arga masuk ke dalam sana dan memencet satu tombol yang mengarah ke area terbawah pada bangunan apartemen tersebut.

Sebelum pintunya tertutup, Rafka sedikit berteriak dari tempatnya berdiri yang masih sama seperti tadi. “Arga!”

Yang dipanggil sontak menatap lurus menuju seorang pemuda dalam balutan baju tidur di depan sana. “Kenapa?” jawabnya ikut mengeraskan suara, agar Rafka dapat mendengarnya.

“Gue cuma mau bilang... makasih...” Simpul pada bibir tipis itu muncul setelahnya. Yang Arga tangkap dalam pandangannya, Rafka di depan sana tengah melambaikan tangan ke arahnya. Tepat sesudah itu akhirnya pintu lift menutup sebelum Arga sempat menjawab pernyataan tadi.

Dalam sekotak ruang yang sekelilingnya terbuat dari baja itu sendirian, Arga balas pada udara kosong di sekitarnya.

“Sama-sama.”


cw // drunk , drunk conversation


Kegiatan malam mereka hari ini sudah usai. Kini sekelompok remaja laki-laki tersebut mulai berpamitan setelah sampai di dekat kendaraannya masing-masing.

Arga berniat memasukkan ponsel dalam genggaman tangan kanan itu ketika raga tegap sang pemuda sudah duduk di atas motor hitam miliknya, namun dia urungkan niatnya saat sepasang netranya melihat satu postingan yang berhasil menyita perhatiannya.

Dengan cepat disimpannya ponsel itu ke dalam saku jaket. Arga pakai helmnya guna melindungi bagian kepala. Tak lama kemudian, motor sport hitam miliknya ikut berbaur pada jalan raya yang masih ramai pengendara meskipun pada malam hari seperti saat ini.

Pada hatinya berulang kali menggumam sebuah kalimat cemas, khawatir pada satu orang yang kini bayangnya hadir memenuhi isi kepalanya.

Dia bilang baik-baik saja, tapi nyatanya pemuda itu lebih memilih bersembunyi di balik tebalnya dinding rasa. Dia iyakan tanya yang Arga lontarkan, tapi sebenarnya Rafka lebih memilih memendam sendirian. Arga tidak paham, kalau itu menyangkut apa yang dirasakan si surai merah muda pada hatinya yang paling dalam.

Arga hanya takut perihal sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada sang penyita perhatian. Hal yang bisa dia lakukan hanya memastikan dengan mata kepalanya sendiri sekarang.

Saat di persimpangan; yang biasanya Arga ambil jalur kanan dimana arah ke rumahnya berada, tanpa menunggu lampu lalu lintas di depan sana berubah menjadi warna hijau, Putra Argantara itu langsung belokkan arah motornya ke kiri menuju jalan Rasuna.

Butuh beberapa menit sebelum Miko sudah berhenti tepat di kawasan depan Setiabudi Residence. Setelah lapor pada pos satpam setempat, Arga lalu kembali melajukan motornya ke area basement dan memakirkan kendaraan itu di sana.

Tungkainya kini mulai melangkah menuju arah lift tempat di mana gedung apartemen Rafka berada. Saat pintu baja itu terbuka, Arga lalu masuk ke dalam dan memencet salah satu tombol pada permukaan sisi kanan di sana yang menampilkan angka dua puluh tiga.

Sesaat setelah lift berbunyi; pertanda kalau tempat yang menjadi arah tujuannya sudah sampai. Arga lalu langkahkan kakinya ke arah pintu yang ada tepat beberapa meter di hadapannya. Pandangannya lurus, terkunci pada satu unit nomor yang masih diingatnya itu. Dia berdiam sejenak di depan pintu tersebut sebelum tangannya bergerak menekan bel yang ada di samping. “Raf, buka pintunya! Gue udah di depan.” ujarnya dengan sedikit mengeraskan suara.

Rafka terkejut mendengarnya. Kini pandangannya menatap lamat-lamat pintu masuk di sampingnya itu. Pasalnya, dia sama sekali tidak mengira akan mendapat suatu kehadiran lain dari seseorang pada malam hari ini. Rafka mengenal betul suara di balik pintu masuk itu. Suara yang kerap terdengar oleh rungu. Suara seorang Argantara yang saat ini sedang dalam penantian tunggu.

Ponsel yang tergeletak di atas meja itu bergetar, menandakan adanya sebuah notifikasi masuk. Dilihatnya sekilas ke arah layar, ternyata Arga mengiriminya pesan yang menyuruhnya untuk membuka pintu masuk apartemennya. Rafka sebenarnya masih bimbang, perihal maksud dari kedatangan Arga, kenapa lelaki itu bisa tiba-tiba sudah ada di depan sana?

“Rafka, bukain pintunya dulu buat gue, bisa?” Suaranya kembali terdengar. Rafka bangkit dari sofa yang didudukinya dan melangkah menuju pintu masuk itu untuk kemudian dibukanya. Arga dengan air muka serius adalah hal pertama yang berhasil tertangkap oleh netra.

Setelah menyuruhnya masuk, kini dua putra adam itu sudah duduk saling berdampingan. Rafka mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, karena terlihat sedikit dari sudut matanya, Arga seperti tengah menatapnya kuat dan penuh penekanan.

“Katanya lo gapapa.” ujarnya memulai. “Terus ini maksudnya apa?” Telunjuknya lalu ia arahkan pada sesuatu di atas meja kaca tersebut. Arga menatap serius laki-laki di sampingnya. “Raf, udah gue bilang, lo bisa cerita ke gue kalau lagi ada apa-apa. Gue siap dengernya.”

Rafka balas tatapan Arga tepat di mata. “Gue gak kenapa-napa, emang lagi pengen minum aja, mumpung sabtu malam juga.” jawabnya. Rafka memang berkata apa-adanya. Dia sedang ingin minum, disamping ada hal lain yang dipilihnya untuk tetap berada pada tempatnya, memilih untuk tidak disuarakan saat itu juga.

Arga menghela, ia lalu meraih botol wine di atas meja itu untuk kemudian diamatinya sebentar. “Enak?” tanyanya dengan sedikit menggoyangkan botol pada tangan kanannya di hadapan Rafka.

“Iya, kesukaan gue.”

“Lo sering minum?”

“Gak juga, waktu lagi pengen aja.”

Arga menanggapinya dengan anggukan. Botol di tangannya lantas diletakkan kembali ke atas meja. Arga lepas jaketnya dan disampirkan pada pinggiran sofa di sampingnya. “Raf, gue izin ke dapur lo, boleh?”

Rafka naikkan sebelah alis pertanda bingung, tapi akhirnya dia iyakan saja permintaan si surai biru tersebut. “Iya, boleh.”

Setelah itu Arga berlalu ke arah dapur. Matanya memindai satu persatu tempat yang sekiranya terdapat sebuah benda yang yang akan diambilnya. Dia buka cabinet di atasnya dan menemukan gelas yang dimaksud. Arga lalu mengambilnya satu dan kembali menuju tempatnya semula.

Saat Rafka sedang meminum cairan yang tersisa sedikit pada gelas kaca pada genggaman tangannya, ia tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Arga setelahnya. Bukan, bukan pada lelaki bersurai biru yang kini sudah ada di sampingnya. Melainkan pada apa yang dibawa Arga seusai kembali dari dapurnya sesaat lalu. Lelaki itu menyodorkan sebuah gelas yang sama persis seperti yang tengah digenggamnya saat ini.

“Arga?!”

“Kenapa? Gue juga mau.” jawab Arga ringan seolah bukan menjadi permasalahan. “Gue denger kalo lagi minum minum gini lebih enak lagi kalo minumnya bareng temen.” Gelas pada genggamannya kembali digoyangkan pelan. “Tuangin dong.”

Rafka tak langsung melakukan permintaan Arga. Ada jeda sejenak sebelum si surai merah muda itu kembali menatap lelaki di hadapannya serius. “Lo pernah cobain emangnya?”

“Ini kan mau cobain.”

“Arga, lo ...?”

“Apa?”

Air muka Rafka seperti tidak habis pikir. Bisa-bisanya Argantara seolah menanggapi seperti itu hal biasa baginya. Namun ekspresi yang tampak pada wajahnya yang rupawan masihlah terkesan datar, tak seperti biasa yang memancarkan aura ketenangan jua berseri saat kerap kali berjumpa pada satu kelas yang sama.

Rafka menghela pelan. “Arga, lo bisa mabuk... dan jangan lupa lo nanti nyetir!”

“Kalo gue nginep sini, boleh? Entar gue kabarin Bunda kalo lo bolehin. Mumpung sabtu malam juga...” tukasnya. Ikut menirukan gaya bicara Rafka saat mengatakan kalimat yang terakhir. “Gue temenin, mau sampe besok juga ayo gue temenin.”

Setelahnya, saat gelas masing-masing sudah terisi oleh cairan pekat berwarna merah kehitaman, mereka lalu bersulang dan meneguknya kemudian.

Arga mengeryit mendapati rasa yang aneh saat cairan itu sudah masuk dan bersua dengan indra pengecapnya. Rasa pahit, asam, dan manis bercampur jadi satu. Kalau boleh jujur, Arga tidak suka, tapi dia harus tahan perasaan itu. Kalau tidak, bagaimana dirinya akan mengikuti permainan Rafka dan memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh si surai merah muda?

Kala sunyi makin mengudara, ada perasaan asing yang muncul saat keduanya bersitatap dalam diam. Rafka sedikit canggung saat Arga melihat sisinya yang seperti sekarang. Belum pernah sekalipun terlintas dalam benaknya akan berbagi wine dengan seseorang yang ada di sampingnya kini.

Denting yang terdengar samar dari jam dinding di atas televisi di sana jadi saksi ketika kesadaran Rafka maupun Arga makin lama makin terkikis terbawa waktu. Dua pemuda yang saling berhadapan itu sudah saling melontarkan kalimat-kalimat rancu. Terutama Rafka, yang tanpa henti berbicara apapun begitu saja. Dia keluarkan apa saja yang ada dalam hatinya.

Arga dengar baik-baik ketika Rafka bicara. Dia pernah dengar kalau omongan orang mabuk adalah apa yang sejujur-jujurnya ingin disuarakan sang tuan ketika ada batasan berupa ketidakmampuan dan berakhir dengan hanya dipendam sendirian.

Mungkin sebentar lagi Arga juga akan mengalaminya, karena dia sekarang sebenarnya sedikit menahan untuk tidak meminum cairan itu lebih banyak dari yang sebelum-sebelumnya. Arga masih ingin mendengar langsung dari Rafka, perihal yang ingin dilontarkan sang pemuda, namun belum mampu dikatakannya.

“Gue cuma hik~ ngerasa sendi– hik~ rian aja...” ucap Rafka susah payah ketika cegukan mulai melandanya terus menerus. “Tapi gue—gak mau ganggu—temen temen—gue—gue gak enak—” “Udah mau—sebulan juga—kakak gue belum nen—ngok sini...”

“Ada gue Raf,” ucap Arga juga sedikit kesusahan karena kepalanya mulai terasa pusing dan semakin berat. “Lo kalo mau cerita, ke gue aja... gue bakal dengerin bahkan sampe mulut lo berbusa sekalipun,”

Karena tidak tahan, Argantara lantas menyandarkan punggung dan kepalanya pada sandaran sofa di belakangnya.

“Gue juga— butuh sosok temen yang lebih—” Arga berujar lirih nyaris tidak terdengar.

“Ga...” panggil Rafka setelah Arga bertahan dalam diam selama beberapa saat.

Arga menoleh ke samping kiri, “Hm?”

Perlahan jarak antara dua wajah yang saling berhadapan itu makin terkikis karena Rafka mulai memajukan kepalanya mendekatinya.

Arga hanya mengerjap ketika Rafka menatap lurus tepat di matanya. Dia masih belum bereaksi apa apa ketika dalam jarak yang sudah sedekat ini, bahkan bisa dirasakan hembusan napas sang pemuda tepat mengenai permukaan kulit wajahnya. Rafka terlihat lucu dengan kedua pipi yang tampak sedikit memerah. Arga tersenyum kecil karenanya, tangan kirinya bergerak ingin menuju sisi kanan wajah Rafka. Namun sebelum itu terjadi, si surai merah muda telah lebih dulu menarik wajahnya dan kembali pada tempatnya semula.

“Hehe....ada—bulu mata lo—jatuh di pipi.” ujarnya sambil menunjukkan sehelai bulu mata pada capitan telunjuk dan ibu jari tangan kirinya di hadapan Arga.

Setelah itu Rafka kembali meminum sisa cairan pada gelasnya sampai habis tak bersisa.

Tck, gue mikir apa sih barusan?, Batin Arga. Lengan kanannya diangkat untuk menutupi bagian matanya. Kalau akal sehatnya sudah bebas terbawa delusi, segera saat itu juga harusnya Arga berhenti.

Saat pikirannya sedang bergelut dengan batinnya, tiba-tiba Arga rasakan ada yang terantuk pada bahu sebelah kirinya. Ketika menoleh ke samping, ternyata ia dapati Rafka sudah bersandar nyaman pada bahunya dengan mata yang tertutup. Rafka menyerah pada sisa kesadarannya dan memilih terlelap menjemput bunga tidurnya.

Saat melihat pada jam dinding di atas sana, jarum pendeknya hampir tiba pada angka dua belas. Sudah selarut ini.

“Raf, ayo pindah ke kamar lo... jangan di sini, badan lo bisa sakit nanti.”

Rafka hanya menanggapinya dengan gumaman. Lalu dengan sisa sisa kesadaran yang masih belum sepenuhnya hilang, Arga bangkit dan berinisiatif memindahkan Rafka ke kamarnya.

Lengan kanan Rafka sudah dikalungkan pada lehernya, Arga lalu merangkul bahu yang lebih kecil untuk dipapahnya menuju kamar sang tuan rumah. Namun belum juga mengambil langkah maju, Rafka sudah lebih dulu kembali terduduk akibat tidak kuat menahan bebannya sendiri. Apa mungkin lelaki bersurai merah muda tersebut sudah sepenuhnya berkunjung ke alam mimpi?

Arga tidak menyerah dan hilang akal begitu saja. Dia lalu mencoba menggendong Rafka di punggungnya. Tapi saat mencoba bangkit dari posisinya untuk berdiri, dia sedikit kesusahan karena harus menyesuaikan beban pada punggungnya dan juga beban badannya sendiri.

Satu satunya yang dilakukan Arga saat itu adalah menyelipkan satu legannya melingkupi bagian bahu, sedang lengan satunya dia arahkan pada bawah kedua lutut Rafka. Arga menggendong pemuda itu dengan cara bridal.

Saat dalam perjalanan menuju kamar yang diduga milik Rafka, lelaki bersurai biru itu lantas membuka knop pintunya dengan sedikit susah payah. Arga akan membaringkan Rafka dengan nyaman pada kasur di depannya, ketika tiba-tiba saja lelaki dalam gendongannya menggumam. “Ga, kalo mau tidur di kamar satunya aja ya, jangan di sofa...” Setelah mengatakan itu, Rafka kembali tertidur. Tampak dari nafasnya yang berhembus teratur.

Arga merapikan selimut yang menutupi raga pemuda yang lebih kecil itu dengan hati-hati setelah sebelumnya mengatur posisi tidur yang nyaman untuk Rafka. Suhu pada air conditioner di ruangan itu juga diatur senyaman mungkin agar Rafka tidak merasa kedinginan maupun kepanasan nantinya.

Sesaat setelah meletakkan remote control pada tangannya ke atas meja nakas di samping tempat tidur Rafka, Arga merasakan sakit yang luar biasa pada bagian kepala. Pandangannya juga semakin mengabur saja dibuatnya. Rasa-rasanya Arga tidak akan sanggup jika harus berjalan lagi barang satu langkah.

Akhirnya, setelah bersimpuh di samping tempat tidur Rafka, ketika lengan kirinya digunakan sebagai tumpuan kepalanya, dan sesimpul tarikan senyum itu menampil seusai melihat sekilas ke arah si surai merah muda, Arga kemudian menyerah pada sisa kesadarannya dan memilih terlelap menjemput bunga tidurnya.


Rafka dan keempat temannya yang lain bergegas menuju basement apartemen untuk memasukkan barang-barang bawaan mereka ke mobil milik Rafka. Setelah selesai dan tidak ada satupun barang yang tersisa, mereka lalu masuk ke dalam mobil putih tersebut.

Vania mengambil alih di belakang kemudi. Kaila di sampingnya. Rafka dan Azka menempati kursi bagian tengah. Sedangkan Farezi duduk sendirian di belakang.

“Njir gue sendirian di belakang.” suara pemuda yang akrab dipanggil Fares itu kepada empat temannya yang ada di bangku depannya.

Azka yang mendengar itu, dia condongkan badannya ke belakang melihat yang bersurai ungu pudar. “Ya terus lo mau gimana? Gue pangku gitu?” tanyanya main-main.

“Gak gitu juga...” elak Farezi Kavindra, “Gak enak gak ada temennya.” lanjutnya mengeluh lagi.

“Perkara duduk doang,” sahut Vania dari arah paling depan. Tak lama mesin mobil dinyalakan oleh gadis berambut sebahu tersebut. “Gue tinggalin juga lo Res!” Nadanya memang terdengar sedikit serius, tapi sebenarnya Vania hanya sedang iseng saja saat mengucapkannya.

“Jangan lah Van! Iya iya gue gak protes lagi.”

Lalu tak lama kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan tempatnya semula dan mulai membelah jalanan ibukota bagian selatan untuk menuju suatu tempat yang sudah direncanakan kelima orang di dalam mobil itu sebelumnya.

Mereka berencana menghabiskan hari Minggu ini dengan berlibur bersama ke Taman Jaya Impian Ancol. Lima orang itu memang sudah membuat janji sebelumnya, yang kebetulannya bisa terlaksana sekarang.


Pendar lampu di atas sana masih menunjukkan warna merah. Arga lalu tolehkan kepalanya ke sekitar dia. Hanya kendaraan Jerico lah yang ada di samping kirinya saat ini, dengan Harsa yang ada di boncengan belakang.

“Surya mana?” tanya Arga, suaranya sedikit teredam di balik helm hitam miliknya. Karena setahunya tadi, mereka masih saling berdekatan sebelum sampai di lampu lalu lintas daerah pasar baru sekarang.

“Di belakang, gak berani ngebut dia... gue liat tadi habis diprotes Jinan.” jawab Harsa.

“Bilangin kalo gitu Sa, pas papasan nanti, langsung aja ke parkiran, ketemuan di sana.”

Harsa menanggapinya dengan bahasa isyarat tangan kanannya yang dibentuk O.K. pada satu-satunya pemuda yang berkendara sendirian.

Tak lama kemudian, lampu lalu lintas itu berganti warna. Arga kembali melajukan motor hitamnya disusul Jerico di belakang dia.

Hampir menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum mereka tiba di area parkir kendaraan roda dua Taman Ancol. Surya jadi yang terakhir sampai. Ia dan Jinan lalu menghampiri ketiga temannya yang lokasi parkirnya sedikit jauh dari tempatnya sekarang.

Kelimanya lantas jalan bersama memasuki kawasan tempat hiburan. Mengamati objek yang tersaji di hadapan. Tak jarang juga sesekali ada yang mengabadikan potret suasana itu dalam sebuah tangkapan gambar lewat kamera ponsel masing-masing.

Arga sedang sibuk menjelma jadi fotografer dadakan ketika Harsa mengeluarkan suara, “Makan dulu yok! Gue laper!”

Jinan yang ada di dekat laki-laki bersurai ungu itu menanggapi, “Kayaknya mau dimanapun itu lo selalu laper deh Sa.”

Harsa berdecak. “Ananda Jinan... Wajar dong gue laper, ini kan udah masuk jam makan siang kalo lo lupa,”

“Btw gue juga laper sih.” sahut Surya menyela perkataan Harsa sambil tangannya memegang bagian perutnya. “Cari makan yuk! Mainnya entaran aja habis makan!”

“Setuju sih gue, main main di pantai juga butuh tenaga.” Harsa makin menghasut temannya yang lain agar mereka mau makan siang terlebih dahulu sebelum memutuskan bersenang-senang di pantai nantinya.

Karena semua setuju, akhirnya kelima pemuda tersebut memutuskan mencari sebuah cafetaria di dekat sana. Saat sedang berjalan melihat-lihat restoran mana yang menjadi tempat mereka memutuskan akan singgah untuk makan siang, tiba-tiba saja Harsa berceletuk, “Bentar... Gue kok kayak pernah liat tuh orang, tapi di mana ya?” Matanya sudah memicing; memandang lurus ke depan, tertuju pada salah satu gerombolan remaja yang sedang duduk di salah satu meja cafe dekat ia dan teman-temannya berdiri sekarang.

“Siapa Sa?” tanya Jinan.

“Itu Nan, cowok yang duduknya deket pager pembatas kayu, yang rambutnya cerah.” jawab Harsa sembari telunjuknya menunjuk siapa orang yang ia maksud.

“Yang mana sih? Yang rambutnya cerah ada dua.”

“Ck, itu yang pake kemeja putih, yang rambutnya pink atau apa itu? Gak jelas gue liatnya,”

Sontak pandangan kelima laki-laki itu tertuju pada satu titik yang sama. Dimana di depan sana, pada salah satu meja yang terdapat satu kelompok remaja berbeda gender tersebut sedang bersenda gurau satu sama lain, ada seorang lelaki yang dimaksud Harsa tadi.

Jerico dari samping kirinya menyahut, “Keliatan gak asing.” Lalu saat dirinya menoleh ke samping, tampak laki-laki dengan mata sipit itu makin memicingkan kedua matanya sambil terlihat sedikit berpikir.

“Lo kenal Jer?” tanya Harsa.

Saat belum ada jawaban dari si surai cokelat muda, tiba-tiba saja Argantara menyuarakan sebuah keterkejutan yang sedikit lantang terdengar. “Hah?! Kok bisa barengan?!”

Surya menimpali cepat, “Siapa Ga?”

“Rafka Sur, masa lo gak ngeh?”

“Lah masa?! Sejak kapan dia ganti warna rambut?”

“Kemaren bareng gue.”

Harsa yang tiba-tiba mengingat sedikit akan lintasan kejadian dahulu itu lantas bertanya. “Rafka Rafka yang di Kokas itu?”

Jerico baru ingat, ternyata wajah laki-laki yang bersurai merah jambu itu memang tidak asing bagi ingatannya. “Iya deh Sa, yang kita gak sengaja ketemu Arga sama cowok waktu di foodcourt dulu.”

“Siapa lo? Pacar ya?” tanya Harsa pada si Putra Argantara.

“Ngaco lo!” elak Arga. “Mana ada gue pacaran?”

“Terus?”

“Temen doang elah... Temen satu kelas fotografi bareng Surya juga.”

“Masa? Gue agak gak percaya?”

“Yaudah tanya aja sendiri kalo lo gak percaya.”

Harsa memang penasaran. Terbukti dari tungkainya yang mulai melangkah mendekati yang menjadi pusat tujuannya kini.

“Heh lo mau ke mana anjir?” tanya Arga ketika Harsa mulai tampak menjauh dari yang lain.

“Kata lo tanya aja sendiri, ya udah ini gue mau nanya.” Setelah mengatakan itu, Harsa kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.

ASDFGHJKL Batin Arga sedikit panik. Segera saja dia susul yang bersurai ungu itu cepat-cepat. Entahlah, dia merasa ada sedikit ketakutan pada relung hatinya. Masih belum jelas apa, masih terlalu abstrak untuk dijabarkan lebih luas. Yang jelas ia harus mengejar Harsa sebelum laki-laki itu benar-benar melakukan suatu hal gila seperti apa yang saat ini dipikirkannya.

Dapat. Lengan kanan Harsa berhasil diraihnya setelah berlarian kecil mengejar temannya itu. “Sumpah Harsa, lo jangan malu-maluin gue. Ayo balik!” Ajak Arga.

Namun sepertinya Arga tidak sadar kalau ternyata tempatnya berpijak kini sudah ada di dekat meja tempat Rafka dan teman-temannya yang lain berada.

Rafka otomatis menghentikan percakapannya dengan yang lain ketika sebuah suara berhasil tertangkap oleh indra pendengarnya. Saat menoleh ke asal suara itu, ternyata ia dapati seorang Argantara tak jauh dari tempatnya sedang bersama dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya.

“Lo di sini juga Ga?” tanya Rafka pada si surai biru itu.

Arga yang mendapat pertanyaan itu lantas menoleh ke depan. Sepertinya sudah terlambat kalau harus kabur saat itu juga. Dia sedikit meringis sebelum menjawab yang bersurai merah muda. “Iya, gue bareng temen-temen gue ke sini.”

“Oh ya? Mana?” tanya Rafka lagi.

Saat Arga ingin menoleh ke belakang melihat teman-temannya yang lain, ternyata mereka sudah ada di dekatnya sekarang.

Rafka yang melihat Surya dan Arga kini berdiri berdampingan sontak saja berceletuk. “Lo berdua kayak anak kembar.” Telunjuknya lalu diarahkan kepada dua orang dengan warna rambut biru yang terlihat hampir serupa.

“Arga nih ngikutin gue.” protes Surya.

“Emang lo doang yang bisa ngewarnain rambut jadi biru? Suka suka gue lah mau warnain apa aja.”

“Padahal bagusan blonde.” sela Rafka.

“Gak, gue lebih suka biru.”

Setelah meneguk minumannya, Fares yang penasaran akan kehadiran lima pemuda di depannya itu lalu bertanya pada Rafka yang terlihat mengenal beberapa orang di sana. “Temen lo Raf?”

“Iya, yang rambutnya samaan sekelas matkul fotografi sama gue.”

“Oohh... Suruh duduk dulu sih, kasian itu masih berdiri.”

“Oh iya,” Rafka lalu menyuruh Arga dan teman-temannya duduk di meja dekatnya. Setelah berbincang-bincang cukup lama dan masing-masing dari mereka sudah memperkenalkan diri satu sama lain, semua orang yang ada di sana memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama-sama seusai dari makan siang ini.

Saat sedang fokus pada santapan di hadapannya, Arga mencuri lirikan pada meja di sebelah dia karena mendengar suara tawa kecil yang cukup familiar. Dilihatnya Rafka yang ternyata asik berbincang ringan dengan teman-temannya, tangan kirinya sesekali sibuk membenahi rambutnya agar rapi kembali akibat ulah dari angin yang berhembus pelan kala itu.

Dari mejanya saat ini, tak bohong kalau dirinya sekarang sedikit tertegun. Sebuah pemandangan di depannya adalah satu dari alasannya tak berkedip selama memandang untuk waktu beberapa detik yang sudah lewat.

Cukup ia dan langit biru yang jadi saksi, kalau kurva pada bingkai wajahnya diam-diam mulai terpatri.

Arga suarakan sebuah kekaguman yang hanya hati kecilnya ketahui, Cantik.