Naraversal


“Lo gak ikutan balik Ga?”

Lelaki dalam balutan kaos putih polos itu lantas menoleh ke samping kirinya, dimana Rafka sudah lebih dulu menatap ke arahnya. “Gue gak mungkin pulang kalau apart lo masih berantakan gini,” jawab Arga. Pandangannya langsung diarahkan kembali ke depan, lalu tangannya meraih beberapa tumpukan piring kotor yang ada di atas meja. “Gue cuci ini dulu, baru nanti balik.”

Tak lama setelah itu Arga beranjak dari duduknya pada sofa ruang tengah tersebut dengan kedua tangan dipenuhi oleh setumpuk peralatan makan yang mereka gunakan sebelumnya. “Boleh tolong bawain panci yang masih sisa ini ke dapur gak Raf? Tangan gue gak muat.” ujarnya disertai dagu yang sengaja diarahkan menunjuk satu-satunya wadah aluminium yang tersisa di sana.

Rafka mengambil panci itu dan segera menyusul Arga yang lebih dulu berjalan ke area dapur. Kemudian diletakkannya benda tersebut di dalam wastafel seperti apa yang dilakukan seorang lelaki di sampingnya. Sebelum sang Putra Argantara itu berhasil meraih spons untuk mencuci piring, Rafka lebih dulu menginterupsinya, “Nanti ngerepotin, Ga... gak papa lo pulang aja sekarang, gue bisa cuci besok pagi.”

Arga pandang laki-laki bersurai terang itu, “Gak enak Raf ninggalin piring kotor gini... lagian juga belum terlalu malem, santai aja, gue gak ngerasa direpotin sama lo.”

“Tapi lo kan udak masak buat kita tadi,”

Ada sesingkat jeda sebelum Arga kembali mengeluarkan suara, “Kata bunda, kalo memungkinkan, sebisa mungkin jangan suka nunda nunda pekerjaan. Kalo bisa diselesaiin sekarang, kenapa harus nunggu sampe besok pagi dicucinya?”

“Tapi tetep aja gue ngerasa gak enak,”

“Raf, gue sendiri yang mau. Lagian kayak sama siapa aja sih pake gak enakan? Wajar kan, bantuin temen sendiri?” yakin Arga. Dia tidak mungkin meninggalkan apartemen Rafka begitu saja. Ada rasa tidak enak hati ketika keadaan sesaat setelah acara makan bersama tadi meninggalkan jejak berupa serakan peralatan makan yang mereka gunakan sebelumnya. Tadinya Surya dan Gladys juga sudah menawarkan untuk mencuci piring kotor itu, tapi sepertinya panggilan dari ponsel gadis itu terlebih dulu menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah. Jadilah tinggal Arga saja di sana, karena Surya harus mengantarkan Gladys jua sekalian pamit ingin kembali ke kosannya.

“Ya udah kalo gitu bareng bareng cucinya.”

Arga menanggapinya dengan senyum tipisnya. Kedua insan itu kemudian saling membantu membersihkan piring-piring serta alat makan lainnya bersama-sama.

Suasanya cukup hening, hanya terdengar suara keran yang menyala, dan pikiran yang sedang dirasakan dua orang itu pada masing-masing kepala.

Mereka memutuskan membagi pekerjaan, dengan Rafka yang bagian mencuci, sedang Arga yang bagian membilas. Rafka cukup telaten dalam membersihkan piring kotor di tangannya itu sampai seluruh permukaannya tertutup oleh busa sabun, lalu diserahkannya pada Arga untuk kemudian dibilas dengan air sampai bersih.

Saat Rafka kembali akan menyerahkan piring keramik dalam genggamannya ke tangan Arga, ternyata laki-laki bersurai hitam tersebut belum siap lantaran baru saja meletakkan piring sebelumnya yang sudah bersih ke tempat di sebelah bak bagian yang terisi penuh oleh air. Alhasil piring yang diserahkan Rafka itu jatuh ke dalam kotak tersebut.

Dua orang di sana sedikit terkejut akibat bunyi yang dihasilkan. Keduanya dengan segera mengambil piring itu hampir bersama-sama. Kemudian tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan di dalam air yang terlihat sedikit keruh.

Dua pemuda di sana terkesiap setelah menyadarinya. Arga hanya bisa mematung dengan debaran jantung tiba-tiba dia rasakan lebih cepat dari biasanya. Sedangkan Rafka, diameter matanya sedikit membesar karenanya. Cepat-cepat dia tarik kembali tangan itu dan berdeham pelan, “Eh, maaf, gue gak sengaja.”

Sebenarnya jiwa seorang Argantara belum sepenuhnya kembali pada sang raga. Tapi ucapan Rafka baru saja sedikit banyaknya membantu Arga mendapat kesadarannya yang sesaat lalu terenggut secara paksa karena kejadian tidak disengaja. Lelaki itu akhirnya menutupi kegugupannya dengan mengusap bagian bawah hidungnya, “Iya... maaf juga gue gak sadar lo tadi ngasih piringnya ke gue.”

Akhirnya mereka kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sesaat lalu. Rafka yang sudah selesai dengan bagiannya, ia menunggu Arga yang masih harus membilas alat-alat itu sampai bersih. Iseng, dia mengeluarkan ponsel genggamnya dan memotret Arga lalu mempostingnya di salah satu akun media sosialnya.

Tinggal satu benda terakhir dan bagiannya juga sudah selesai saat itu juga. Namun sepertinya Argantara menyadari apa yang dilakukan Rafka di sampingnya. Dengan sebuah niat yang pikirannya serukan dalam kepala dia, diam-diam Arga menangkup sedikit air lalu dipercikkan ke arah Malverino itu.

“YA!!” seru Rafka terkesiap karena tiba-tiba saja wajahnya terkena titik-titik air yang ternyata berasal dari seorang lelaki di dekatnya. Arga terus melakukannya seolah hal tersebut sangat menyenangkan bagi dirinya. Tapi Rafka yang tidak terima. “ARGA UDAH! NANTI BAJU GUE BASAH!”

Tapi yang namanya Argantara itu malah makin gencar melancarkan aksinya, bahkan suara tawanya juga ikut mengudara pada area dapur tersebut.

“ARGANTARA!! AWAS LO!!”

Rafka lalu mengejar laki-laki dalam balutan kaos putih itu. Arga yang paham kalau Rafka mau menghampirinya, ia matikan kran wastafel dan langsung berlari menghindari Rafka. Mereka berputar-putar di area meja makan sebelum berpindah memutari sofa ruang tengah. Rafka terus mengejar seseorang di depannya untuk membalaskan perbuatannya tadi. “Rese lo yang namanya Argantara! Berhenti gak?!”

“Gak mau, hahaha....”

“Isshh,”

Ketika dirasa nafasnya mulai memberat akibat sudah tidak sanggup lagi kalau harus kejar-kejaran seperti itu, Rafka akhirnya berhenti di belakang sofa berona biru. “Lo gak capek apa?”

“Enggak.”

“Hhh.... Gue yang capekh,”

“Ya berhenti dulu, nanti lanjut lagi.”

“Bukanh!” Rafka atur nafasnya yang patah-patah itu sebelum kembali berbicara. “Maksud gue, lo... apah lo gak capekh terus-terusan jailin gue Hah?!”

Arga punya sebuah alasan untuk itu, Rafka. Apa tidak apa-apa kalau diutarakan begitu saja?

Pandangannya kini mengarah lurus ke arah yang lebih pendek. “Lo, keberatan?” Akhirnya ia memilih menahan sesuatu yang mau diucapkannya dengan satu kalimat tanya.

“Agaknya iya, sedikit... lo punya dendam kesumat sama gue ya jangan-jangan?!”

“Ya kaga lah.” sangkal Arga.

“Terus??”

Ravian Rafka, dari selayang pandang kedua binar mata, dan sunyinya suasana malam hari itu, Arga mau bilang, “I have no idea about how to be close to you...” “Not me, but my heart did.”

Mungkin kalau telinga mereka diberikan keajaiban bisa mendengar hal-hal diluar nalar, suara detak jantung keduanya akan ikut terdengar oleh satu sama lain karena kerasnya degupan itu berpacu dalam rongga dadanya masing-masing.

Rafka pikir ada satu hal tak biasa yang dia rasakan kala itu.

“Ya udah kalau gitu, temenan yang biasa biasa aja, kayak lo sama temen temen lo, kayak gue sama temen temen gue,”

“Pake karet dua gak?”

“Maksudnya?”

Arga yang melihat Rafka seperti tidak mengerti itu lantas menggelengkan kepala. “Gak jadi, gak usah dipikirin.”

“Apasih?!”

“Gak papa Raf, gak ada apa-apa.”

“Ish, gak jelas!”

“Yang penting ganteng.”

“Dih, pede!”

Sudah terlalu lama Arga di sana, tampak semakin larut juga suasana malam hari yang terlihat di luar kaca jendela apartemen milik Rafka.

Arga lalu berpamitan pada sang tuan rumah untuk segera pulang. Ketika di ambang pintu masuk itu nyatanya Arga masih belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. “Raf,” panggilnya.

“Apa?”

“Makasih.”

“Hm, sama-sama.”

“Rafka,”

“Apa, Arga?”

Arga membenarkan satu kaitan pada tas punggungnya yang dia sampirkan sisi kanannya saja di pundaknya. “Gue usahain gak usilin lo lagi, tapi gak janji juga sih hehe...”

Rafka merotasikan kedua matanya menanggapi itu, “Apa kalo lo gak punya rencana mau usilin gue, bakal mati?”

“Serem banget omongannya...”

“Bercanda anjir,”

“Ya udah, mana!” Arga lalu arahkan telapak kirinya di depan Rafka.

“Apanya?”

“Tangan lo. Yang kanan.”

Rafka sebenarnya tidak mengerti, tapi tetap saja dia turuti kemauan seorang Argantara. Telapak kanannya diletakkan di atas sana, terlihat jelas perbedaan kedua tangan itu.

Arga balikkan posisinya menjadi tangannya yang ada di atas. Sedangkan tangannya yang lain merogoh saku hoodienya untuk mengambil sesuatu dari sana. Ternyata sebuah bulpoin hitam yang dikeluarkan Arga. Kemudian dia menuliskan sesuatu pada permukaan telapak tangan Rafka dan melipatnya membentuk sebuah kepalan.

“Bukanya waktu lo udah di dalem aja.” pinta Arga disertai segaris senyuman membingkai parasnya yang rupawan. “Gue pulang, ya?”

“Iya, hati-hati.”

Ketika bayangan sosok Argantara sudah hilang dari arah pandangnya, Rafka lalu kembali masuk ke dalam. Tangan kanannya yang mengepal itu dibukanya dengan cepat. Ternyata Rafka temukan sebuah tulisan di sana.

to : M I'll try my best This night I promise you


Helaan nafas terdengar dari mulut Putra Argantara. Karena satu masalah yang datang menghampiri saat itu juga.

Sudah berkali-kali dia menghubungi Rafka. Lewat pesan whatsapp maupun direct message twitter, dua aplikasi itu sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda pesannya sudah dibalas oleh pemuda kelahiran Maret tersebut. Rafka benar-benar mengabaikan chat-nya. Bahkan telfonnya juga tidak diangkat. Merasa tak hilang akal, Arga lalu memposting satu cuitan di twitter untuk meminta bantuan pada siapa saja agar mereka dapat menemukan Rafka secepatnya.

Lebih dari dua puluh menit sudah Puta Ravian itu menghilang setelah kelas praktikum fotografi tadi usai, ia dengan terburu langsung keluar dari kelas begitu saja.

Argantara paham. Rafka, anak itu kecewa dan merasa bersalah karena saat melakukan presentasi, dia melupakan satu kalimat yang sebenarnya bisa dibilang sedikit penting.

Tapi menurut Arga itu bukan masalah sama sekali. Karena ia tahu, Ravian Rafka itu pribadi yang cerdas. Terbukti dari ketelatenannya saat menangani alur presentasi yang sedang berlangsung di kelas tadi agar kembali berjalan lancar sampai sesi akhir dari penampilan kelompok mereka. Bahkan, nilai tertinggi mampu diucapkan sang dosen untuk diberikan kepada kelompok lima yang katanya sangat apik dalam merancang konsep serta teknik pengambilan foto yang dihasilkan.

Ini semua berkat kerjasama mereka. Sudah selayaknya mereka merasa bahagia.

Ting~

Bunyi notifikasi yang berasal dari ponsel genggamnya membuat Arga membuka benda itu dengan cepat. Dan benar saja seperti harapannya, ada pesan masuk yang berasal dari Rafka.

| sorry, gue habis dari toilet

Saat melihat isi pesan tersebut, rasanya Argantara ingin melayangkan kalimat umpatan pada Rafka sekarang juga.

Disaat dirinya sedang panik mencari-cari di mana keberadaan Rafka, anak itu dengan santainya mengatakan kalau dia baru saja dari kamar mandi? Yang benar saja? Arga bahkan sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dilakukan oleh Rafka.

“Arga!”

Seruan yang terdengar membuat Arga menolehkan kepalanya mencari di mana arah sumber suara itu berasal. Dari pasang netranya, ia dengan jelas dapat melihat Rafka menuju ke arahnya disertai lambaian tangan.

“Lo dari mana aja?!” Pertanyaan itu langsung keluar begitu Rafka sampai tepat di hadapannya.

“Gue udah bilang dari toilet, kan?” Rafka menaikkan salah satu alisnya pertanda dirinya kebingungan. Bukannya ia sudah memberitahu lelaki di depannya ini lewat chatting room, ya?

“20 menit di toilet ngapain?” tanya Arga. Jelas terselip nada khawatir pada suara yang ia lontarkan baru saja. Arga hanya terlalu panik dengan situasi yang sedang dihadapinya.

“Ya lo pikir aja gue ngapain, perut gue mules banget daritadi nahan gugup.” ucap Rafka santai.

“Terus tweet-an lo di twitter?”

Mendengar pertanyaan Arga membuat Rafka kembali mengingat kesalahannya pada saat presentasi tadi.

Arga yang melihat perubahan ekspresi pada raut wajah Rafka mengernyit kebingungan.

“Gue ngerasa bersalah banget, Ga. Kita bahkan udah nyiapin itu seminggu sampai lo gak istirahat bikin laporannya. Dan bisa-bisanya gue ngelupain kalimat penting itu. Ga profesional banget, ya?” lirih Rafka.

Arga lalu menyahut dengan cepat, “Raf, mau seberapa pun menyesalnya lo, gak bakalan bikin waktu balik lagi sebelum presentasi. Dengan cara lo ngatasin itu tadi udah profesional banget. Bahkan kita dapat poin tertinggi di kelas kan? Dan lagi, bagi gue lo udah ngelakuin yang terbaik yang bisa lo lakuin, itu aja udah cukup.”

Rafka menundukkan kepalanya, masih merasa bersalah. “Tapi tetep aja...” bisiknya lirih.

Arga yang melihat itu lantas berdecak. Ah, ternyata sedikit susah ya meyakinkan lelaki bersurai terang di depannya ini. “Kalo lo masih nyalahin diri sendiri gini mending gak jadi gue masakin, ya?”

Rafka mengangkat kepalanya cepat, “IH JANGAN GITU!” serunya tak terima. Enak banget main batalin sepihak gitu aja!

“Ya makanya jangan cemberut terus. Senyum dikit kek ke gue!”

“Iya iya.” gerutu Rafka, lalu tak lama mulai menyunggingkan senyumannya untuk Putra Argantara tersebut.

“Ya udah sekarang balik, udah ditungguin yang lain. Gue sama Surya naik motor ngikutin kalian dari belakang.”


Mereka berangkat menuju apartemen Rafka, dengan Arga dan Surya yang menaiki motor. Sedangkan Gladys, gadis itu sudah duduk nyaman di dalam mobil Rafka.

Lembayung pada langit selatan ibukota itu makin terlihat semakin gelap. Beruntung mereka sudah sampai di area apartemen Rafka.

Usai memarkirkan kendaraannya masing-masing, mereka lantas bergegas menuju lantai dua puluh tiga. Ketika sampai di depan unit apartemen Rafka, laki-laki itu lalu mempersilahkan teman-temannya masuk ke dalam.

“Langsung aja ya? Biar gak kemaleman... Lo gak boleh pulang malem malem kan Dys?” tanya Arga kepada gadis satu-satunya di sana.

“Iya, Ga.”

“Ya udah, ayo gue anterin ke dapur. Gladys sama Surya gak usah sungkan ya, anggep aja kayak lagi di rumah sendiri.”

Rafka lalu mengajak Arga ke area dapurnya. “Nih, silahkan memasak Chef Arga!” ujarnya disertai sebuah senyuman lebar.

Arga mendengus, “Lo tunggu di meja makan dong, sekalian temenin gue masak!” pintanya.

“Yes, Chef! Laksanakan!” Rafka berpura-pura mengikuti salah satu adegan pada saluran tv dalam acara ajang memasak yang pernah dilihatnya.

Raganya ia tepikan tak jauh dari tempat Arga mulai melakukan kegiatannya. Rafka duduk pada salah satu kursi pantry, yang mana posisinya dapat melihat jelas bagaimana punggung tegap milik Argantara sedang berkutat mempersiapkan makanan di depan sana.

Rafka diam-diam memotret suasana tersebut lalu mempostingnya langsung pada akun twitter-nya.

Ketika ia sibuk memperhatikan Arga dari belakang, Rafka tiba-tiba teringat kembali kejadian tadi. Sungguh, ia masih merasa bersalah dan tidak enak hati. Rafka terus saja merutuki kebodohannya sendiri. Bisa bisanya ia lupa, padahal sudah disiapkan dari jauh-jauh hari.

Suasananya sangat sepi. Yang terdengar hanyalah suara dari kegiatannya memasak saja. Kira-kira apa yang dilakukan sang tuan rumah di belakangnya saat ini, ya? Kenapa laki-laki itu seperti tidak ada tanda-tanda mau mengeluarkan suara dan mengajaknya berbincang, barangkali?

Sembari masih menunggu mie dalam rebusan air panas itu matang, Arga yang memang merasa penasaran akhirnya ia balikkan badannya. Hal pertama yang dilihatnya adalah Rafka melamun dengan sendok yang dia taruh di mulutnya.

'GEMES BANGET ANJIR!'

Dengan segera Arga mengambil ponselnya lantas memotret satu ringkas keadaan tersebut.

Namun sepertinya ia harus puas dengan kecerobohannya sendiri. Harusnya dia memposting foto Rafka pada akunnya yang lain, tetapi Arga lupa mengganti akunnya terlebih dulu.

Netranya dengan cepat melirik ke arah pantry, ternyata Rafka masih melamun. Beruntung laki-laki itu tidak menyadari hal apa yang baru saja dilakukannya. Arga buru-buru menghapus postingan itu sebelum yang bersangkutan mengetahuinya.

Karena Rafka belum juga sadar dari lamunannya, Arga berinisiatif mengajaknya bicara.

“Hei..” panggilnya.

“Eh? Kenapa?” jawab Rafka. Dia sedikit terkejut.

“Kenapa ngelamun? Masih mikir yang tadi?” Ada jeda sejenak untuk Putra Argantara itu menghela satu tarikan nafas. “Gak usah dipikirin Rafka! Lo jelek kalo cemberut kaya gitu!”

“Ish, enggaaa...” protes Rafka.

“Daripada mikirin hal itu, mendingan lo panggilin Surya sama Gladys. Mereka pasti ngegabut doang, mending di sini sekalian ngobrol bareng.”

“Okay, wait ya...” seru Rafka. Baru saja dia ingin beranjak dari duduknya untuk memanggil dua orang di ruang tengahnya itu, ternyata keduanya sudah berjalan duluan menuju dapur dengan Gladys yang mengomel dan berjalan lurus ke arah Arga.

“Woy! Gue ngeliat tweet-an lo! Pantesan masaknya lama... Gue udah laper nih bos!” protes Gladys membuat Rafka tertawa kencang dan Arga langsung meminta maaf untuk itu.

Setelah beberapa menit berlalu, kini masakan buatan Arga sudah jadi. Keempat remaja tersebut lalu berjalan ke arah ruang tengah dengan membawa barang bawaan masing-masing di tangan.

Saat semua sudah tertata rapi di atas meja, mereka lalu duduk mengelilingi meja kaca tersebut. Kata Surya, makannya sambil lesehan aja, lebih enak soalnya.

Mencerminkan anak kosan sekali, ya?

“SELAMAT MAKAN!” sorak Gladys dan Surya. Mereka langsung memakan masakan yang sudah Arga buat hingga membuat sang empunya tersenyum bangga.

Arga melirik ke arah Rafka yang masih memainkan ponselnya setelah memotret makanan yang Arga buat.

“Berhenti dulu main hp-nya... gue udah capek capek masakin lo ini...” Perkataan Arga membuat Rafka menoleh ke arahnya dan tersenyum sembari mengucapkan kata maaf.

Tangannya bergerak mengambil piring yang sudah disediakan oleh Arga. Seharusnya ia yang menyediakannya, tapi nyatanya Argantara lebih cepat dalam bertindak.

Rafka mengambil suapan pertamanya dan itu membuat Arga sedikit banyaknya merasa gugup. Padahal dia tidak sedang mengikuti ajang lomba memasak.

“Gimana?” tanya Arga dengan gemuruh hati yang bisa dibilang sangat berisik. Ia was-was menanti tanggapan apa yang akan diucapkan Rafka mengenai masakannya.

“ENAK! Lo kok bisa pinter masak sih?” seru Rafka lalu kembali mengambil suapan lainnya dengan bersemangat.

Arga yang mendengar itu kini tersenyum lega, setidaknya usahanya tidak sia-sia.

“Gue gitu loh!” Bangga seorang Argantara.

Rafka merotasikan matanya mendengar ucapan Arga. Akan tetapi, matanya malah tidak sengaja menangkap bagaimana cara Surya makan.

“GEMES BANGET!” teriak Rafka membuat kedua orang lainnya menoleh ke arahnya. Ngomong ngomong Gladys izin ke kamar mandi beberapa saat lalu.

“Lo kenapa?” tanya Arga.

“Lihat dong, si Surya makannya imut banget! Surya pipinya kenapa bisa melar gituuu ih gemeesss!” ujar Rafka heboh.

Kali ini Arga yang merotasikan matanya mendengar perkataan Rafka.

Memangnya apa yang imut dari cara Surya makan? Arga rasa biasa saja. Kenapa lelaki yang lebih kecil darinya itu malah melebih-lebihkan?

“Surya lo gak mau nginep?”

CCIIIITTT

Suara gesekan antara piring keramik dan garpu yang sangat keras itu mengalihkan perhatian Rafka, Surya, serta Gladys yang baru saja kembali dari kamar mandi.

Ting~

Arga menatap ponselnya yang berbunyi lalu menatap Rafka.

“Lo kenapa harus negur lewat twitter? Gue di sebelah lo? Gak mau ngajak gue ngomong?” tanya Arga beruntun.

“G-gak gitu... YA LO-NYA JUGA JANGAN SEREM SEREM! Kenapa sih sensian mulu?!” cibir Rafka.

“Lo berdua dikit-dikit ribut, awas bentar lagi kawin lo,” ujar Gladys asal.

“GAK ADA!” sentak Arga dan Rafka bersamaan yang mana hal itu membuat Surya terbatuk seketika. Dengan cepat tangannya meraih segelas air putih lantas meneguknya.

“Bikin kaget anjir!” tegur Surya pada dua orang di depannya setelah keadaannya dirasa sudah kembali baik-baik saja.


Arga ikuti mobil putih di depannya sesuai kata Rafka tadi.

“Gue mau es krim yang di tempat biasa gue beli. Lo ngikut di belakang mobil gue aja nanti.”

Sesuai janjinya semalam yang bilang kalau dia akan membelikan laki-laki itu es krim sebagai imbalan karena mau dijadikan model fotonya hari ini. Rafka berkata kalau es krimnya harus ia sendiri yang memilih, Arga hanya perlu menurutinya saja. Baiklah, dia iyakan saja permintaan laki-laki tersebut.

Sepanjang jalanan Jakarta bagian pusat ke arah Jakarta bagian selatan petang ini terlihat sedikit padat. Tentu saja karena sebagian besar penghuninya melakukan aktivitas yang mengharuskan mereka melewati jalan raya itu. Para pelajar maupun seorang pekerja kantoran yang baru saja pulang dari tempatnya bertandang sebelumnya.

Ternyata setelah melalui hampir sekitar tiga puluh menit perjalanan, Arga ketahui kalau Rafka menuntunnya menuju salah satu Mall di daerah Kasablanka, Jakarta Selatan.

Mereka lalu berpisah ke arah tujuan yang berbeda. Arga membunyikan satu klakson ketika mendahului mobil Rafka dan menghilang di pintu masuk area parkir untuk kendaraan roda dua.

Saat Miko sudah ikut berjajar rapi seperti motor lain yang ada di sana, ponsel yang ada di saku jaket laki-laki itu bergetar. Arga ambil lalu buka layarnya yang terkunci. Sebuah pesan dari Rafka.

| nanti ketemuan didepan starbucks aja | tunggu disana

Arga mengangguk paham. Diketikkannya balasan singkat untuk Rafka, lantas ponsel itu disimpannya kembali ke dalam saku jaketnya. Argantara berjalan pelan menuju tempat yang sudah Rafka sebutkan tadi. Ternyata saat sudah sampai di depan sebuah kedai kopi, keduanya tiba hampir bersamaan. Mereka lantas berjalan berdampingan mengelilingi Mall tersebut.

Lalu untuk tujuan selanjutnya, dua lelaki berbeda tinggi badan itu menuju area foodcourt untuk menepati janji seorang Argantara pada Ravian Rafka Malverino.

“Di sana!” tunjuk Rafka pada sebuah kedai es krim yang biasa dibelinya saat dia dan Arga sudah sampai di lantai yang terdapat banyak penjual makanan. Beruntunglah tidak ada antrian sama sekali, jadi mereka langsung memilih rasa apa yang diinginkannya dengan melihat pada papan menu yang terpampang di sana. Pilihan Rafka jatuh pada rasa strawberry, sedangkan Arga belum terlihat sudah memutuskan mau memilih rasa apa. Dia masih berpikir di depan counter itu.

“Lama amat milih rasa doang!” tegur Rafka pada laki-laki di sampingnya.

“Ya sabar dong, bingung ini...”

“Ck, lama! Lo aja deh yang pesen, gue mau ke sana bentar.”

Setelahnya Rafka pergi ke arah tepian pembatas yang ada di dekatnya. Dia memutuskan memainkan ponselnya sambil bersandar pada salah satu pilar besar di belakangnya, mau senderan katanya. Lagipula yang akan membayar es krimnya kan si Putra Argantara. Ia hanya bagian makan saja. Hehehe.

Sekitar sepuluh menit kemudian, terlihat Arga yang berjalan menghampiri tempatnya saat ini. Di genggamannya ada satu buah cup es krim roll pesananannya tadi. Apa dia gak jadi pesen gara-gara bingung milih rasa?

Tunggu dulu. Kenapa warna es krimnya berubah jadi kuning? Bukannya kalau perisa strawberry artinya berwarna merah muda? Kok bisa?

“Nih!” Arga lalu menyerahkan es krim tersebut ke arah Rafka.

“Kok kuning? Kan gue tadi pesennya strawberry?! Harusnya merah muda dong!”

“Ganti warna kali.” jawab Arga sekenanya. Padahal yang sebenarnya terjadi, es krim di tangan kanan yang saat ini diarahkannya ke depan Rafka adalah milik dia. Sedangkan es krim pesanan lelaki bersurai coklat madu itu ada dalam genggaman tangan kiri yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.

“Nggak ah, lo bohong! Cepetan bagi punya gue!” desaknya. Jelas sekali kalau jawaban Argantara itu mengada-ngada.

“Cobain dikit dulu, entar gue kasih punya lo.”

“Rasa apa?”

“Coba tebak.”

“Pisang? Pisang kan kuning,” Rafka sedikit berpikir, matanya memicing ke arah laki-laki di depannya. Sedangkan Arga hanya diam saja tidak sedikitpun menanggapinya. “Gak ah, lo gak meyakinkan soalnya.”

“Mau es krim lo balik gak?”

“Mau...”

Setelahnya Rafka mengambil sendok pada es krim tersebut lantas diambilnya satu cakupan kecil. Tangannya lalu bergerak menyuapkan sendok itu pada mulutnya. Namun baru saja indra pengecapnya merasakan makanan tersebut barang di ujung lidah saja, Rafka tampak terlihat mengernyit. Rasanya aneh. Bukan seperti pisang.

Rafka cepat-cepat mengeluarkan tissue yang disimpannya di dalam tas. Dikeluarkannya es krim yang menurutnya memiliki rasa yang aneh itu pada selembar tissue di tangannya. Lalu ia berjalan ke arah tempat sampah terdekat untuk membuang tissue bekas itu. Rafka menyadari sesuatu.

“Lo bohong kan?! Bukan pisang, iya kan?” tanyanya setelah sampai di tempat sebelumnya. Dimana Argantara sudah terlihat sedikit tertawa kecil di hadapan dia.

“Emang yang bilang itu pisang siapa? Ini tuh durian.” jelasnya.

Rafka yang mendengar itu, diameter matanya tiba-tiba saja melebar setelahnya. “Tuhkan anjir! Pantesan aneh! Argantara! Lo mau gue dorong sekarang juga ke bawah?! Gue gak suka durian IH KESEL!!”

Arga lalu segera menyodorkan es krim yang dia sembunyikan di balik badannya ke arah Rafka. “Nih es krim lo! Jangan kesel gitu dong! Ntar cakepnya ilang...”

“Bodo.”

Argantara tidak tahu, kalau hal sederhana baru saja cukup mampu membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. Es krim di tangannya sudah berpindah tempat dengan cepat.

Rafka menyuapkan es krimnya dengan perasaan kesal yang masih ada. Arga... melihat sepasang pipi di depannya yang seperti penuh dan tampak membulat, tak bisa ia pungkiri kalau Rafka terlihat lucu saat itu juga.


tw // cockroach


Ponsel yang ia taruh di atas nakas pada samping tempat tidurnya itu bergetar menandakan adanya notifikasi masuk dari seseorang. Rafka buka dan balas pesan yang ternyata dari Vania, salah satu sahabat dekatnya. Kemudian gadis itu kirimkan pesan lainnya yang bertanya padanya apakah dia masih mau ditemani makan bersama?

Rafka lantas iyakan. Dia sumringrah melihat ruang chattingnya dengan sahabatnya tersebut. Sebab Rafka sebenarnya masih mau mencari seseorang untuk diajaknya makan bersama. Tapi teman-temannya yang lain bilang kalau sedang ada tugas yang harus cepat diselesaikan. Rafka tadinya bingung, haruskah dia pergi sendirian atau tidak. Lalu Vania memberi kabar kalau gadis itu punya waktu luang sekarang.

Rafka dengan segera memakai jaket abu-abunya serta mengambil dompet dan kunci mobil yang dia letakkan di atas meja rias, tak lupa ponsel yang sudah dikantonginya di saku depan jaketnya. Rafka lalu bergegas menuju basement apartemennya. Membawa Winter keluar dari area parkiran itu ke tempat dimana Vania sudah bersiap menunggunya di depan bagunan apartemen tempatnya tinggal yang cuma bersebelahan saja dengan gedung apartemennya sendiri.

Vania masuk dan duduk di kursi penumpang yang ada di samping kirinya. Seperti biasa, gadis itu lalu memutar musik beraliran beat yang disambungkan dari ponselnya ke headunit mobil Rafka.


Baru saja Arga selesai memesan makanannya, ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru area restoran untuk menemukan meja kosong yang tersisa, netranya menangkap sebuah bayang rupa yang sangat dikenalnya. Tidak mungkin matanya salah mengenali seseorang. Sudah jelas yang sedang duduk di sudut kanan dekat mesin pendingin minuman itu, Ravian Rafka—dan seorang gadis yang masih asing bagi ruang memori di kepalanya.

Arga pandangi interaksi dua manusia itu dari tempatnya berdiri. Seperti sudah sangat akrab satu sama lain. Mereka berbincang dengan Rafka yang sesekali menyalurkan ekspresinya lewat gerakan kedua tangannya. Dan gadis yang ada di depan laki-laki itu juga tidak kalah ekspresifnya dari berbagai macam air muka yang ditunjukkannya.

Mereka, ada hubungan apa?

Awalnya Arga tidak ada niatan sama sekali. Tapi karena disamping ia butuh tempat duduk untuk makan nanti, Argantara juga didorong rasa penasaran yang tiba-tiba saja datang menghampiri relung hati. Ia akhirnya biarkan saja tungkainya melangkah ke arah di mana Rafka dan teman perempuannya itu duduk dengan nyaman sambil masih terlihat melakukan komunikasi.

“Gue boleh gabung duduk di sini gak?” Sapanya setelah duduk pada salah satu kursi kosong yang ada di hadapan Rafka, yang artinya ada di samping seorang gadis kenalan laki-laki berjaket abu-abu tersebut. Percakapan dua orang tadi otomatis terhenti, tatapan mata keduanya langsung tertuju padanya. “Restonya lumayan rame, gue gak bisa nemuin kursi kosong dah.” Lanjutnya memberi sebuah alasan kenapa ia menghampiri meja ini.

Rafka menanggapinya dengan balasan singkat. “Oh, boleh.” Lalu kembali melanjutkan perbincangannya dengan Vania yang sempat tertunda. Mereka asik sendiri. Yang mana hal tersebut tak luput sedikitpun dari perhatian seorang Argantara. Bagaimana kalau dia mau mencoba bergabung?

“Lebih bagusan yang item sih kalo kata gue.” sahut Arga ketika Rafka meminta pendapat pada Vania mengenai bagusan mana antara cardigan warna hitam dan putih pada salah satu aplikasi belanja online yang terlihat di ponsel laki-laki bersurai coklat tersebut.

“Gak, item entar kalo dipake keluar panas.”

“Ya berarti putih... Ngapain tanya kalo lo udah tau jawabannya dah?”

Ih, ngeselin.

“Ya suka-suka gue dong. Kan gue tanyanya ke Vania, bukan ke elo. Dih sewot aja!”

“Yaudah.”

Lama kelamaan Arga ikut terbawa pada atmosfer kedua orang di dekatnya. Ternyata gadis yang diketahui bernama Vania itu asik juga. Tapi ia masih belum tahu status hubungan apa yang dimiliki si gadis dengan seseorang di hadapannya. Rafka.

Apa dirinya harus bertanya? Ah tapi, bukankah itu terkesan terlalu ingin tahu? Ah Arga... Tolong tekan rasa penasaran yang sedang melambung tinggi saat ini! Bisa saja kalau nanti mulutnya keceplosan, malah disangka Rafka yang tidak-tidak.

Cukup lama ketiga orang itu berada dalam sebuah percakapan yang sebenarnya bisa dibilang, Rafka dan Vania-lah yang terlibat, dan Argantara yang tidak mau kalah dia juga ikut menyahut obrolan dua orang tersebut.

Rafka bahkan dibuat kesal karena beberapa kali perkataannya yang belum selesai tiba-tiba disahut dengan cepat oleh Arga. Lihat saja air muka laki-laki berjaket abu-abu tersebut yang sudah masam saja dibuatnya.

Tapi beruntunglah makanan pesanannya yang mulai datang tak lama setelahnya. Ia lalu memilih menyantap nasi goreng di depannya saja daripada menanggapi Putra Argantara itu yang lagi lagi buat dia kesal lantaran mengikuti apa yang dilakukannya baru saja pada satu postingan twitter.

Tiga orang di sana tengah menikmati makanannya masing-masing, ketika Vania tiba-tiba saja mulai bergerak gelisah.

“Eh? Apa sih ini yang di bawah?” Tanya gadis itu ketika dirasa kakinya yang ada di bawah meja seperti ada yang menyentuh. Namun dia tidak bisa melihatnya karena terhalang letak tempat duduknya yang sedikit sulit untuknya bergerak bebas. Rafka juga sama.

Sepertinya cuma Argantara yang dapat memastikan sesuatu di bawah meja itu. Kepalanya lalu diarahkan mengintip dari celah di sana. Diamatinya lamat-lamat dan ternyata ia temukan seekor kucing kecil sedang bergerak mondar mandir di sekitar kaki meja bagian tempat duduk Vania.

Namun tiba-tiba saja pikiran jahil melintas di pikiran laki-laki berhoodie hitam tersebut. “Lo takut kecoa gak?” Tanyanya.

“Hah? Kenapa emangnya?”

“Kalo gue bilang tadi itu kecoa, lo takut gak?”

Gadis itu mau menjawab pertanyaannya, tapi suara Rafka lebih dulu terdengar oleh indra pendengarannya. “Hah?! Ada kecoa?! Yang bener lo Argantara?!” Rafka terlihat panik mendengar perkataannya baru saja. Arga bingung, satu alis kirinya ditarik ke atas. Kenapa malah cowok di hadapannya ini yang menunjukkan reaksi berlebihan?

“Iya.” Arga masih mau menjalankan misi kejahilannya, jadi dia iyakan saja pertanyaan Rafka itu.

Dalam pikiran Argantara sebenarnya tidak mempersiapkan sesuatu semacam ini. Dia hanya berpikir akan melihat gadis di sampingnya ini yang kalang kabut karena mendengar nama kecoa disebut. Namun, tertarik oleh kenyataan yang ada, justru Rafka-lah yang terlihat panik karena ulahnya baru saja. Dirasakan oleh Arga, kaki Rafka yang ada di bawah meja mulai bergerak acak dan beberapa kali tak sengaja menyenggol kakinya.

Apa dia takut?

Rafka berbicara kepayahan karena mulutnya yang masih terisi penuh oleh makanan. Tapi rasa ketakutannya lebih besar daripada apapun yang dilakukannya saat itu juga. “Uwsir uwsir pwlis, guwe takwut!”

Sebab hal itulah, tak lama Rafka tersedak makanannya sendiri. Tangan kirinya bergerak menutup mulutnya agar tidak menyebabkan kekacauan pada meja.

Gadis itu dengan terburu menuju ke arah meja dekat televisi tempel di sebelah kasir. Ia lalu menuangkan teko berisi air putih yang memang disediakan gratis oleh pihak restoran tersebut pada gelas kaca dalam genggamannya.

Arga yang melihat itu, dia merasa... sedikit bersalah. Padahal niatnya tadi ingin menakuti Vania, tapi lihatlah gadis itu yang biasa saja. Malah Rafka yang termakan oleh ulah usilnya.

Ia berinisiatif mempersingkat waktu. Dilihatnya ke sekitar meja, hanya dia yang memesan air putih sedangkan dua lainnya dengan es teh pesanannya. “Minum punya gue dulu.” Ujarnya sembari menyerahkan segelas air putih yang masih utuh itu ke depan laki-laki yang lebih kecil.

Rafka lalu menerimanya dan meneguk air itu untuk meloloskan sisa makanan yang ada di mulutnya.

“Maaf gue gak maksud. Gue gak tau kalo lo takut kecoa.” sesal Argantara, air mukanya melunak melihat Rafka yang meminum air putih itu dengan tergesa. “Gak usah takut lagi, kecoanya udah pergi.” kucing maksudnya, koreksinya dalam hati.

Tak lama setelah itu Vania kembali ke meja. “Eh udah minum Raf? Punya siapa itu?” tanyanya ketika melihat Rafka yang sudah meminum segelas air putih tapi bukan dari yang ia ambilkan baru saja.

“Punya gue.” jawab Arga.

Rafka sudah mulai terlihat sedikit baikan. Dikembalikannya gelas dalam genggaman itu ke pemiliknya tadi. “Makasih.”

“Gak usah, lo minum aja itu.” tolak Arga ketika gelasnya digeser ke arahnya. “Gue bisa ambil lagi di sana.”

“Oh, yaudah.”

Lalu seketika keadaan menjadi sedikit sunyi. Walaupun keadaan resto saat ini ramai pengunjung, tapi untuk hawa di sekitar ketiga orang itu, rasanya tak lagi sama seperti pertama kali. Vania hanya bisa sesekali meloloskan dehaman menyadarinya. Ia tak akan banyak berbuat kalau Rafka sudah terlihat diamnya.

Sepertinya Argantara harus paham sesuatu.

“Gue paling takut sama kecoa, Ga.” ujarnya lirih. Bahkan nyaris hampir menyerupai seperti gumaman.

“Iya, Rafka... Maaf...”


cw // smoking cw // harsh word


Senin pagi memang seringkali jadi ajang kebencian bagi kebanyakan pelajar di luar sana. Tak terkecuali Argantara.

Sebenarnya lelaki bersurai hitam tersebut juga masih setia bergelung di atas kasurnya yang nyaman. Hanya saja, tirai jendela kamarnya yang sudah terbuka itu sedari tadi menghantarkan sinar sang surya menembus melalui kaca jendelanya, menyapa indra penglihatannya yang belum jua kunjung terbuka.

Tapi jam kecil di atas nakasnya itu kemudian berbunyi. Arga sedikit terusik.

Akhirnya diraihnya benda tersebut. Tangannya bergerak mematikan suara alarm yang terdengar nyaring di telinganya. Kelopak matanya mulai sedikit terbuka mengamati jam analog dalam genggamannya. “Udah jam sembilan aja.” Monolog Argantara di pagi senin itu. Kemudian diletakkan kembali jam tersebut ke tempat semula.

Arga lalu beranjak dari zona ternyaman pada kamarnya itu lantas bergegas menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. Ia mau siap-siap dulu.


Sweater coklat dan celana jeans sudah terbalut rapi pada raga tegap milik Putra Argantara. Kini tungkainya ia langkahkan kembali ke arah dapur untuk memulai sarapan paginya.

Usai perutnya terisi oleh berbagai macam nutrisi, Arga lalu sempatkan diri mengunjungi akun sosial medianya sebentar. Lalu beranjak mengambil tas hitam dan kunci motor yang ada di dalam kamar. Arga tidak lupa berpamitan dulu pada keluarganya sebelum motor sportnya itu mulai melaju meninggalkan halaman depan rumahnya.

Jalan raya menuju kampus pagi ini tidak padat, jadi dia bisa sedikit lebih santai membawa Miko menyusuri sepanjang jalanan ibukota bagian pusat.

Ketika motornya sudah terparkir di area parkiran gedung fakultasnya, Arga copot helm itu lalu dititipkannya ke pos satpam di depan sana. Jam tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit, tapi rasanya ia tidak akan telat kalau masih jam segini. Jadilah Putra Argantara itu berjalan santai saat dalam perjalanan menuju kelasnya.

Menit terus berjalan menunjukkan perubahan angkanya tanpa henti. Sudah lewat menit yang ke sepuluh, tapi sang dosen tak juga kunjung menampakkan kehadiran di kelas mata kuliah pencitraan digital tersebut.

Akhirnya karena bosan, Arga buka aplikasi twitternya dan mengirim satu cuitan. Senang juga sih sebenarnya cowok penyuka kopi itu. Dan seperti biasa juga, kalau dia memilih tempat duduk paling belakang bersama Surya dan teman-teman barunya yang lain.

“Merek rokok lo apa?”

“Anj– kaga ngerokok gue.” sangkal Surya. Biasalah, pembahasan seputar anak laki-laki. Mereka cuma mau mengakrabkan diri buat kedepannya, tapi lihatlah topik bahasannya yang sudah sejauh ini.

“Elo Ar, merek rokoknya apaan?”

Arga yang mendapat pertanyaan semacam itu langsung saja mengalihkan pandangan dari layar ponsel di genggamannya, “Daripada ngerokok, mending duitnya gue buat ngerawat Amora.” Jawabnya.

“Wiihh, siapa tuh? Pacar lo?!”

“Pacar katanya,” Surya mendengus mendengarnya, padahal Argantara saja tidak pernah terlihat pernah membahas perihal orang lain selama mereka berteman. Mau dapat pacar darimana coba? “Arga mah jomblonya kebangetan.”

“Lah terus siapa dah itu mora mora?”

“Pacar bohongan, alias, slrnya hahaha,”

Arga tatap sengit Adilansah itu. Tidak berkaca pada cermin atau bagaimana kah? Bukan, bukan pada apa yang diucapkannya baru saja. Hanya saja terkadang Surya itu tidak sadar diri kalau dia dan Argantara itu sebenarnya serupa sebelas dua belas perihal status asmaranya. “Gak ngaca banget lo, nyet. Lo juga jomblo sakinnah mawaddah warohmah ye!”

Jadilah ada peraduan antara suara satu sama lain dari dua karib itu. Arga tak sadar kalau salah satu ibu jarinya yang ada di atas layar ponsel itu bergerak menekan permukaannya.

Lalu perhatiannya teralihkan ketika ada notifikasi getar dari ponsel dalam genggamannya. Terlihat dari layar terkunci itu yang menunjukkan notifikasi tadi berasal dari twitter. Sebuah tulisan di layar yang terpampang adalah akun milik Rafka yang membalas salah satu cuitannya.

Dia buka aplikasi burung biru itu, dan menemukan kalau Rafka membalas satu postingan terbarunya. “HAHH??!!”

Argantara panik luar biasa. Perasaannya tadi ia ketik postingan itu hanya sampai di titik rasa ragu pada hati yang berkata harukah dikirim atau tidak. Akhirnya ia biarkan saja keraguan itu tertahan di sana. Tapi memang sial sekali jemari tangannya yang bergerak kesana kemari dan membuat draf tweetan tersebut jadi terkirim pada akunnya.

ANJIR GIMANA INI?! Jeritnya tertahan pada sanubari. Argantara harus apa?

Tidak ada yang dapat dipikirkannya saat itu juga, selain harus menghapus postingan tadi.

“Gara-gara lo Sur!”

“Lah kan bener apa kata gue, lo jomblonya kebangetan kan?”

“Gak bukan itu! Yang lain! Ini gara-gara lo pokoknya!”

Surya yang dituduh seperti itu tentu saja bingung, terus kalau bukan menyangkut yang baru saja mereka sampai adu suara itu lantas apa? “Apasih? Lo kenapa sih sebenernya?”

“Pokoknya gara-gara lo! Ini semua gara-gara lo! Lo biangnya!”

“Lah? Aneh lo.”


Selepas kepergian dua orang tadi, Rafka sebenarnya tengah berpikir cara mencairkan suasana di antara dirinya dan Surya. Hanya saja, tidak banyak yang bisa ia pikirkan saat ini. Entahlah, dirinya sendiri juga tidak paham. Seperti ada sesuatu yang baru saja hilang, tapi tidak tahu itu apa.

Beruntunglah pada seorang waiters yang baru saja mengantar pesanan barunya. Karena setelah waiters itu pergi, Surya alihkan atensinya ke arah atas meja. “Lo pesen cappucino lagi?”

“Eh iya, enak soalnya.” Jawab Rafka sesaat setelah ia baru saja meminum cairan berwarna coklat muda itu.

Surya hanya menanggapi dengan ber-oh lirih. Lantas ia coba mulai sekadar melayangkan pertanyaan basa-basi. “Kurang apalagi sih tugas kita? Udah semua?”

“Udah kok, cuma bagian konsep aja yang nanti dipikirin lagi.”

“Okee... Catatannya semua ada di iPad lo 'kan ya?”

“Iya, tenang aja udah gue catet semua, kok.”

“Share ya ntar di grup,”

“Iya.”

Lalu setelahnya hening kembali. Di antara mereka belum ada yang mengeluarkan suara. Sampai ada satu pertanyaan melintas dalam pikir seorang Rafka. “Eh, Sur, gue boleh nanya gak?”

“Tanya aja Raf.”

“Lo udah lama temenan sama Arga?” tanyanya hati-hati. Sebenarnya Rafka juga tidak mengerti kenapa ia menanyakan ini. Yang jelas, dirinya hanya mau mengikuti apa kata hati.

“Ohh, iya, udah dari semester 1 malah.”

“Gituu...,” Angguknya paham. “Cuma berdua doang? Atau ada yang lain?”

Apa ia terkesan terlalu kepo? Tapi apa salahnya juga bertanya pada teman baru yang ingin lebih dikenalnya?

“Kalo dari semester 1 sih kita berlima, tapi sebenernya sampe sekarang juga masih, cuma karena emang beda kelas, jadinya kalo ketemu atau nongkrong gitu pas ada waktu aja.” jelas Surya.

“Ohh, I see.” “Gue juga gitu sama temen gue. Karena beda jadwal, jadinya kalo misal mau kumpul-kumpul gitu harus cari waktu yang pas.”

Rafka lalu meneguk cappucinonya sedikit demi sedikit. Pikirannya kembali berpusat pada satu kerangka sempit. Tentang waktu beberapa saat lalu yang hadir melintasi ruang memori dalam kepalanya. Tentang dua nama yang tiba-tiba saja datang menyambangi relung hatinya.

Rafka... khawatir. Tapi pada tujuan yang entah arah labuhnya ada di mana.

Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Iya, semoga saja memang tidak terjadi apa-apa pada dua orang yang saat ini ada di luar sana dan tengah melalui jalanan ibukota. Semoga saja langit malam mau menjaga mereka dari segala macam mara bahaya yang hadirnya paling dihindari kebanyakan manusia.


“Thanks Ar,” ujar Gladys saat sudah turun dari motor milik Arga.

“Yoi.”

“Terus habis ini lo mau balik lagi ke sana?” tanya gadis berkuncir kuda itu kemudian.

“Iya, habis gue mampir bentar ke rumah.“— “Tanggung kan tugas kita tadi cuma tinggal secuil doang. Biar gue, Surya, sama Rafka aja yang selesai-in habis ini.”

“Oh, yaudah kalo gitu..., hati-hati di jalan!”

Setelahnya, Arga lalu meninggalkan area Puri dan melajukan motornya ke arah jalanan menuju rumah dia. Niatnya cuma mau mengambil dompet yang tertinggal di meja depan televisi. Karena sesuatu yang penting seperti identitas diri dan surat kendaraannya ada di dalam benda tersebut.


Setengah jam berlalu. Kini Arga sudah sampai kembali di tempat yang menjadi titik kumpulnya bersama teman satu kelompoknya tadi.

Argantara lihat dua lelaki yang dikenalnya itu tampak seperti tengah melakukan diskusi kecil. Rafka yang menulis sesuatu di atas layar iPad-nya, sedang Surya dengan ponsel pada genggamannya terlihat membacakan kalimat-kalimat yang sepertinya tertera pada tampilan layar tersebut.

“Udah dateng lo?” tanya Surya ketika didapati temannya itu baru saja tiba dan duduk di sampingnya. Arga membalasnya dengan sebuah gumaman. Lantas bertanya, “Lo berdua ngelanjutin diskusinya dari tadi?”

“Barusan.” jawab Rafka cepat. Tangannya masih terlihat sibuk di atas layar iPadnya. Lalu tak berapa lama kemudian, pandangannya ia arahkan ke depan. Melihat Argantara tepat di netra yang tampak persis menyerupai langit malam di luar sana, sehitam jelaga.

Tidak berselang lama. Karena sekarang pandangannya kembali Rafka arahkan ke layar persegi panjang lebar di hadapannya. Sedang Argantara cuma mengangguk paham dari jawaban yang Rafka berikan padanya.

“Jadinya pake kamera gue 'kan?” tanyanya kemudian.

“Yoi Ga,” Suara si Putra Adilansah tersebut.

“Terus apalagi yang mau dibahas ini?”

“Keknya si, ga ada. Ye gak Raf? Udah semua kan yak?” tanya Surya pada laki-laki di sebelah kiri dari temannya itu.

“Iya,” jelas Rafka. “Cuma nanti kayaknya gue juga bawa kamera buat jaga-jaga.“— “Udah, itu aja. Kalo kalian mau pulang sekarang, pulang aja.” ujarnya. Karena ia tahu jam dinding di sana akan menunjukkan pukul sebelas malam. Dan hari juga semakin larut.

“Lo..., gak pulang?” Arga bertanya karena sepertinya laki-laki yang ada di hadapannya ini belum terlihat akan membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja.

“Bentar lagi, nunggu minuman gue habis.”

Lalu Argantara lirik ke arah cangkir kopi di depan itu. Isinya tidak banyak yang tersisa. “Tinggal dikit doang 'kan, yaudah bareng aja kita bertiga pulangnya.” Surya juga menyetujui yang Arga katakan dengan sebuh anggukan.

Tak berapa lama kemudian, tiga orang itu keluar dari tempat makan tersebut dan menuju ke arah kendaraannya masing-masing. Rafka yang pertama pergi meninggalkan area parkiran, disusul Arga dan Surya yang ada di belakang mobil putih milik si lelaki yang paling kecil di antara ketiganya.

Saat sampai di persimpangan jalan ke arah Jakarta bagian selatan, Surya lalu pamit pada Arga di sampingnya lewat satu suara klakson yang Putra Adilansah itu bunyikan. Tujuannya tak bukan adalah karena berlainan jalan dengan dua temannya yang lain itu. Arga lalu mengangguk paham di balik helm hitam yang membingkai kepalanya.

Kini dia sendirian. Namun, tidak benar-benar sendirian sebenarnya. Masih ada satu lagi laki-laki lain yang ada dalam mobil di depannya.

Arga bukanlah seseorang yang tahan berlama-lama di jalan raya. Dia bisa saja mendahului mobil Rafka kalaupun mau. Tapi entah kenapa, dia justru betah berlama-lama menunggu di belakang mobil itu tanpa sekalipun ada keinginan mempercepat laju motornya.

Argantara, menikmatinya. Ia menikmati bagaimana suasana langit malam yang ada dalam bingkai pandangnya makin cantik dengan gugusan rasi bintang yang tersebar rata di atas sana. Ia menikmati hembusan sang bayu yang menyapa indra perabanya. Ia menikmati berkendara dengan santai di belakang mobil Rafka. Argantara menikmati semuanya.

Dan perihal tersebut, Rafka mengetahuinya. Ketika niat hati yang ingin menghidupkan pemutar musik untuk menghilangkan sedikit sepi di dalam mobilnya, ia tanpa sengaja melirik kaca mobil bagian depan yang terpasang di atasnya. Putra Argantara itu masih di sana, di belakang winter. Mengikutinya bahkan sampai dirinya akan tiba di kawasan apartemennya, barulah laki-laki tersebut sudah tidak tertangkap lagi ada dalam pandangannya.


Ketika dalam perjalanan pulang seusai jadwal kuliahnya sabtu hari ini berakhir, Rafka temui rona jingga terlukis indah pada wajah bumantara. Yang artinya, malam sebentar lagi akan menggantikan tahta sang lautan biru yang mau beranjak pulang bersama sang surya ke tempat peraduannya.

Rafka kagumi pemandangan itu dalam sebuah kalimat puji, “Cantik.” Tangannya bergerak mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera untuk membidik beberapa gambar lalu disimpannya pada galeri.

Beberapa menit perjalanan dihabiskannya sambil memutar beberapa lagu di dalam mobil itu.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil putih dengan plat nomor berbasis Jakarta itu sudah tiba di pelataran sebuah bangunan apartemen mewah; tempatnya menetap sementara selama mengemban kewajiban sebagai mahasiswa di pusat ibukota.

Rafka lalu parkirkan mobilnya di area basement lantas bergegas menuju unit kamarnya di lantai dua puluh tiga. Setelah sampai di dalam, pintu depan tak lupa ia kunci. Tempat pertama kali yang menjadi arah tujuanya adalah kamar mandi.

Usai keluar dari bilik ruang tempatnya membersihkan badan sesaat lalu, Rafka arahkan tungkainya ke sudut kamar dimana terdapat sebuah ruang minimalis sebagai fungsi penyimpanan pakaian dan disekat oleh gapura tinggi yang terbuat dari kayu.

Cukup lama memilih baju apa yang mau digunakan nanti, akhirnya pilihannya jatuh pada setelan kemeja flanel kotak-kotak berwarna krem dan celana kain yang senada dengan atasan serta dalaman kaos polos putih. Rafka segera mengganti jubah mandinya dengan satu set pakaian yang memang sudah dipilih dan dipisahkannya tersebut.

Dirasa penampilannya sudah tertata rapi, laki-laki kelahiran Maret itu kemudian menghampiri meja rias yang ada di depan tempat tidurnya. Mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di sana. Lalu memoles area wajah dengan riasan tipis agar terlihat lebih segar dari kondisinya sebelumnya. Tak lupa, beberapa semprotan parfum juga dibubuhkannya pada permukaan baju dan kulit sekitar leher yang terbuka.

Rafka bersiap mengambil barang-barang apa saja yang mau dibawanya malam ini. Lokasi pasti dari titik tujuan sudah didapatkan lewat perantara satu pesan yang dibagikan Surya pada grup chatting itu tadi siang. Ia lantas kembali pergi meninggalkan apartemennya menuju suatu tempat yang akan dikunjunginya untuk membahas perihal tugas praktikum fotografi sesuai dengan janji mereka kemarin malam.


Tenggorokannya dilanda rasa dahaga. Tanpa menunggu lama, Argantara langsung saja melabuhkan raganya ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu ditenggaknya sampai habis tak bersisa.

Ponsel di tangan kiri dimainkannya kemudian. Hanya untuk memastikan saja, apa teman satu kelompoknya yang lain sudah sampai ataukah belum di tempat mereka membuat janji kemarin malam. Di grup chatting masih sepi, belum ada tanda-tanda satupun dari ketiga anggota itu yang memberi kabar berupa sebuah pesan.

Apa mereka belum pada dateng, ya?

Namun sepertinya perkiraan dia salah. Karena lewat tampilan beranda twitternya, Rafka memposting sebuah cuitan disertai foto yang memperlihatkan gambaran sebuah tempat yang sama sekali tidak asing dalam ingatannya. Oh, ternyata ada yang sudah datang ke sana.

Arga balas dengan sebuah tanggapan. Dan yang ia dapati selanjutnya adalah berupa kalimat sindiran. Katanya, salah dia karena belum juga datang. Padahal janjian mereka kemarin 'kan jam tujuh malam. Sedangkan analog pada waktu yang tertera di pojok paling atas layar ponselnya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit sekarang.

Jaket hitam di balik pintu kamarnya disambar cepat-cepat. Arga langsung memakainya dan bergegas menghidupkan motornya yang ada di garasi rumah. Helm yang sebelumnya diletakkan pada bagian tangki bahan bakar itu sudah berpindah melindungi kepala dia. Miko diajaknya pergi malam itu, menyapa langit malam Jakarta yang berhias gugusan rasi bintang di atas sana.


Motornya sudah terparkir di depan bangunan sebuah tempat makan. Helm dilepasnya, Argantara dengan cepat berjalan masuk ke dalam. Melihat sekeliling, lalu ia dapati ketiga temannya yang lain sudah duduk melingkar pada salah satu meja yang ada di sana. Tungkainya melangkah mendekati tempat itu.

“Sorry sorry gue tadi habis makan dulu,” jelas Putra Argantara, lalu ia duduk pada salah satu kursi kosong di antara mereka.

Rafka tanggapi laki-laki yang baru saja datang itu, “Kan lo bisa pesen makan di sini?”

“Ya masa kita ke sini rencananya mau kerkom malah jadi kongkow?”

Yang mendapat respon tadi hanya ber-OH saja tanpa suara. Kepalanya mengangguk paham mendengar alasan cowok bernama Argantara itu. “Yaudah kalo gitu, lo pesen minum dulu mendingan. Kita semua udah, tinggal nunggu dianter aja.”

“Oh, oke.”

Arga lalu memanggil salah satu pegawai yang ada di sana untuk meminta menu dan kertas order. Saat sudah sampai, dia tuliskan pesanannya pada selembar kertas itu, lalu beranjak menghampiri bagian kasir untuk melakukan proses pembayaran.

Saat akan mengambil dompetnya di saku celana belakang, Arga tidak mendapati benda itu ada di dalam sana. Seingatnya tadi sudah dimasukkan, kenapa jadi menghilang?

Ah, ternyata dia kelupaan menaruh dompetnya di meja depan televisi tadi.

“Mbak, bisa bayar pake ovo, 'kan? Dompet saya ketinggalan.”

“Bisa kak, langsung saja scan QR kode yang ini, ya.”

Arga lalu memindai barcode yang ada di sebelah tempat kasir itu pada aplikasi pembayaran digital di ponselnya. Setelah selesai, dia berjalan ke arah mejanya tadi. Dilihatnya pesanan teman-temannya itu baru saja tiba bersamaan dengan kembalinya dia duduk di kursi semula.

Tidak terlalu lama kemudian, satu-satunya gadis yang ada di sana memulai topik pembahasan tugas mereka. Tentang sudut pandang pengambilan gambar mana yang akan diambil, objek apa yang akan digunakan, kamera punya siapa yang mau dipakai, dan berbagai macam pembahasan lainnya.

Saat seorang waiters mengantarkan satu-satunya pesanan yang tersisa, ada jeda sejenak dari diskusi yang terjadi pada meja nomor lima belas tersebut. Arga lalu minum sedikit es kopi pesanannya. Dan juga, ia sempatkan mengabadikan sebuah foto yang langsung saja diunggahnya ke aplikasi burung biru. Namun, sepertinya kegiatannya baru saja disadari oleh Rafka.

Benar saja. Masih dalam aplikasi yang sama, Arga dapat teguran dari seseorang yang duduk tepat di hadapannya. Cowok yang lebih kecil dari dia itu memancarkan aura yang cukup mengintimidasi. Sedangkan Argantara belum mengerti, kalau Rafka jangan sekalipun dibuyarkan konsentrasinya ketika dalam mode serius.

Arga ciut, nyalinya tidak sebesar itu berhadapan dengan tatapan maut. Jadilah sisa waktu itu berjalan dengan penuh keseriusan layaknya sebuah rapat penting yang harus diselesaikan saat itu juga.

Perlahan, waktu terus berjalan sampai tidak terasa kalau jarum pendek pada jam dinding yang ada di sana sudah menunjukkan angka diatas sembilan lewat.

“Eh guys, gue gak bisa pulang malem malem. Nah, karena sebagian besar diskusi kita udah selesai, kayaknya sampai sini aja dulu deh. Nanti kalo ada sesuatu yang perlu dibahas, chat aja di grup. Oke?” jelas Gladys panjang lebar.

“Oke Dys! Kalo gitu lo pulang aja sekarang, katanya gak boleh malem malem.” ujar Rafka pada gadis di sampingnya.

“Lo pulangnya naik apa? Bawa motor 'kan tadi ke sininya?” tanya Surya. Yang selanjutnya dibalas oleh Arga, “Yee, modus lo Sur...”

“Gue cuma tanya, anjir...”

“Gue nebeng temen sih ke sininya, kalo pulangnya ini mau pesen grab aja.” jelas sang gadis.

“Eh? Apa gak bahaya tuh? Lo cewek, dan ini udah malem,” Rafka menimpali dengan nada terdengar sedikit khawatir. Cuma perasaan cemas karena temannya itu seorang perempuan. Enggak lebih, kok.

“Santai Raf, gue juga udah biasa lagian.”

“Eh? Jangan! Mending dianter sama mereka aja,” tunjuk Rafka pada dua cowok lainnya di depan dia lewat perantara tatapan mata. “Lo berdua siapa yang bisa nganter? Kalau gue 'kan pake mobil, takutnya nanti lama.”

“Gue bisa sih,” jawab Surya. “Sama gue aja?”

Baru saja Gladys mau mengeluarkan suara, Argantara terlebih dulu sudah berbicara, “Gue anter aja! Apartemen Puri, 'kan? Sekalian mampir ke rumah bentar, mau ngambil barang yang ketinggalan.”

“Yee... Lo juga modus, ya, kampret!” Ledek Surya balik pada temannya satu itu.

“Haha... Apasih, modus apaan? Maaf nih ya, sebenernya gue gak tertarik sama yang begituan. Mending temenan aja.” Seorang Gladysta paham, karena pasti bahasan anak laki-laki tidak akan pernah jauh dari pedekate-an atau seputar gebetan. Tapi gadis itu memang berkata jujur kalau dia tidak tertarik pada hal yang semacam begitu.

“Tuh denger Sur,” ujar Arga yang ditujukannya untuk sang Putra Adilansah.

“Elo yang mulai duluan, kok gue?!” Protes Surya tidak terima. Sedangkan Argantara sudah terkekeh seperti orang yang tidak berdosa.

“Jadi gak, nih?”

“Eh iya iya Dys. Yaudah gue balik duluan, ya! Nanti gue balik lagi ke sini.”

“Hati-hati.” Rafka berujar lirih. Lalu setelah dua orang itu pergi, dirinya masih saja betah memandangi pintu masuk di sana dari mejanya saat ini.

Hanya tersisa dia dan Surya—teman Arga yang belum dikenalnya dengan baik—dalam atmosfer yang bisa dibilang cukup canggung bagi keduanya.


Pagar besar itu ditutupnya dengan hati-hati.

Argantara sudah bersiap menghidupkan mesin motornya di halaman depan rumah siang ini. Helm full face yang dibawanya di tangan kiri sudah dipasangkan membingkai kepalanya agar aman saat berkendara nanti.

Jarum panjang pada arloji di tangan kirinya sudah menunjuk angka sepuluh tepat. Arga hidupkan motor miliknya itu lantas segera beranjak meninggalkan pelataran rumah menuju kampusnya yang ada di daerah Jakarta Pusat.

Jalan raya hari ini dapat dikatakan sedikit berisi, dan itu buat Arga harus menyalip pengendara lain di depannya beberapa kali.

Saat sampai di lampu merah, Putra Natrasani itu melirik ke arah panel instrumen motornya dan melihat indikator lampu yang menunjukkan kapasitas bensin itu menyala.

“Duh kok habis bensin pas gini sih elah!” Monolognya dibalik helm hitam itu.

Arga berulang kali melirik jam tangannya untuk mengira-ngira akankah cukup waktu yang dimilikinya agar tidak sampai telat ketika tiba di kawasan kampusnya nanti. Karena ia tahu pasti, letak pom bensin yang sudah dihapal betul oleh kepalanya itu saat ini dalam keadaan yang cukup antri.

Tanpa membuang waktu, pemuda kelahiran Agustus itu langsung saja tancap gas saat lampu lalu lintas di atas sana sudah berganti warna jadi hijau. Arga lajukan kecepatan motornya setara dengan yang biasa ia jangkau.

Benar saja dugaannya. Kalau pom bensin daerah Rasuna yang sudah ada dalam bingkai pandangnya sekarang pada beberapa titik pengisiannya cukup terlihat memiliki antrian yang lumayan panjang.

Selama dalam antrian, Arga harap-harap cemas supaya sang dewi fortuna masih berpihak di sisinya. Bukan masalah apa, hanya saja ia yang tahu kalau dosen mata kuliah fotografi hari ini termasuk dalam jajaran dosen yang memiliki predikat killer di seantero lingkungan kampus.

Semoga saja ia masih dapat selamat dari semburan kalimat bermuatan pedas yang biasanya keluar dari mulut beliau ketika didapati ada mahasiswa yang membuat kadar amarahnya seketika meningkat karena ketahuan melanggar aturan.


Pukul satu lewat tiga puluh menit, Putra Argantara baru saja menginjakkan kaki di area parkiran gedung fakultasnya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, secepat kilat tungkainya berlari menuju kelas praktikum multimedia yang ada di lantai dua.

Ketika pintu berona kelabu itu sudah ada dalam pusat pandang netra, Arga normalkan detak jantungnya yang saat ini berpacu lebih cepat dari biasanya. Mengambil napas beratnya sekali. Lantas memberanikan diri membuka pegangan besi pada pintu besar itu dan mulai berjalan memasuki ruangan yang sudah terlihat penuh oleh mahasiswa maupun mahasiswi lain yang juga ada dalam kelas mata kuliah fotografi.

Keadaan kelas yang memang sebelumnya tidak banyak mengeluarkan suara, seketika menjadi makin sunyi karena kedatangan seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan dan menyita perhatian semuanya.

Arga berdeham sangat pelan untuk menutupi kegugupan yang melingkup ruang hatinya. Badannya ditegakkan lantas mulai berjalan ke arah meja sang dosen yang terlihat memandangnya secara intens nan tajam. Niatnya ingin menyalami lelaki paruh baya itu, tapi sebuah suara menginterupsi kegiatannya lebih dulu.

“Masnya kesasar tah? Jam segini kok baru datang?” Tanya beliau dengan arah pandangan sedikit ke bawah; dan sepasang matanya yang melihat melalui celah kacamata bagian atas. Bisa bayangkan sendiri bagaimana gugupnya seorang Argantara diberi tatapan seperti itu.

Sedang yang ditanya rasa-rasanya seperti mati kutu. Persendian badannya juga layaknya berubah menjadi batu yang diam membisu. Tapi Arga masih mau menjalani masa-masa kuliahnya dengan tenang dan damai, jadilah ia jawab pertanyaan dari beliau dengan jujur apa adanya—tanpa ditutupi, semoga saja dosennya itu mau mengerti.

“Maaf pak, bensin saya habis, tadi antrinya panjang banget di pom.”

“Kirain kamu kesasar gara-gara mapsnya mas-mas ojek,” lalu beliau alihkan pandangan itu menatap ke depan; ke arah para mahasiswa yang duduk diam sambil memperhatikannya dengan seksama.

“Bapak dulu pernah soalnya kesasar gara-gara mapsnya tukang ojek, katanya error, masa Bapak mau ke Kuningan diantarnya malah ke arah Kemang situ.”

Sontak penjuru kelas tertawa mendengar candaan yang dilantunkan Pak Halim tersebut; seorang dosen yang katanya termasuk dalam salah satu dosen galak yang dikenal satu kampus.

“Ya sudah, kamu langsung duduk saja sana.“— “Lain kali motornya diberi perhatian ya, Mas,“— “Sama seperti saya di sini yang butuh perhatian dari kalian.“— “Karena masih awal jadi saya maklumi, besok-besok jangan diulang lagi, ingat, tolong saya diberi perhatian juga ya.”

Arga lalu dengan cepat menyalami tangan Pak Halim dan berjalan ke arah kursi kosong yang masih tersisa.

“Sampai angka berapa tadi?” Tanya beliau pada murid didiknya.

“2 pak,” jawab satu kelas serempak.

“Lanjutkan lagi, siapa tadi yang terakhir?”

Salah seorang mahasiswi mengangkat tangan kanannya, lantas seorang yang berada di sebelah kanan perempuan itu berucap angka tiga, dilanjutkan lagi oleh yang sebelah kanannya mengatakan empat, lima, enam, dan seterusnya sampai angka delapan lalu diulang kembali ke angka satu. Terus seperti itu sampai satu kelas sudah menyebut satu angka masing-masing.

“Yang merasa menyebut nama yang sama, artinya kalian satu kelompok.” Jelas Pak Halim di depan sana. “Untuk tugasnya, pilih salah satu teknik dari kelima perspektif pengambilan gambar seperti yang sudah saya tuliskan di papan.”

“Sekarang kalian duduk sesuai kelompoknya masing-masing dan mulai diskusinya. Dipresentasikan nanti pada pertemuan ketiga.”

Setelah itu, masing-masing dari mereka mulai berpencar mencari teman satu kelompoknya.

Arga dapat angka lima. Dia mulai berdiri mencari anggota kelompoknya yang lain, tapi dia juga tidak tahu siapa saja yang dapat angka yang sama seperti dirinya. Karena Arga adalah orang terakhir yang menyebut angka lima pada waktu itu.

Saat masih sibuk mencari, tiba-tiba Surya memanggilnya untuk menghampiri tempatnya. Di sana sudah ada dua orang lainnya—seorang gadis dan laki-laki.

“Lo angka lima juga kan Ga?” Tanya Surya pada dirinya. Arga mengiyakan lantas balik bertanya, “Lo juga Sur?”

“Iya, mereka juga.” Tunjuk Surya pada dua orang lainnya di dekat mereka. Ada satu gadis yang masih belum dikenalnya, dan satu orang lainnya—Rafka?

“Eh? Kita satu kelompok,” ujar Rafka yang mana arah pandang sepasang netranya tertuju pada dirinya.

Arga membalasnya dengan suara tawanya yang lirih, “Ah, iya.”

Satu-satunya gadis yang ada di sana juga mulai bersuara, “Gue Gladys, anak DKV. Salam kenal ya, guys.”

Ketiganya kompak balas dengan senyuman dan kalimat sederhana untuk sang gadis, lantas memperkenalkan dirinya satu per satu. Setelahnya mereka mulai membahas tentang tugas yang diberikan oleh Pak Halim sesaat lalu.

“Pfftt.... Sekelompok tuh sama cowok yang bilang lo ganteng kemaren.... Wkwkwk temen gue pede banget ya jadi orang,” bisik Surya pada Argantara di samping kirinya.

Arga hanya meliriknya sekilas, “Diem lo, jangan kompor!”

“Gimana? Lo masih mau muter waktu gak? Biar gue pinjemin ke doraemon ntar hahaha.”

“A—”

Baru saja Arga mau melayangkan sebuah pukulan pada manusia yang menjadi sumber kekesalannya, Gladys tiba-tiba membuatnya berhenti dari niatnya semula. “Eh jangan ribut dulu dong, nanti aja kalo udah selesai bahasnya.”

“Terus nanti gue mau minta nomor kalian buat bikin grup, enaknya di WA apa LINE?”

“WA aja Dys, gampang.” Jawab Rafka.

“Okee....”

Pembahasan seputar tugas itu berlanjut. Tak ada lagi gurauan sampai benar-benar tuntas semuanya. Tercatat rapi dalam selembar kertas putih pada notebook si gadis berkuncir kuda.


Malam hari yang lumayan tenang, dan waktu yang masih dikatakan cukup luang. Rafka sudah duduk nyaman di sofa depan televisi yang ada di ruang tengah. Mengisi malam hari yang cukup panjang itu dengan niat hati ingin menonton film pada salah satu aplikasi dalam tv kabel tersebut yang sekiranya menarik minatnya.

Tangan kirinya yang tadi menggenggam segelas teh hijau dingin, kini gelas keramik itu sudah berlabuh rapi di atas meja kaca bening yang berada tepat di depan sofa berona putih gading.

Rafka amati satu persatu poster film yang ada di tampilan layar sana. Tangannya terus saja bergerak menekan satu titik yang sama pada remote control di genggamannya. Tak lama, pilihannya jatuh tepat pada sebuah film bergenre science fiction yang jika dilihat dari segi ringkasan cerita singkatnya; serta didukung oleh posternya yang menarik di mata, sepertinya film ini harus diberi waktu sejeda untuk dituntaskan malam itu juga.

Selang beberapa menit filmnya berjalan, dahaga mulai sedikit Rafka rasakan. Dia ambil gelas di atas meja dan meneguk sedikit isinya. Ketika tangannya sudah kembali meletakkan keramik tersebut ke tempat semula, ponsel yang juga ada di atas meja kaca itu bergetar akibat adanya notifikasi masuk dari aplikasi chatting berwarna hijau yang terpampang jelas di sana.

Rafka ambil dan ketikkan beberapa kombinasi angka untuk membuka layar terkunci ponselnya. Ternyata, pesan itu dari saudara sepupunya yang bertanya tentang di mana dia berada.

Mulanya memang biasa saja, tapi pesan terakhir dari kakak sepupunya itu yang buat dia terkejut luar biasa. Bagaimana tidak coba? Tiba-tiba saja Koh Wira bilang dia sudah dalam perjalanan ke apartemennya, sedangkan tidak ada pesan pemberitahuan sebelumnya yang mengatakan laki-laki itu mau berkunjung ke tempatnya.

Sebenarnya bukan masalah apa, tapi yang jadi pusat pikirannya saat ini adalah tentang bagaimana keadaan apartemennya. Memanglah tertata rapi, tapi rasanya kalau ada kunjungan dadakan seperti ini tetap saja ada selayang panik yang menyerbu lingkup sanubari.

Rafka palingkan pandangan ke kanan dan kiri. Sepertinya kegiatan bersih-bersih dadakannya harus segera dimulai.

Cukup lama dia sibukkan diri di area ruang tengah itu, sampai akhirnya bel apartemennya berbunyi, yang artinya Koh Wira sudah sampai sini. Kakinya ia langkahkan ke arah pintu depan dan dibukanya untuk kemudian berkata pada yang lebih tua agar menyuruhnya masuk.

Tujuan pertama yang dihampiri sang kakak adalah kulkasnya yang ada di dapur. Dibukanya pintu besi yang penuh tempelan magnet itu dan mulai melayangkan beberapa kalimat tegur.

“Rafka, kenapa kulkas isinya minuman bersoda semua?!” “Itu isinya kok kebanyakan makanan instan semua?! Kamu gak makan nasi?!” “Baru seminggu Koko gak kontrol udah gini?!” “Koko bawain bahan makanan, malam ini Koko mau masak, biar kamu makan makanan sehat! Jangan makan mie instan dulu!”

Dan beberapa kalimat lain yang masih harus masuk melewati daun telinganya. Rafka cuma meringis pelan mendengarnya, atau hanya mengiyakan saja dengan anggukan.

Akhirnya malam itu ia habiskan berdua dengan kakak sepupunya, ditemani masakan buatan sang kakak dan juga kalimat-kalimat wejangan buat dirinya untuk diingat di hari-hari yang akan datang selanjutnya.

Selepas kepergian Koh Wira, Rafka tutup pintu depan apartemennya. Dia ingat kalimat terakhir yang diucapkan sang kakak sebelum pergi dari hadapan dia, 'Gak boleh begadang, gak baik buat kamu!' 'Habis Koko pulang dari sini pokoknya harus langsung tidur!' 'Jangan lupa cuci muka sama kaki!' 'Koko pulang, kapan-kapan datang ke sini lagi.'

Rafka berjalan ke arah kamarnya, dan melakukan semua yang sudah diperintahkan kakak sepupunya itu setelahnya.


Langkah kakinya lebar-lebar menuju kelas semula; kelas untuk kuliah materi fotografi yang baru saja usai tatap muka.

Argantara pergi sendirian, karena Surya pun ketika diajaknya menemui seseorang bernama Rafka itu dijawabnya dengan sebuah gelengan. Katanya masih mau mengumpulkan nyawanya jadi satu. Ada ada saja memang alasan Putra Adilansah itu.

Dilihatnya jam tangan yang jarum pendeknya mulai bergerak di antara angka tiga dan empat. Arga lajukan tungkainya sedikit lebih cepat.

Tak lama, tujuannya sudah ada di depan mata. Pintu coklat yang sedikit terbuka itu diraihnya, lantas segera masuk untuk menemui seseorang yang sudah menunggunya di dalam sana.

Tak perlu mengedarkan pandangan, ternyata laki-laki yang dicarinya itu duduk dengan tenang pada barisan kursi terdepan. Bahkan kini terlihat mulai berdiri dan berjalan menghampiri tempatnya.

“Ini kunci motor lo,” ujar Rafka pada seseorang di depannya. Tangannya tak lupa bergerak menyerahkan kunci itu ke arah pemuda di hadapan dia. “Lain kali hati-hati, untung aja gue tadi gak sengaja lihat ke bawah, eh, nemuin kunci motor orang.”

Arga tersenyum kecil. Telapak kanannya meraih kunci dengan gantungan perak tersebut. “Thanks ya... Raf,”

Rafka membalasnya dengan sebuah senyuman. “Sama-sama,”

“Lo anak DKV kan? Rafka Ravian?” tanya Arga.

“Iya, tapi kebalik sih, yang bener Ravian Rafka...” koreksinya pada sebutan nama yang baru saja disuarakan laki-laki berhoodie hijau muda di depannya.

“Oh, maaf...”

“Santai aja,” “Lo kenal sama gue sebelumnya?”

“Eh, enggak juga... tapi tau... gue cuma denger dari cerita temen sih,” jelasnya disertai sedikit tawa. Argantara menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal itu sebenarnya hanya sebagai bentuk basa-basi saja.

“Oh, gitu...” Rafka menganggukkan kepalanya mengerti, “Btw, gue panggil siapa nih?”

“Panggil aja Arga,”

“—ganteng,...?”

“Hah?”

Argantara terkejut. Disebut ganteng oleh orang lain? Telinganya tidak salah dengar, kan?

Namun setelahnya, pemuda Natrasani itu hanya tersenyum kikuk menanggapi, “Eh... i-iya, makasih.”

Rafka menaikkan kedua alis, sedikit bingung kenapa laki-laki di depan dia ini mengucap kata terima kasih. Tapi tak berlangsung lama karena ia mulai paham akan keadaan. “Maksudnya tulisan di gantungan kunci lo,“— “Kirain Arganteng itu nama panjang, ternyata bukan, ya?”

Oh, sial, batinnya menjerit malu. Percaya diri sekali Argantara ini. Dia kira seucap kata yang tadi keluar dari bibir laki-laki di depannya menyuarakan suatu bentuk ungkapan pujian. Tapi nyatanya yang didapat hanyalah kesalahpahaman.

“Oh... Bukan... Hahaha,”

Sebisa mungkin dia berusaha agar terlihat biasa saja, meski kalau boleh jujur rasa malu itu masihlah belum mereda. “Nama panjangnya Argantara... bukan Arganteng,”

Arga lalu menggoyangkan gantungan kunci itu sekilas di depan yang bersurai cokelat keemasan, “Ini cuma tulisan iseng-iseng aja, Hahaha...”

Rafka menanggapi dengan senyum ringan, “Oohh...,” lalu dia kaitkan telunjuk dengan ibu jari membentuk tanda O.K. melalui tangan. “Tetep ganteng kok btw,... namanya.”

Mendengar itu, Arga harus bersikap yang bagaimana juga sebenarnya dia tidak tahu. Namun kunci di tangannya justru sudah jadi sasarannya dalam melampiaskan perihal segala bentuk perpaduan rasa yang tengah melanda dirinya.

Argantara sedikit banyaknya jelas salah tingkah, tapi ia berusaha tutupi gugup itu dengan senyumnya yang kian merekah. “Thanks,”

“Kalau gitu gue duluan ya, mau pulang nanti keburu jalanan macet.” Akhirnya Rafka putuskan untuk pamit duluan pada pemuda di depannya.

“Iya, duluan aja... Makasih udah nemuin kunci motor gue.”

“No prob.”